Monday, February 15, 2016

0

Review London Love Story: Menyerah atau Bertahan untuk Cinta yang Pernah Mati?

Posted in , , , , , , , , , , ,

oleh: Atika R. Fitria [IG]

Poster London Love Story [pict from Google]

SINOPSIS FILM

"Someone somewhere is waiting for you"

Film Romantis Indonesia "London Love Story" menceritakan tentang Caramel (Michelle Ziudith) seorang gadis Indonesia yang selalu ceria dan optimistis dalam bekerja paruh waktu di kedai pizza, di sela waktunya sebagai mahasiswi di salah satu Universitas di London.

Tanpa ada yang tahu, Caramel pergi ke London untuk menghindari seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang membuat Caramel selalu menyembunyikan luka hatinya dengan senyuman. Di kota London yang sama, adalah Dave (Dimas Anggara) ia merupakan seorang mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah di London, Pada suatu ketika Dave berada di tempat dan waktu yang salah, Dave harus menyelamatkan seorang gadis bernama Adelle (AdillaFitri) yang mau bunuh diri dengan loncat dari jembatan. Bima (Dion Wiyoko) adalah mahasiswa Indonesia, yang selama setahun berusaha mendapatkan cinta Caramel dan sampai akhirnya Caramel tidak mengatakan iya dan tidak kepada Bima. 

Kemudian Bima berusaha mencoba introspeksi diri tentang kekurangan dia yaitu dia bukanlah cowok yang suka basa basi tetapi ia berjanji akan menyayangi Caramel kalau dia bersedia menjadi belahan jiwanya. Caramel hanya terdiam terpaku dan membuat Bima lebih bingung. Kenapa Caramel tidak menerima cinta Bima? Apa ada laki–laki lain yang membuat Caramel tidak bisa menerima cinta Bima atau Dave yang merupakan masa lalu Caramel? Dan sebaliknya justru Adelle jatuh cinta pada Dave karena dianggap laki-laki sempurna buat Adelle, tapi apakah Dave menerima cintanya Adelle? 

sumber: [http://www.gratisfilmasia.com/2016/01/sinopsis-london-love-story-2016.html] Detail 



Film London Love Story (2016) 

Genre : Drama, Romantis 
Sutradara : Asep Kusdinar 
Produser : Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo 
Penulis Skenario : Tisa TS, Sukhdev Singh 
Pemain Film : Michelle Ziudith Dimas Anggara Adila Fitri Dion Wiyoko 



SINOPSIS NOVEL

Penulis: Tisa TS dan Sukhdev Singh 
Penerbit: Loveable (Ufuk Press) 

“Aku minta, Tuhan ambil nyawa aku satu hari sebelum Tuhan ambil nyawa kamu!” London Love Story bercerita tentang seorang cewek Indonesia bernama Caramel (Michelle Ziudith) yang selalu ceria dan optimistis, bekerja paruh waktu di kedai pizza di sela waktunya dan sebagai mahasiswi di salah satu Universitas di London.Tanpa diketahui, keberadaan Caramel di London salah satunya untuk menghindari seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang membuat Caramel menyembunyikan luka di hatinya dengan senyuman. 

Di belahan kota London yang sama, adalah Dave (Dimas Anggara) seorang mahasiswa Indonesia yang berkuliah di London, suatu ketika Dave berada di tempat dan waktu yang salah, Dave harus menyelamatkan seorang gadis yang berusaha untuk bunuh diri dengan loncat dari jembatan dan diketahui bernama Adelle (AdillaFitri) yang berasal dari Indonesia. Setelah kejadian itu, Dave akhirnya terpaksa tinggal satu apartemen dengannya. Konflik mulai terjadi ketika Caramel akhirnya bertemu dengan seseorang dari masa lalunya, tepat di London. Pertemuan yang sangat tidak diinginkan oleh Caramel.


****

REVIEW FILM

Ditulis oleh orang yang sama dengan yang menulis naskah skenario film yang sudah aku tonton sebelumnya, "Magic Hour". Jelas saja, aku merasa ada beberapa scene yang sama dengan film yang dibintangi oleh bintang yang sama juga di film tersebut. Awalnya aku pikir ini adalah lanjutan dari Magic Hour, karena pertama-tama sudah disuguhi oleh setting serba keemasan yang mencolok. ya, di saat-saat magic hour sama persis seperti di film Magic Hour. Tapi syukurlah, karena di film Magic Hour setting lebih kepada suatu bukit, namun di film ini di pantai: saat magic hour itu.

Dan tempat yang berbeda pastinya. London Love Story sudah pasti di London.

Sayang, setelah menonton Magic Hour, aku tidak menuliskan reviewnya, jadi aku cuma menulis secara singkat saja kesamaan yang bisa aku tangkap dari film besutan Screenplay Production ini.

Baiklah, dari cover, aku suka sekali. Ya bagaimana lagi, jujur saja, aku mengakui sangat suka dengan chemistry yang dibangun oleh Dimas Anggara dan Michelle Ziudith ini, berhubung sudah beberapa film yang dibintanginya sudah aku ikuti dengan seksama. Contohnya saja pada sinetron Love in Paris yang mengisahkan bagaimana hubungan keduanya di kota romantis itu. Jadi, aku sangat suka, di antara chemistry itu aku melihat sebuat lukisan yang menggambarkan bagaimana kehidupan di London. Perpaduan warna yang manis, tak lepas dari kategorinya yang ditujukan untuk remaja.

Dengar-dengar sih, ya, film ini bakal menyaingi kesuksesan film Magic Hour, dibuktikan dengan antrean panjang yang aku alami saat mau beli tiket di Citra XXI Semarang. Padahal sudah ada dua teater yang menayangkan film yang sama, namun jam yang kita inginkan sudah penuh semua dan kita harus menunggu berjam-jam lagi untuk bisa membuktikan "seberapa bikin bapernya" film ini seperti kata orang-orang yang sempat melintas di televisi di acara Meet and Greet-nya Michelle Ziudith dan Dimas Anggara.

Alasan utama selain pengin buktiin seberapa baper, memang aku tidak pernah bosan atau bisa dibilang kangen dengan akting Dimas dan Michelle ini. Terlebih dengan kesenanganku pada cerita yang mengisahkan cinta segitiga (wadaw!) seperti yang ada di film ini dan Magic Hour-yang sempat mengambil hati-ku dengan akting Michelle dan Dimas yang memang aduhai.

Oke, beberapa menit sudah aku lewati. Masih baik-baik saja. Tidak ada tisu atau apa itu. Namun yang membuat aku sedikit terganggu (-dan sedikit menyesal) adalah, di depanku ada pasangan muda mudi yang, duh, kelakuannya ngalahin romantisme yang ada di layar kaca yang besar itu! Mengganggu saja. Oh, aku yang salah pilih kursi atau salah masuk sih ini.

Kemudian ada sebuah adegan di mana di sana ada Adelle (Adila Fitri) sebagai seorang pengantin yang gagal nikah, mau terjun ke jurang. Lah, Dave merasa jadi orang yang kurang beruntung kenapa harus dia yang bertemu dengan orang ini di sini? Nah, ini yang membuat aku flashback, script-nya dirasa sama seperti adegan di film Surga yang Tak Dirindukan saat Pras menggagalkan niat Meirose untuk bunuh diri dengan terjun dari lantai teratas sebuah gedung rumah sakit. Di sana Pras juga menjelaskan bagaimana ia dengan bodoh mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, juga apa yang akan terjadi ketika ia terjun nanti.

Ya, namanya saja film genre fiksi remaja ya. Mengapa sampai setengah jalan, sampai si Cara bertemu dengan Dave di bawah air mancur dengan alunan Percayalah milik Afgan dan Raisa yang mendayu merdu. Kukira memang saat itulah puncak konflik, namun aku belum merasakan feel seperti yang kuharapkan. Ya, sebagai seorang wanita aku berharap saat itu aku sedang berada di posisi Cara, namun aku lebih merasa saat itu aku sedang berada di posisi Dave. Karena ketidaktahuan alasan mengapa Cara begitu membencinya dan meninggalkannya ketika malam itu tiba.

Alasannya, karena film ini dibuat dengan alur yang campur-aduk. Dan jawaban dari 'tanda-tanya' itu berada di alur agak depan, dan menggantung-yang menjadi pemicu utama konflik itu. Ya, untuk film romance baper sih memang aku prefer dengan alur maju dibanding dipotong-potong seperti ini. Duh, mungkin maksud aku lebih pada, penulis skenario seharusnya harus lebih hati-hati menampilkan alur. Boleh dibuat segmen, namun harus tahu durasi. Walah, pardon me kalau kata-katanya amburadul dan sok ngasih tahu, tapi ini menurut kacamataku saja. 

Jadi, aku tidak bisa merasakan kebaperan para cewek. Malah aku merasa kekecewaan seorang lelaki yang terbodohi oleh waktu yang terbuang sia-sia untuk menunggu hal yang tak pasti dan tak tahu di mana kesalahan yang membuat semuanya hancur. Mungkin Dave masih bisa sabar dan setia menunggu, laki-laki lain? Wait, wait, stop!

Memang, kesalahpahaman memang bisa merusak semuanya. Namun itu hanya terjadi pada pribadi yang kurang komunikasi, ya, teens. Ceilah teens!

Ngerasa dewasa gitu, ya? Karena tiga kali berturut-turut menonton film romantik islami yang lebih menekankan pada kehidupan rumah tangga ternyata mampu membuat pribadiku goyah. Wakak. Buktinya, sampai detik-detik terakhir film ini, tidak ada satupun air mata yang menetes :'(

Bu, Pak, anakmu mulai dewasa. Alhamdulillah.

Film ini terlihat indah, karena menampilkan betapa apik gedung-gedung rapi yang disertai lampu-lampu keemasan di London. Terlebih yang membuatku tertarik adalah ketika terpaku pada satu titik yaitu, bianglala. London Eye, salah satu bianglala terbesar di dunia. Semoga ada keajaiban untuk mampir dan menikmati satu saja kapsul bianglala tersebut. 

Look at this picture, kapsulnya keren banget, kan! Uhhuuuu, wanna try this someday!

London Eye's Capsule at the highest part [pict from Google]
Jujur, aku suka sekali dengan bianglala. (Ada yang tanya, kan? Ada dong, please!)

Namun dengan keindahannya, justru dari segi cerita kurang kental sekali dalam menceritakan lokalitasnya. Karena sebuah cerita akan terasa hidup bila lokalitas juga hidup. Mungkin tidak hanya dijadikan sebagai latar belakang, namun dengan sedikit ucapan dari lakonnya juga bisa menghidupkan suasana. Namun, mungkin ada beberapa cara penulis dan sutradara dalam menampilkan lokalitasnya. Ada yang dengan lisan, ada juga hanya menampilkan sebagai latar tempat-agar penonton ngeh sendiri. Selalu cara terbaik yang dipilih sutradara dan penulis kok. Mungkin jika lisan takut jika bertele-tele. Namun sudahlah, dengan akting si Michelle dan Dimas saja cerita terasa sudah hidup kok. Apalagi saat si Ramzi datang, dia memang yang paling menghadirkan tawa di bioskop.

Ya, namanya saja cerita cinta. Cinta segitiga. Ada-ada saja toh permasalahannya. Yang kutahu, cinta segitiga ya begitu-begitu saja adanya, selalu ada amarah dan airmata. Ada mengalah dan meninggalkan. Adalah tingkat kebaperan masing-masing. Namun, alasannya saja yang mampu mempengaruhi tingkat baper itu. Nah di film ini alasannya seperti itu [sorry for almost spoiling] ya, sudah pasti sudah banyak film dengan alasan yang sama yang pernah aku tonton. Jadi nggak kaget.

And, I've proved that I didn't supposed to what people said about how baper this film was.
Baper di tengah deh, saat si Dave kecelakaan dan koma di rumah sakit [ups, sorry again]. Ada kekhawatiran juga apa yang terjadi pada dia selanjutnya. Kasihan maksudnya si Dimas mulutnya dipasangin kayak gituan terus.

Well, 3,5/5 stars.

Aku nggak nyesel nonton film ini. Sudah jelas aku menanti film-film selanjutnya, apalagi jika menghadirkan dua bintang ini ke layar kaca. Selalu menjadi yang dinanti-nanti kaum adam-hawa...

...remaja lebih pastinya. Hehe.

InsyaAllah aku masih remaja, kok. Buktinya masih suka aja sama cerita-cerita yang muda banget seperti ini. Love love love! ;)

See ya!




Wait, sepertinya malah pertanyaan dari judul di atas belum terjawab, ya? Menurut kalian lebih baik bertahan atau menyerah?

Menurutku, jika cinta itu memberi dampak positif bagi hidupmu, bertahanlah. Jangan menyerah, karena jika menyerah sudah pasti itu bukan cinta.

Namun yang pasti, pesan penulis, jika waktunya sudah tepat, semua akan sesuai dengan janji-Nya. :)

0 comments: