Showing posts with label cerita. Show all posts

Monday, September 7, 2015

0

Backpacker Edition: Terrible Stones in a Few Light

Posted in , , , , , , , , , , ,
Lanjutan Ungaran Makes Us Frozen




Setelah terbangun kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang dinanti-nanti. Menit pertama jalanan masih datar, memang. Kami dapat melihat perkebunan teh yang merentang luas, diikuti suara jangkrik dan bebunyian aneh apalah. Seperti berbisik. Ternyata mereka adalah para pendaki yang sedang ngoceh malam di balik tenda-tenda yang mereka dirikan. Sungguh, sebenarnya mereka lebih beruntung merasakan kehangatan yang muncul dari lampu senter dan beberapa cahaya yang tak kuketahui.


Beberapa saat kami berhenti, karena takjub melihat puncak Ungaran yang sudah terlihat jelas oleh mata. Ya, sangat jelas itu masih setengah perjalanan lagi! Seketika senyumku buyar, diganti oleh jeritan tangis dalam hati. Ketika semua bilang semangat, mau tak mau aku harus memaksa kaki kecilku untuk bergerak walau tak enak.

Sebelum memasuki kawasan yang terjal dan dibilangnya tak ada lagi medan yang tak miring, maka kami memutuskan untuk sejenak duduk dan menikmati kemerlap lampu-lampu rumah yang terlihat dari tempat kami. Seperti emas yang memancarkan sinarnya, cahaya itu begitu memukau. Lebih memukau lagi ketika beberapa jajanan kemudian mengalir di depan mataku, ya, banyak yang mengeluarkan jajanan kala itu, dan aku tak mau tinggal diam.

Hanya beberapa menit saja kesempatanku untuk menikmati kerlap-kerlip itu. Ini saatnya kami benar-benar menjadi pendaki yang tak kenal menyerah! Wanita seperti kami ini, pendaki muslimah yang kuat!


Tuesday, December 10, 2013

0

Selamat Ulang Tahun, Ibu

Posted in , , ,
google


Selamat ulang tahun, Ibu


Salam terhangat dari kedua putrimu yang meringkuk karena gigil yang terlalu angkuh memeluk kami di atas ranjang ini. Kuingat, hari ini adalah hari istimewamu. Ketika pagi itu, kulangsungkan untuk segera mengirimmu pesan singkat dan tak memungkinkan untuk kita saling menjabat.

Kukatakan: Selamat ulang tahun, Ibu.

Dan segenap buncahan kata-kata terlontar melalui karakter itu. Meski semua tak bisa mewakilkan bagaimana hatiku yang selalu berharap yang terbaik untukmu, setidaknya kautahu; aku begitu menginginkan hal itu menjadi kenyataan.

Kau membalasnya: Terima kasih, Ibu malah lupa.

Aku tersenyum. Membuatku sadar bahwa kausemakin tua, Ibu. Aku tak ingin semakin cepat melihat rambutmu yang perlahan memutih. Aku ingin terus menerus mengucap kata manis ini di setiap penghujung tahun seperti saat ini. Aku ingin dewasa bersama Ibu.

Semoga Tuhan akan mengabulkan doa-doa yang menjadi buncahan kata yang tercipta untuknya.

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Ibu.

Sunday, December 8, 2013

2

Merindumu, Ibu

Posted in , , , , , ,
picture from google
Pada akhirnya, waktu telah membawaku ke masa ini. Masa yang paling kutakuti, menjeratku yang semakin lekat dengan air mata. Masa di mana hanya akan ada rindu yang mengusik jiwa. Bukan, bukan itu, Ibu. Aku tak ingin masa ini akan sering memaksaku untuk melupakan apa yang pernah terjadi dulu. Segalanya hanya akan mencipta sendu dalam palung jiwaku. Percayalah kepadaku.
            Bagai kembali pada masa di mana kebahagiaan tercipta tanpa pernah kumemintanya. Dalam senyum simpul yang kaugurat penuh makna, kauyakinkanku bahwa pertemuan begitu manis terasa. Namun mengapa kauciptakan perpisahan yang begitu menyakitkan bila kausendiri tahu, bahagia akan hilang setelah itu.
            Ibu, dapatkah kaumeminta waktu untuk kembali? Kuingin menikmati setidaknya enam puluh menit untuk merasakan hangat dekapanmu. Kuingin rasakan bagaimana sejuknya romansa yang tertuang dalam balut hangat sapamu. Seperti dulu, Ibu.
            “Ibu, jika aku dewasa nanti, Ibu akan tetap bersamaku, bukan?”
            Kaumengangguk. Dalam guratan senyum itu, kaubisikkan kata-kata indah, ”Ibu akan selalu ada di sini.” Jemarimu menjamah lembut debar dadaku yang tertabuh mencipta melodi rindu. Aku akan merindukan segalanya.

Tuesday, May 28, 2013

0

Segenggam Masa Lalu

Posted in , ,

Dec. 2012

“Dandelion ini memang lemah. Namun mereka tidak hanya pasrah. Dan kamu percaya? Mereka itu adalah pejuang sejati.”
         Callysta menggeleng pelan. Mulutnya masih terkunci rapat. Tersirat simpul manis pada bibirnya.
        “Sekuat apapun benih-benih itu ingin tetap tinggal, tapi angin lebih kuat menerbangkannya ke langit luas. Angin membawanya pergi jauh dari habitatnya, namun dengan pappus-pappus[1] lembutnya mereka mampu bertahan, dan menemukan pelabuhan yang tepat untuk kehidupan barunya.”
          “Tapi, dandelion itu pasti kembali?”
         Reyhan terdiam. Sorot matanya menatap Callysta tajam, seakan-akan mengunci pandangannya dalam percakapan yang mereka ciptakan di telaga itu.
          Perlahan tangan Reyhan meraih satu pucuk dandelion yang mekar di hadapan mereka. Meniupkannya, dan pappus-pappus[1] lembut itupun beterbangan seiring hembusan angin yang ikut mengisi kebahagiaan mereka kala senja itu.
            Reyhan tersenyum, “pasti.”


Baca selanjutnya DOWNLOAD
0

Love without Discrimination

Posted in , , , , ,

Love without Discrimination


Terkadang aku sadar, mengejar sesuatu yang tidak mungkin bisa diraih itu ibarat menyentuh udara. Dari kalimatnya saja tertulis ‘tidak mungkin’ tapi mengapa terkadang seseorang masih saja melakukan itu semua.

Cinta? Selalu itu yang mereka katakan.

Terkadang aku bosan berbicara cinta. Mengingatkanku pada segelintir kepahitan yang berbungkus kemunafikan yang dikemas menjadi satu yang akhirnya mengakibatkan patah hati yang tak berkesudahan.

Cinta sejati? Makanan apa itu? Dari kata-katanya saja terdengar menjijikkan. Bukankah semua itu hanya ada di negeri dongeng? Di novel-novel teenlit yang pernah aku baca dan di mulut orang-orang yang mengabadikannya?





