Review London Love Story: Menyerah atau Bertahan untuk Cinta yang Pernah Mati?
Posted in #EdisiReview, Dimas Anggara, February 2016, Film Terbaru, karya Atika Rahma F, London Eye, London Love Story, Michelle Ziudith, Rekomendasi Film, Resensi Film, Review London Love Story, romanceoleh: Atika R. Fitria [IG]
Poster London Love Story [pict from Google] |
SINOPSIS FILM
"Someone somewhere is waiting for you"
Tanpa ada yang tahu, Caramel pergi ke London untuk menghindari seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang membuat Caramel selalu menyembunyikan luka hatinya dengan senyuman. Di kota London yang sama, adalah Dave (Dimas Anggara) ia merupakan seorang mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah di London, Pada suatu ketika Dave berada di tempat dan waktu yang salah, Dave harus menyelamatkan seorang gadis bernama Adelle (AdillaFitri) yang mau bunuh diri dengan loncat dari jembatan. Bima (Dion Wiyoko) adalah mahasiswa Indonesia, yang selama setahun berusaha mendapatkan cinta Caramel dan sampai akhirnya Caramel tidak mengatakan iya dan tidak kepada Bima.
Kemudian Bima berusaha mencoba introspeksi diri tentang kekurangan dia yaitu dia bukanlah cowok yang suka basa basi tetapi ia berjanji akan menyayangi Caramel kalau dia bersedia menjadi belahan jiwanya. Caramel hanya terdiam terpaku dan membuat Bima lebih bingung. Kenapa Caramel tidak menerima cinta Bima? Apa ada laki–laki lain yang membuat Caramel tidak bisa menerima cinta Bima atau Dave yang merupakan masa lalu Caramel? Dan sebaliknya justru Adelle jatuh cinta pada Dave karena dianggap laki-laki sempurna buat Adelle, tapi apakah Dave menerima cintanya Adelle?
sumber: [http://www.gratisfilmasia.com/2016/01/sinopsis-london-love-story-2016.html] Detail
Film London Love Story (2016)
Genre : Drama, Romantis
Sutradara : Asep Kusdinar
Produser : Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo
Penulis Skenario : Tisa TS, Sukhdev Singh
Pemain Film : Michelle Ziudith Dimas Anggara Adila Fitri Dion Wiyoko
SINOPSIS NOVEL
Penulis: Tisa TS dan Sukhdev Singh
Penerbit: Loveable (Ufuk Press)
“Aku minta, Tuhan ambil nyawa aku satu hari sebelum Tuhan ambil nyawa kamu!” London Love Story bercerita tentang seorang cewek Indonesia bernama Caramel (Michelle Ziudith) yang selalu ceria dan optimistis, bekerja paruh waktu di kedai pizza di sela waktunya dan sebagai mahasiswi di salah satu Universitas di London.Tanpa diketahui, keberadaan Caramel di London salah satunya untuk menghindari seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang membuat Caramel menyembunyikan luka di hatinya dengan senyuman.
Di belahan kota London yang sama, adalah Dave (Dimas Anggara) seorang mahasiswa Indonesia yang berkuliah di London, suatu ketika Dave berada di tempat dan waktu yang salah, Dave harus menyelamatkan seorang gadis yang berusaha untuk bunuh diri dengan loncat dari jembatan dan diketahui bernama Adelle (AdillaFitri) yang berasal dari Indonesia. Setelah kejadian itu, Dave akhirnya terpaksa tinggal satu apartemen dengannya. Konflik mulai terjadi ketika Caramel akhirnya bertemu dengan seseorang dari masa lalunya, tepat di London. Pertemuan yang sangat tidak diinginkan oleh Caramel.
****
REVIEW FILM
Ditulis oleh orang yang sama dengan yang menulis naskah
skenario film yang sudah aku tonton sebelumnya, "Magic Hour". Jelas
saja, aku merasa ada beberapa scene yang sama dengan film yang dibintangi oleh
bintang yang sama juga di film tersebut. Awalnya aku pikir ini adalah lanjutan
dari Magic Hour, karena pertama-tama sudah disuguhi oleh setting serba keemasan
yang mencolok. ya, di saat-saat magic hour sama persis seperti di film Magic
Hour. Tapi syukurlah, karena di film Magic Hour setting lebih kepada suatu
bukit, namun di film ini di pantai: saat magic hour itu.
Dan tempat yang berbeda pastinya. London Love Story sudah pasti
di London.
Sayang, setelah menonton Magic Hour, aku tidak menuliskan
reviewnya, jadi aku cuma menulis secara singkat saja kesamaan yang bisa aku
tangkap dari film besutan Screenplay Production ini.
Baiklah, dari cover, aku suka sekali. Ya bagaimana lagi,
jujur saja, aku mengakui sangat suka dengan chemistry yang dibangun oleh Dimas
Anggara dan Michelle Ziudith ini, berhubung sudah beberapa film yang
dibintanginya sudah aku ikuti dengan seksama. Contohnya saja pada sinetron Love
in Paris yang mengisahkan bagaimana hubungan keduanya di kota romantis itu.
Jadi, aku sangat suka, di antara chemistry itu aku melihat sebuat lukisan yang
menggambarkan bagaimana kehidupan di London. Perpaduan warna yang manis, tak
lepas dari kategorinya yang ditujukan untuk remaja.
Dengar-dengar sih, ya, film ini bakal menyaingi kesuksesan
film Magic Hour, dibuktikan dengan antrean panjang yang aku alami saat mau beli
tiket di Citra XXI Semarang. Padahal sudah ada dua teater yang menayangkan film
yang sama, namun jam yang kita inginkan sudah penuh semua dan kita harus
menunggu berjam-jam lagi untuk bisa membuktikan "seberapa bikin
bapernya" film ini seperti kata orang-orang yang sempat melintas di
televisi di acara Meet and Greet-nya Michelle Ziudith dan Dimas Anggara.
Alasan utama selain pengin buktiin seberapa baper, memang aku tidak pernah bosan atau bisa dibilang kangen dengan akting Dimas dan
Michelle ini. Terlebih dengan kesenanganku pada cerita yang mengisahkan
cinta segitiga (wadaw!) seperti yang ada di film ini dan Magic Hour-yang sempat
mengambil hati-ku dengan akting Michelle dan Dimas yang memang aduhai.
Oke, beberapa menit sudah aku lewati. Masih baik-baik saja.
Tidak ada tisu atau apa itu. Namun yang membuat aku sedikit terganggu (-dan
sedikit menyesal) adalah, di depanku ada pasangan muda mudi yang, duh,
kelakuannya ngalahin romantisme yang ada di layar kaca yang besar itu!
Mengganggu saja. Oh, aku yang salah pilih kursi atau salah masuk sih ini.
Kemudian ada sebuah adegan di mana di sana ada Adelle (Adila
Fitri) sebagai seorang pengantin yang gagal nikah, mau terjun ke jurang. Lah,
Dave merasa jadi orang yang kurang beruntung kenapa harus dia yang bertemu
dengan orang ini di sini? Nah, ini yang membuat aku flashback, script-nya
dirasa sama seperti adegan di film Surga yang Tak Dirindukan saat Pras
menggagalkan niat Meirose untuk bunuh diri dengan terjun dari lantai teratas
sebuah gedung rumah sakit. Di sana Pras juga menjelaskan bagaimana ia dengan
bodoh mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, juga apa yang akan terjadi ketika
ia terjun nanti.
Ya, namanya saja film genre fiksi remaja ya. Mengapa sampai
setengah jalan, sampai si Cara bertemu dengan Dave di bawah air mancur dengan
alunan Percayalah milik Afgan dan Raisa yang mendayu merdu. Kukira memang saat
itulah puncak konflik, namun aku belum merasakan feel seperti yang kuharapkan.
Ya, sebagai seorang wanita aku berharap saat itu aku sedang berada di posisi
Cara, namun aku lebih merasa saat itu aku sedang berada di posisi Dave. Karena
ketidaktahuan alasan mengapa Cara begitu membencinya dan meninggalkannya ketika
malam itu tiba.
Alasannya, karena film ini dibuat dengan alur yang
campur-aduk. Dan jawaban dari 'tanda-tanya' itu berada di alur agak depan, dan
menggantung-yang menjadi pemicu utama konflik itu. Ya, untuk film romance baper sih memang
aku prefer dengan alur maju
dibanding dipotong-potong seperti ini. Duh, mungkin maksud aku lebih pada,
penulis skenario seharusnya harus lebih hati-hati menampilkan alur. Boleh
dibuat segmen, namun harus tahu durasi. Walah, pardon me kalau kata-katanya amburadul
dan sok ngasih tahu, tapi ini menurut kacamataku saja.
Jadi, aku tidak bisa merasakan kebaperan para cewek. Malah
aku merasa kekecewaan seorang lelaki yang terbodohi oleh waktu yang terbuang
sia-sia untuk menunggu hal yang tak pasti dan tak tahu di mana kesalahan yang
membuat semuanya hancur. Mungkin Dave masih bisa sabar dan setia menunggu,
laki-laki lain? Wait, wait, stop!
