Showing posts with label cerita backpacker. Show all posts

Monday, September 7, 2015

0

Backpacker Edition: Terrible Stones in a Few Light

Posted in , , , , , , , , , , ,
Lanjutan Ungaran Makes Us Frozen




Setelah terbangun kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang dinanti-nanti. Menit pertama jalanan masih datar, memang. Kami dapat melihat perkebunan teh yang merentang luas, diikuti suara jangkrik dan bebunyian aneh apalah. Seperti berbisik. Ternyata mereka adalah para pendaki yang sedang ngoceh malam di balik tenda-tenda yang mereka dirikan. Sungguh, sebenarnya mereka lebih beruntung merasakan kehangatan yang muncul dari lampu senter dan beberapa cahaya yang tak kuketahui.


Beberapa saat kami berhenti, karena takjub melihat puncak Ungaran yang sudah terlihat jelas oleh mata. Ya, sangat jelas itu masih setengah perjalanan lagi! Seketika senyumku buyar, diganti oleh jeritan tangis dalam hati. Ketika semua bilang semangat, mau tak mau aku harus memaksa kaki kecilku untuk bergerak walau tak enak.

Sebelum memasuki kawasan yang terjal dan dibilangnya tak ada lagi medan yang tak miring, maka kami memutuskan untuk sejenak duduk dan menikmati kemerlap lampu-lampu rumah yang terlihat dari tempat kami. Seperti emas yang memancarkan sinarnya, cahaya itu begitu memukau. Lebih memukau lagi ketika beberapa jajanan kemudian mengalir di depan mataku, ya, banyak yang mengeluarkan jajanan kala itu, dan aku tak mau tinggal diam.

Hanya beberapa menit saja kesempatanku untuk menikmati kerlap-kerlip itu. Ini saatnya kami benar-benar menjadi pendaki yang tak kenal menyerah! Wanita seperti kami ini, pendaki muslimah yang kuat!


Saturday, August 16, 2014

0

Backpacker Edition: Ungaran Makes Us Frozen

Posted in , , , , , , , ,
Lanjutan Para Pendaki Ungaran


Satu jam kemudian, kami sampai pada suatu tempat di mana kami dapat mendengar gemericik air yang mengalir begitu merdu. Sebelumnya, aku memang udah searching mengenai aliran air terjun yang ada di Gunung Ungaran. Dan, here we are.
Di sana sudah ada gerombolan para pendaki yang lebih dulu beristirahat di sana. Mengetahui kedatangan kami, mereka pamit melanjutkan pendakian. Mungkin karena mereka juga mengira bahwa gerombolan yang datang pasti juga butuh tempat dan waktu untuk istirahat.
Suara gemericik sangat meneduhkan. Aliran airnya hanya kecil. Mengalir dari tebing yang tak terlalu atas. Lebarnya pun hanya sebatas tiga langkah kaki orang dewasa. Namun airnya itu, sejuk, jernih, andai ada ikan duyungnya.
Di sana kami hanya istirahat. Cuma dapet ngelap keringet sama minum doang. Setelah itu kami melanjutkan pendakian, bergantian dengan gerombolan pendaki lain yang baru saja dateng. Akhirnya, kami jalan. Beberapa langkah dari air terjun, jalanan masih sempit, jadi masih harus berjalan satu-satu.
Di sepanjang perjalanan kami melihat kunang-kunang yang lewat. Jujur, ini pertama kalinya aku merasa dekat dengan hewan menakjubkan itu, bukan lagi seperti dalam film Tinkerbell. Ada yang jatuh, kupandangi begitu dekat. Nyala terang, hijau warnanya. Teman di belakangku mau mengambilnya, katanya mau dipelihara. Aku resah. Padahal mereka hanya hidup hanya beberapa hari saja. Dan mereka sudah berhasil membuat malamku penuh kelap-kelip. For me, they deserve to fly over night. Give the light for everyone, so, there's no fear anymore.
"Kunang-kunang jika hanya sendiri, mungkin ia tak bisa memberi pencerahan pada banyak orang. Namun, jika ia bersama-sama, cahaya yang dihasilkan akan lebih besar dan pastinya bisa memberikan pencerahan pada lebih banyak orang." The phylosophy of firefly
lebih satu jam kemudian, kami sampai di pertigaan. Di sana, tempat sudah agak luas. Jadi, di tengah-tengah pertigaannya itu, ada tempat buat leyeh-leyeh. Cukup buat beberapa rombongan. Pak Tono menjelaskan, di sebelah timur kami terdapat sebuah kolam yang isinya air murni pegunungan. Mendengar itu, teman-teman yang botol minumannya habis langsung nih serudukan ke sana. Aku, sih, bengong aja. Capek, tubuh juga udah nempel di tanah, nggak mau gerak lagi. Minum juga masih tiga per empatnya. Masih cukup banget.

Monday, August 4, 2014

0

Backpacker Edition: Para Pendaki Ungaran

Posted in , , , , , , , , , ,

lanjutan Trip to Ungaran Mountain...



Pukul 20.00 WIB, dengan segala persiapan dan doa, kami mulai menyusuri jalanan bebatuan yang terkadang membuat tapak kaki menjadi geli. Kami mengucap salam kepada para pendaki yang belum memulai pendakiannya, atau kepada mereka yang baru saja sampai di pendapa.

Dengan berbekal senter berkipas angin yang hanya tersisa beberapa watt saja, aku berjalan di tengah-tengah. Siapa menyangka, separuh dari kami -perempuan- dengan nekat mendaki mengenakan rok yang menjuntai panjang dan terkadang nyrimpeti. Oh, iya, hampir lupa, sebelumnya kami sempat narsis dulu, dong. Berfoto dengan spanduk BBI, meskipun secara terpisah -antara ikhwan dan akhwat- ceilah.

Nggak usah di share kali, ya, fotonya.

Rutenya memang dari pendapa ke arah selatan. Beberapa langkah dari pendapa terdapat kios makanan, kira-kira ada tiga bidang yang mengarah ke barat. Kami say goodbye, halah, emang udah say hello sebelumnya?

Setelah melewati kios, kami mulai menyusuri jalanan terjal. Jalanan masih berlum dipaving, jadi hanya semacam jalan setapak, namun sudah rapi. Kiri pepohonan besar yang menjulang, dan tebing, kanan adalah jurang, and I can't show anything but this light. I can't hear anything but the sound rawring. Apa itu? Ternyata suara orang dangdutan, entah berasal dari mana.

Thursday, July 24, 2014

0

Backpacker Edition: Trip to Ungaran Mountain

Posted in , , , , , , ,

Hokya!


Baru bisa nulis ini. Saking padatnya kegiatanku di kampus, waktu luangku tersita begitu banyak. Sedikit-sedikit pasti tugas, kalau nggak ya rapat. Sepulang kuliah, untuk mandi saja mesti harus pikir-pikir, habisnya, sampai di rumah selalu melebihi isya!
            Kalau kata Dika, “Inilah mahasiswa.”
            Hm, kali ini aku ingin ceritain pengalamanku tanggal 26-27 Mei 2014 lalu. Untuk mengikuti acara ini tentu harus melewati rintangan dulu. Pertama, aku harus mati-matian meminta izin dari Direktur dan Wakil Direktur UKM-ku karena nggak bisa ikuti kegiatan penting di UKM tersebut. Kedua, aku harus meraung-raung memaksa Ayah yang awalnya nggak setuju banget aku ikut acara itu.
            Namun akhirnya, ya...


            Aku bisa!

Wednesday, February 12, 2014

0

Backpacker Edition: The Big Mountain!

Posted in , , , , ,

Untuk ke sekian kalinya, aku harus menarik napas dalam-dalam. Pasalnya, aku tak pernah mengetahui bahwa perjalananku menyusuri Kota Malang beberapa minggu yang lalu menjadi hal yang paling menakjubkan dalam hidupku. Untuk pertamakali, menjadi backpacker dengan persiapan minim sangatlah pantas menjadi julukan bagiku. Bagaimana bisa seorang pendaki hanya bermodal blazer dan sepatu wanita? Hal ni sangatlah konyol.

    Pukul 02.30, Sabtu pagi buta ini, aku bersama rombongan dari Semarang telah sampai di rumah makan Bromo Asri setelah berjam-jam memaku di atas kursi bus dengan dingin yang membelenggu. Jadwal pertama adalah melakukan pendakian gunung Bromo yang berada tak jauh dari lokasi saat ini—begitu kata Shogi, pemandu kami yang selama perjalanan mengocok perut para rombongan.
    Dan sial, mendengar itu, tubuhku benar-benar bergidik ngeri. Mengetahui orang-orang lain yang mengenakan jaket berbulu yang tebal masih saja memeluk tubuhnya yang menggigil. Tiba-tiba ayahku membawaku menuju sekerumunan orang-orang yang melingkari barang-barang yang tersebar di atas aspal. Sepagi ini, penjual sudah begitu siap dengan barang dagangannya.
    Tanpa pikir panjang, aku menyabet sarung tangan abu-abu, syal merah marun dan beanie coklat muda dengan tulisan Bromo di depannya. Dan beruntung, karena penjual itu telah menyelamatkanku dari kedinginan, walau hanya sedikit.
    Dan sekejap, tubuh kami membentuk lingkaran. Berdoa dengan cara masing-masing dan kami siap untuk menuju colt dengan nomor yang telah disediakan.
    Aku mendapat colt bernomor dua. Bersama Ayah dan Dian, kakakku. Seharusnya aku pergi ke Malang hanya berdua dengan Dian, karena ini adalah acara kantor Ayah yang dengan paksa kami ambil alih tiket keberangkatannya. Namun Ayah bersikeras untuk ikut, mendampingi kami.
    Dan aku pun rela melepas jam kuliahku untuk kubela-belakan merasakan hal konyol ini. Sungguh, biarkan aku merasakan kebahagiaan daripada harus pusing memikirkan serentetan angka-angka yang mereka bilang harus terposting ke buku besar lah, membuat neraca lajur dan segala tetek bengeknya.
    Apa kau tahu apa yang ada dalam benakku ketika aku harus menikmati laju colt yang tak terkendalikan? Seperti sedang berada dalam jet coaster, cepat dan jalan berliku-liku. Dan kau tahu? Yang mereka bilang tempat tak jauh dari lokasi adalah yang paling jauh yang pernah kusetimasi. Bahkan, aku sempat tertidur nyenyak menanti Pak Sopir yang mengatakan bahwa kami telah sampai di tujuan.
    Dingin begitu merasuk ketika kuinjakkan kaki pada lereng gunung ini. Aku telah sampai, dan langit tak sehitam tadi. Benar yang kukatakan, bahkan perjalanan butuh berjam-jam.
    Dengan hentakkan pelan, kami siap menyaksikan matahari terbit di puncak dari lereng ini, sebelum kami terjun menuju Segara Wedi yang terhampar di depan mata. Dan, untuk menuju puncak, kami akan butuh oksigen untuk bekal dalam perjalanan. Aku tak pernah kuat dalam hal ini, mengingat napasku selalu sesak.
    Dalam perjalanan, tukang ojek selalu menawarkan jasanya kepada para pengunjung. Berkali-kali kepalaku menggeleng namun Ayah telah menyewa tiga ojek untuk kami. Sungguh, lebih baik aku berjalan kaki daripada harus menaiki motor berdua dengan orang ini. Izinkan aku menutup muka dengan karung sekali ini saja.