Baca selanjutnya DOWNLOAD

Tuesday, February 12, 2013

0

Midnight Metropolis

Posted in , , , ,


Midnight Metropolis
28 Dec 2012

Matanya menyipit mendapati seberkas cahaya masuk melewati celah-celah ventilasi kamarnya, tentu saja itu sangat mengganggu tidur panjangnya malam ini. Dentuman keras detak jarum jam dinding yang tepat berada di atas telinganya membuatnya tak ingin lagi meneruskan mimpi yang entah apa; dia tak mau mengingatnya lagi.
            Ia berjalan sempoyongan keluar kamar, menuruni anak tangga, satu persatu. Jemarinya sibuk mengusap-usap matanya yang masih setengah membuka. Piyama biru bergoreskan warna monokromatik abu-abu terlihat begitu kusut. Rambutnya yang ikal tertata rapi, sekarang seolah tersihir menjadi rambut singa; sangat berantakan. Hal itu yang mengharuskan ia untuk mampir ke toilet.
            Perlahan-lahan, ia memutar kran air, dengan begitu air mengalir begitu berirama dengan percikan-percikannya yang menyentuh wastafel, kemudian memantul ke arah kulitnya yang sesekali menghadirkan kesegaran tersendiri baginya. Clarinta menengadahkan kedua tangannya di bawah semburan air lalu membasuhkan pada wajah kumelnya. Sesekali ia menatap pada kaca lonjong di hadapannya. Wajahnya yang setengah basah mengingatkannya pada pertengahan September lalu saat ia menghabiskan malamnya yang gerimis bersama Johan, di depan bangunan neo-gothic Eropa; Gereja Katedral.
            Gereja itu kembali mengingatkan pada perbedaan yang begitu menyeruak dalam kisahnya bersama Johan, kekasihnya. Ada yang berbeda dari caranya menyembah Tuhan. Ada yang berbeda dari caranya menyebut nama Tuhan. Ada perbedaan pada Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal sebagai peribadatan. Ada yang berkata mereka tak pantas dipersatukan. Namun Johan selalu meyakinkan Clarinta bahwa perbedaan bukanlah penghalang, perbedaan menjadi tidak berarti saat hati telah memilih. Clarinta percaya itu.
            Tangannya kembali memutar kran air; mematikannya. Lalu ia berjalan keluar dan kembali menuju kamarnya yang masih berantakan. Membuka lebar-lebar lemari kaca yang berdiri di samping kanan ranjangnya, lalu memilah-milah dari sekian banyak baju yang bergelantungan di dalamnya. Aha! Bolero rajut berwarna krem ini sedikit menyita pandangannya. Hadiah dari Auryn, sahabat Clarinta, saat ulang tahun ke tujuh belasnya.
            Cahaya matahari benar-benar menyilaukan. Tapi mau tak mau Clarinta harus pergi sekarang. Mobilnya sudah raib, tak ada di bagasinya. Pasti Reno. Sepagi ini kakak satu-satunya itu sudah saja melancong. Untuk apa coba? Selain ke pantai hura-hura bersama teman-teman wanitanya. Kebiasaan! Coba saja kalau bukan karena tinggal di kota metropolitan? Apa masih bisa Reno dengan membawa mobil sana-sini, gandeng cewek sana sini? Dan andai saja waktu itu ayahnya tak sepasrah itu menuruti keinginan Reno untuk membelikan mobil yang membutuhkan rupiah dalam jumlah yang tak sedikit itu. Clarinta menghela nafas panjang.
            Masih terbilang sedikit, toko-toko di bilangan Kemanggisan, Palmerah, yang sudah buka untuk waktu yang masih sepagi ini. Clarinta mendapati toko buah -yang memang dicarinya- sudah terbuka lebar. Ia lalu memarkirkan motor maticnya di depan toko itu. Terlihat warna-warni buah-buahan segar yang menggugah selera. Ia mengambil keranjang, lalu memasukkan beberapa buah jeruk Mandarin, sesikat pisang Ambon, butiran-butiran anggur merah dan beberapa biji mengkudu.
            “Berapa, Mbak?” tanyanya sembari mengeluarkan dompet dari sakunya.
            “Enam puluh sembilan ribu, Mbak.” Penjaga toko tersebut mengulurkan sebungkus plastik besar buah-buahan yang Clarinta beli.
            Clarinta mengulurkan dua lembar; lima puluh ribu dan dua puluh ribuan, lalu menerima bungkusan tersebut. Kemudian dengan perlahan membalikkan badannya.
            “Kembaliannya, Mbak..” Teriak penjaga toko itu.
            “Simpan aja.”
            “Terima kasih!” Suaranya terdengar begitu melengking dari dalam toko.
            Clarinta kembali meneruskan perjalanannya.      Tujuannya saat ini ke arah Jakarta Pusat, tepatnya di Kemayoran. Rumah Sakit Mitra Kemayoran. Saat ini memang Auryn untuk yang keempat kalinya melakukan check-up untuk penyakitnya. Penyakit Chronis Myleoid Leukemia yang dideritanya semenjak menduduki bangku kelas dua SMP. Tak ayal jika setiap kali dia selalu terlihat pucat dan seperti tidak bersemangat. Sel darah normalnya telah dihancurkan oleh sel-sel leukemia yang membuatnya terlihat lemah. Dan terkadang berhenti menunjukkan simpul manis senyumnya.
♥♥♥

Friday, January 18, 2013

0

“Izinkan Aku Pergi”

Posted in , , ,


Wednesday, 9th January 2013

Aku menyesal. Ada satu hal yang perlu kamu ketahui. Aku menyesal masuk dalam permainan ini. Bahkan sampai saat ini aku tak tahu bagaimana cara mengakhiri.
            Kau harus tahu mengapa aku bersikap seperti ini. Dan aku percaya kau juga merasakannya. Kau terlalu baik untuk kuabaikan, atau salahku yang terlalu perasa?
            Aku ingin menyentuhmu. Namun tanganku seolah kaku. Aku ingin memanggil namamu, namun bibir ini terasa kelu. Aku juga ingin menjadi yang pertama kaubutuhkan saat masalah datang padamu. Mengapa saat pertemuan itu, waktu terasa bergerak lebih cepat? Sehingga tak ada sela untuk kita saling mengungkap rasa.
Siapa yang bisa kusalahkan? Waktu? Takdir? Kamu? Bahkan kau datang di saat yang tak tepat. Saat hatiku telah bergemuruh. Saat hatinya pun meluruh.
            Kau tahu? Aku dan kamu seperti air dan minyak, berdekatan namun tak bisa menyatu. Sanggah pernyataanku bila memang itu salah. Atau selama ini aku salah mengartikan rasa yang ternyata hanya bombastis saja? Atau selama ini yang terjadi di antara kita hanya guyonan semata? Kalau memang begitu mengapa aku merasa tak ada yang lucu dengan semua itu? Atau kau menganggapku hanya pelarian sama seperti apa yang telah dia lakukan? Iya?
            Kalau semua itu benar, aku takkan ragu mengatakan bahwa semua laki-laki sama saja.
            Kau beri rasa yang berbeda. Kaujadikan semua seperti nyata. Namun aku ingin semua menjadi mimpi. Aku ingin semua hanya sekedar ilusi. Karena kutahu kita tak mungkin bersama. Kutahu kita seperti langit dan bumi yang jauh berbeda. Izinkan aku mencari sepasang sayapku lagi, bila memang kau datang hanya untuk mematahkan sebelah sayapku.
            Izinkan aku mencari kehidupanku sendiri, bila memang kehadiranmu hanya membuat semua semakin 
kelam. Aku hanya tak ingin terluka, untuk kesekian kalinya; untuk alasan yang sama.

Monday, November 29, 2010

0

Kamu Bikin Aku Sakit

Posted in ,
Aku bingung waktu kejadian hari Kamis, 25 November 2010. Waktu itu tes daya serap di SMA X. Aku seneng saat itu sahabatku (sahabatku yang pertama kali menawari aku duduk sebangku selama kelas 10, tapi tinggal asa saja , karena ada yang mengambilnya) duduk sebangku sama aku, padahal sebenernya dia sudah punya temen sebangku.
Dia marah sahabatnya duduk sama aku.

Kenapa kamu marah?
Bukannya seharusnya aku yang marah?
Apa salah aku ambil hak yang kau rampas dulu?
Apa salah aku dapat sedikit saja kebahagiaan yang sempat tertunda dulu?
Aku juga berhak merasakannya!
Itu semua hanya membuatku teringat pada kesakitan-kesakitan yang pernah kamu lakukan.
Bahkan lebih buruk dari yang aku alami sekarang.
Di saat aku telah mendapatkan seseorang yang berarti dalam hidupku, dan disaat itupun aku merasakan indahnya persahabatan.
Tapi apa yang ku dapat?
Kau merampasnya dariku, kamu tega memisahkan aku dengannya!
Kamu tega mengambil hakku!
Aku yang cukup ikhlas melihat kalian bahagia walau tanpaku,
Aku yang memendam rasa sakit ini .
Aku yang terluka di sini.
Memang semua ini tak pernah ku ungkapkan.
Tapi jika aku jujur , semuanya akan hancur.
Setidaknya, mengertilah aku.
Sekarang, aku pinjam dia, 2 jam saja.
Tapi kamu berat!
Berat untuk mengatakan "iya".
Apa aku gak boleh merasakan apa yang kamu rasakan?
Apa aku tak boleh mengambil hakku lagi?
Kamu egois!
Aku ingin hakku kembali!




#aku masih nggak bisa menerima ini semua .
Sebenarnya aku atau dia yang ingin menang sendiri ? :'(
[ maaf jika aku berlebihan ]