Memang, kesalahpahaman memang bisa merusak semuanya. Namun
itu hanya terjadi pada pribadi yang kurang komunikasi, ya, teens. Ceilah teens!
Ngerasa dewasa gitu, ya? Karena tiga kali berturut-turut
menonton film romantik islami yang lebih menekankan pada kehidupan rumah tangga
ternyata mampu membuat pribadiku goyah. Wakak. Buktinya, sampai detik-detik
terakhir film ini, tidak ada satupun air mata yang menetes :'(
Bu, Pak, anakmu mulai dewasa. Alhamdulillah.
Film ini terlihat indah, karena menampilkan betapa apik
gedung-gedung rapi yang disertai lampu-lampu keemasan di London. Terlebih yang
membuatku tertarik adalah ketika terpaku pada satu titik yaitu, bianglala. London Eye, salah satu
bianglala terbesar di dunia. Semoga ada keajaiban untuk mampir dan menikmati
satu saja kapsul bianglala tersebut.
Look at this picture, kapsulnya keren banget, kan! Uhhuuuu, wanna try this
someday!
| |||
Jujur, aku suka sekali dengan bianglala. (Ada yang tanya,
kan? Ada dong, please!)
|
Namun dengan keindahannya, justru dari segi cerita kurang
kental sekali dalam menceritakan lokalitasnya. Karena sebuah cerita akan terasa
hidup bila lokalitas juga hidup. Mungkin tidak hanya dijadikan sebagai latar
belakang, namun dengan sedikit ucapan dari lakonnya juga bisa menghidupkan
suasana. Namun, mungkin ada beberapa cara penulis dan sutradara dalam
menampilkan lokalitasnya. Ada yang dengan lisan, ada juga hanya menampilkan
sebagai latar tempat-agar penonton ngeh sendiri. Selalu
cara terbaik yang dipilih sutradara dan penulis kok. Mungkin jika lisan takut
jika bertele-tele. Namun sudahlah, dengan akting si Michelle dan Dimas saja
cerita terasa sudah hidup kok. Apalagi saat si Ramzi datang, dia memang yang
paling menghadirkan tawa di bioskop.
Ya, namanya saja cerita cinta. Cinta segitiga. Ada-ada saja
toh permasalahannya. Yang kutahu, cinta segitiga ya begitu-begitu saja adanya,
selalu ada amarah dan airmata. Ada mengalah dan meninggalkan. Adalah tingkat
kebaperan masing-masing. Namun, alasannya saja yang mampu mempengaruhi tingkat
baper itu. Nah di film ini alasannya seperti itu [sorry for almost spoiling]
ya, sudah pasti sudah banyak film dengan alasan yang sama yang pernah aku
tonton. Jadi nggak kaget.
And, I've proved that I didn't supposed to what people said
about how baper this film was.
Baper di tengah deh, saat si Dave kecelakaan dan koma di
rumah sakit [ups, sorry again]. Ada kekhawatiran juga apa yang terjadi pada dia
selanjutnya. Kasihan maksudnya si Dimas mulutnya dipasangin kayak gituan terus.
Well, 3,5/5 stars.
Aku nggak nyesel nonton film ini. Sudah jelas aku menanti
film-film selanjutnya, apalagi jika menghadirkan dua bintang ini ke layar kaca.
Selalu menjadi yang dinanti-nanti kaum adam-hawa...
...remaja lebih pastinya. Hehe.
InsyaAllah aku masih remaja, kok. Buktinya masih suka aja
sama cerita-cerita yang muda banget seperti ini. Love love love! ;)
See ya!
Wait, sepertinya malah pertanyaan dari judul di atas belum terjawab, ya? Menurut kalian lebih baik bertahan atau menyerah?
Menurutku, jika cinta itu memberi dampak positif bagi hidupmu, bertahanlah. Jangan menyerah, karena jika menyerah sudah pasti itu bukan cinta.
Namun yang pasti, pesan penulis, jika waktunya sudah tepat, semua akan sesuai dengan janji-Nya. :)
Menurutku, jika cinta itu memberi dampak positif bagi hidupmu, bertahanlah. Jangan menyerah, karena jika menyerah sudah pasti itu bukan cinta.
Namun yang pasti, pesan penulis, jika waktunya sudah tepat, semua akan sesuai dengan janji-Nya. :)
0 comments: