0

You're Not Alone

You’re Never Alone!

Created on last November.


Saat ragaku perlahan tak berdaya, yang kuingin hanya kebahagiaan,
yang kuingin hanya mereka ada di setiap aku membuka mata,
sampai saat nanti aku tak bisa membuka mataku kembali.

Diam. Hanya diam. Tak ada yang menarik untuk kulakukan. Kupandangi lagi orang-orang itu. Sibuk dengan sendirinya.
Semenjak saat insiden itu, aku merasa seperti kehilangan hampir seluruh bagian dari hidupku. Entah ragaku, nafasku, bahagiaku. Dan kurasa tak akan ada lagi yang bisa membawanya kembali, selain satu, kembalikan mereka ke kehidupanku.
Panggil aku Sparkle. Entah akupun tak mengerti mengapa orang-orang itu memberiku nama itu. Atau mungkin karena buluku. Dengan warna monokromatik abu-abu putih dengan goresan-goresan coklat kekuningan membuat mereka menganggapku berkilauan. Dan kurasa itu nama yang cocok untukku. Untuk ukuran kucing secantik aku. Hehe.
Aku memang paling cantik, dari kucing-kucing lain di rumah ini. Karena memang aku satu-satunya betina di sini. Ibuku mati. Keracunan. Akupun tak mengerti. Yang aku tahu, ibuku telah terbujur kaku dengan busa-busa di sekitar mulutnya. Padahal lima belas menit sebelumnya, kulihat dia membawa makanan yang spesial untukku, untuk anak-anaknya.
Pus.. pus..
Tangan halus orang itu membelai lembut bulu-buluku. Kubalas dengan meongan kecil, pertanda aku menghormatinya. Tangan-tangannya yang memain-mainkan tali di hadapanku, mencoba membuatku bangkit dan seakan tanpa beban.
Kuraih tali itu, namun kutak merasa kebahagiaan sedikitpun. Apa yang menarik dari ini? Bermain tali, semata untuk menghilangkan rasa dukaku. Aku berhenti melakukan itu, dan kembali terpuruk dengan semua kegelisahanku.
Kemudian orang itu mencoba mengais-ais sesuatu. Kaca. Kurasa dia mencoba menghiburku dengan menghadapkanku pada bayangan diriku. Memang dulu aku sangat tertarik, memandangi kaca itu dan merabanya. Dan ternyata hanya bayangan diriku. Dan sekarang dia berusaha membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian, namun nyatanya?

Sendiri. Di kursi ini. Dan kembali orang-orang itu pergi selama paling tidak tujuh jam kemudian  baru aku bisa menikmati udara luas. Karena mereka mengunciku di dalam rumah ini. Ya, sendiri.
Kalau saja peristiwa itu tidak terjadi. Mungkin aku takkan merasa sesepi ini. Mungkin aku bisa berlarian, saling berkejaran, atau bahkan menggigiti tubuh kakak-kakakku yang keras, karena mereka tak segendut tubuhku. Mengais-ais tempat sampah, memakan sisa-sisa makanan di meja, dan berlomba-lomba mengejar kecoa. Kalau saja mereka di sini, mungkin aku bisa meregangkan tubuhku di atas tubuh kakak-kakakku, dan kehangatan kurasakan pagi ini.
Andai saja hal itu tidak terjadi, mungkin aku tak selemah ini membendung butiran air yang menggenangi kelopak mataku.
Ah sudahlah. Orang-orang bilang, nasi sudah menjadi bubur. Semua takkan mungkin kembali.
Kupejamkan mataku perlahan, perlahan, namun perlahan kenangan-kenangan hadir di setiap sudut ruangan tempat kami menghabiskan waktu bersama. Membunuh waktu, sampai pada akhirnya pemilik rumah ini membukakan pintu dan membawa sedikit makanan yang mengenyangkanku. Aku rindu mereka.
Aku benar-benar tak bisa menerima kenyataan bahwa Skilly tak mungkin akan bisa di sisiku lagi. Aku tak percaya Skilly sudah mati! Dan aku tidak terima bila dia mati karena penyakit yang sama sekali tak kuketahui itu, yang tiba-tiba hadir menyerang tubuh kami.
Iya, entah kenapa. Saat itu aku yang pertama kali mendapat virus penyakit yang -orang-orang itupun- tidak mengenalinya. Kakiku pincang, dan tubuhku terasa sangat berat. Dan tanpa aku sadari, kakak-kakakku juga merasa hal yang sama, tapi justru Skilly yang jauh lebih mendahului pergi meninggalkan kami.
Yang kutahu, Skilly tak pernah sakit. Yang kutahu, Skilly pemberani dan tak selemah saat itu. Dengan tubuhnya yang terlentang di kamar mandi, kukira si putih abu-abu itu kelelahan dan beristirahat sejenak di sana, namun gerombolan semut itu seolah menyalahkan perkiraanku. Dia mati. Benar.
Dan Darkle, kucing bersweater, kata orang-orang. Iya, bayangkan saja, dengan tubuhnya yang full black, dan ujung-ujung jarinya yang berwarna putih, memberi kesan bahwa Darkle si kucing bersweater. Dia mati? Akupun tak mengerti.
Semenjak kepergian Skilly, Darkle-pun tak lagi terlihat di sini. Dan orang-orang itu juga tak kalah khawatir dengan apa yang kurasakan saat itu. Coba renungkan, dengan keadaan tubuhnya yang hampir menyerupai tulang-belulang berjalan itu pergi dan tak kembali berhari-hari ini. Iya, kami mengira dia telah mati. Namun, kuharap perkiraan ini salah besar!
Blackish. Satu-satunya yang tersisa. Adik ibuku ini sangat kuat. Dia bisa bertahan dengan luka yang satu ini. Padahal tubuhnya sudah sempoyongan, kakinya pincang, dan baunya sangat membuatku ingin menutup hidungku rapat-rapat.
Penjagaannya sebagai bagian dari mandat Ibu tak lagi sampai kepadaku. Dia pergi, begitu saja. Meninggalkan aku sendiri di sini. Dan pulang jika perutnya merasa lapar.
Oh, Penciptaku, aku tak ingin seperti ini. Aku ingin semua kembali seperti semula seolah peristiwa itu tak pernah terjadi.
Andai aku bisa lebih pintar dari manusia, akan kuubah bubur itu menjadi nasi kembali. Tapi aku tak sehebat Tuhan. Aku tak bisa menyentuh takdir, apalagi merubahnya.
Mataku kembali memejam. Kali ini aku bisa untuk meneruskan tidur sepiku. Untuk pertama kali, tidur tanpa ada yang menemani. Dan kucoba untuk membiasakan ini. Dan kuharap, bahagia datang saat aku membuka mataku nanti.

------------------------------------------------------[You’re Never Alone! Last November]-------------------------------------------------

“Cuma Sparkle yang bisa lepas dari penyakit itu.” Kata Nyonya, sesekali mengangkat tubuhku ke pangkuannya. “Ya sudah, punya kucing satu saja malah lebih enak.” Lanjutnya.
Memang benar. Sendiri memang enak. Bisa dimanja setiap hari. Mendapat full santapan siang malam tanpa berebutan. Tapi sungguh, aku lebih menginginkan mereka ada di sini.
Coba lihat makanan yang berceceran di lantai itu. Tulang-tulang yang masih utuh, nasi-nasi yang masih separuh. Barangkali Blackish akan pulang. Tapi aku yakin dia pasti pulang.
Aku merindukan saat berebutan makanan dengan Skilly dan Darkle, dan sesekali Blackish mundur karena kelakuanku yang garang. Kelakuanku yang ingin menang sendiri. Karena aku lapar sekali, sungguh.
 Aku benar-benar merindukan mereka. Terlebih Ibu. Biasanya disaat seperti ini, aku sudah terlelap di pelukannya. Belaian lembutnya, kasih sayangnya, penjagaannya, membuatku yakin bahwa dia adalah malaikatku. Malaikat tersendiri yang Tuhan beri untukku, untuk kami. Sayang, dia telah pergi. Sebelum sempat aku menunjukkan bahwa aku bisa seperti Ibu. Maafkan gadis kecilmu ini, Ibu.

Hujan lagi. Dan sendiri, lagi. Malam ini terasa dingin sekali. Suara radio yang sama sekali tak bisa ditangkap telinga karena memang sangat bising membuatku tak bisa menikmati tidurku malam ini. Apalagi suara kucing jantan yang sedari tadi mengaum tepat di depan rumah. Tunggu, kucing jantan?
Blackish datang. Dan, uh, kakinya penuh darah. Mukanya yang usang dan oh, Blackish, kau terlihat sangat kesakitan. Aku senang dia datang. Tapi, Tuan itu berlari ke arahku. Dan yang sangat membuatku tak habis pikir, dia sudah begitu siap membawa sapu lidi di tangannya. Sekiranya, dia tak suka Blackish ada di sini. Dengan gesat dia mengayunkan sapu itu ke kanan dan ke kiri, menyapukan ke arah tubuh Blackish yang terlihat kedinginan itu.
Aku mendekat ke arah kaca. Kulihat dia mendekam di atas pot bunga. Suaranya yang mengalahkan suara rintik-rintik hujan yang mengetuk atap-atap rumah.  Aku sangat mengerti, aku memahami sakit yang dia alami. Terlebih dengan diusirnya dia dari sini. Maafkan aku, hanya saja aku terlalu lemah untuk melawan apa yang Tuan lakukan.
Andai aku bisa bicara dengan manusia. Akan kutunjukkan bahwa kami juga berhak mendapatkan keadilan. Kami sama seperti mereka hanya saja mereka tak pernah memahami. Kami memiliki roh seperti mereka, yang hidup hanya sekali. Namun memang, kami tak memiliki kesempatan merasakan indahnya tempat yang manusia impi-impikan. Surga.
Hanya di dunia. Hanya di dunia aku bisa merasakan benar-benar telah terlahir.

Aku pasti bisa kan seperti Ibu? Aku tak ingin merasa sendiri lagi. Aku ingin seperti Ibu, mempunyai bayi-bayi kecil yang sangat menggemaskan.
Dengan itu, aku bisa berlarian mengejar mereka, menyusui mereka, membuatnya terlelap dalam hangatnya pelukanku. Seperti apa yang Ibu lakukan padaku. Lalu melarangnya bermain terlalu jauh, menggendongnya saat mereka merasa takut, membiarkan mereka bermain-main dengan ekorku, atau bahkan mati, demi satu yang menjadi impianku, membuat mereka bahagia.
Aku bisa seperti Ibu. Hanya saja, perlu bermilyaran detik untuk bisa mewujudkan angan-angan itu. Perlu bermilyaran detik lagi, melawan waktu, tanpa Ibu, tanpa kakak-kakakku, tanpa apa yang pernah menjadi bagian dari hidupku, dulu.
Namun, tidak, aku tidak sendiri. Masih ada orang-orang itu di sini. Masih ada Blackish, meski hanya selangkah dua langkah dia menginjakkan kakinya di rumah ini.
Dan masih ada jodohku, nanti.
Juga bayi-bayi kecil,
sebelum mata ini benar-benar tak bisa membuka kembali.

------------------------------------------------------[You’re Never Alone! Last November]-------------------------------------------------

0 comments: