0

Raka!

from google

Short Story. Created on October 2012.

“Sekali pembohong tetep aja bakal jadi pembohong! Jadi, lo mau jelasin berapa kalipun tetep aja nggak ada bedanya, nggak bakal bisa nutupin kebohongan lo!”
Perlahan kristal-kristal bening terjatuh ke pipi Shanny. Peristiwa semalam itu masih saja bergemang di fikirannya. Dia sama sekali tak percaya, cowok yang amat dicintainya itu segitu gampangnya meninggalkan dia, dan membawa pergi janji yang dulu pernah terucap di antara mereka.
    “Seumur-umur, baru kali ini lho, gue lihat Shanny nangis kayak gini. Udahlah Sha, nggak usah dipikirin lagi, mungkin ini cuma emosi sesaatnya aja.” Eren yang sedari tadi menemani Shanny di kamarnya, hampir menyerah membuatnya berhenti menitikkan airmata. Entah harus dengan cara apa lagi.
    “Gue udah coba buat jelasin semua, pelan-pelan. Tapi dia sama sekali nggak percaya sama gue, Ren. Gue berani sumpah, gue nggak pernah ada hubungan dengan cowok itu!” tangis Shanny semakin meluap-luap.
    “Raka masih labil, lo pasti juga tau itu kan?”
    “Nggak Ren, ini bukan Raka. Raka yang gue kenal nggak kayak gini.”
    “Dia Raka, masih sama seperti Raka yang dulu. Raka yang labil, Raka yang mudah berubah pikiran. Lo inget kan, waktu Raka hampir saja mutusin lo dulu gara-gara hal sepele, selang beberapa menit kemudian, apa yang dia lakuin? Dia balik lagi kan ke elo. Dia masih labil, Sha.”
    Shanny berhenti menangis. Dia seperti menangkap sesuatu dari perkataan Eren. Gelengan pelan muncul, sesaat setelah Shanny menatap tajam mata Eren.
    “Gue lebih tau siapa Raka. Dan Raka nggak pernah kayak gini. Raka udah berubah!”
Sejenak semua menjadi sunyi.

***
Tak ada pesan masuk. Bahkan sudah berjam-jam Shanny memandangi handphone-nya dan berharap ada sesosok icon amplop yang muncul di layarnya, tentunya dari Raka.
    Dia masih saja tak bisa menerima kenyataan bila hubungannya dengan Raka harus berakhir begitu saja, hanya karena Raka tak mempercayainya.
    Hampir dua tahun. Bahkan empat hari ke depan, genap dua tahun, Shanny berjanji akan memberi yang terbaik di hari jadi mereka. Tapi apa yang didapat? Bahkan semua kandas, sebelum Shanny benar-benar bisa membuktikan bahwa dia akan benar-benar menepati janjinya.
    “Gue nggak pernah ada niat buat deketin cowok lain apalagi ada hubungan, sama sekali nggak pernah. Gue cuma sayang sama elo, Raka.” Gumamnya, sambil memeluk boneka dari Raka saat ulang tahunnya, setahun yang lalu.
    “Kenapa sih, lo nggak mau dengerin gue dulu? Kenapa dengan gampangnya lo bilang putus ke gue, tanpa denger penjelasan dari gue. Mana Raka yang dulu gue kenal?” airmata kembali mengalir di pipi Shanny, bahkan lebih deras dari saat dia bersama Eren tadi siang.
    “Gue sayang sama Raka, gue nggak mau lo pergi.” Dipeluknya boneka itu semakin erat.
    “Sha, masih nangis aja lo?” suara Eren yang sangat tiba-tiba itu sudah sangat mengagetkannya. Begitu kebiasaan teman dari kecilnya, selalu masuk ke kamar orang tanpa ketok pintu dulu. Jadi, jangan heran jika setiap orang bisa saja jantungan gara-gara dia. Tapi dialah Eren, sahabat Shanny yang bukan hanya saat senang saja, selalu ada untuknya.
    Eren memandanginya lebih dalam. Butiran kristal masih saja membanjiri wajahnya, namun dengan cepat Shanny mengusapnya.
    “Udah, daripada idup lo, lo abisin buat mewek terus di kamar, mending lo ikut gue.” Tangan Eren menarik tangan Shanny. Seketika boneka dari Raka terlepas dari pelukannya.
    “Ke mana, Ren?” tanyanya, dengan wajah sayu.
    Eren benar-benar tak tega melihatnya. “Nanti lo pasti bakal ngerti.” Eren tersenyum.

    ***   
“Gue sengaja bawa lo ke sini. Biar lo nggak larut sama kesedihan lo. Gue aja nggak tega ngeliatnya.” Kata Eren, sesekali memainkan jari-jarinya di atas stir mobilnya.
              “Oya, lo inget kan, Sha, gue pernah ngilangin jam tangan Vena di sini. Padahal dia baru aja beli dari Amerika. Gimana nggak uring-uringan tuh. Haha,” Eren terpingkal-pingkal.
              Ada sesuatu yang ganjal. Eren merasa tak ada yang mendengar celotehnya. Sesegera dia melirik ke arah Shanny, “pantes.” Shanny sedang melamun, melihat ke arah luar kaca mobil dengan pandangan kosong.
             “Udah, Shanny.. Nggak usah segitunya kali. Kayak nggak pernah ngalamin ini aja. Kalo emang dia jodoh nggak bakal kemana kok, percaya deh.”
            Masih tak ada jawaban. Matanya masih terfokus pada satu pandangan, namun fikirannya tertuju pada satu masa yang tak bisa enyah dari otaknya. Dua tahun lalu.
      “Ngapain sih bawa gue ke sini?” Teriak Shanny sembari menjatuhkan dirinya ke kursi besi yang berembun. Kesal, beradu mulut dengan cowok rese ini.
“Dengerin gue. Sha, gue nggak bisa terus-terusan mendem ini semua.” Sinar matanya menunjukkan ketulusan yang bagi Shanny, tak pernah dia lihat sebelumnya.
“Gue bener-bener nggak ada rasa sama dia, gue.. gue,” lanjutnya.
“Oh ya? Terus, tadi kenapa lo keasyikan bercanda sama dia, guenya nggak dianggep sama sekali? Lo suka kan sama dia? Kalo suka tuh bilang!” potong Shanny.
“Sha, lo cemburu? Sha, gue sayangnya sama lo, bukan dia.”
Shanny terdiam. Kata-kata Raka membuatnya seolah seperti terlepas dari jet coaster setinggi seratus meter. Tersentak.
“Mau nggak jadi pacarku?” Tak ada kegugupan pada Raka. Begitulah dia, menunjukkan apa yang sebenarnya dia rasakan, karena yang dia cinta Shanny bukan Terry, sahabat Shanny, dulu.
Kristal bening itu mengalir lagi dari mata indah Shanny. Tanpa isak tangis, hanya saja kehangatan dari kenangan itu memaksa kristal-kristal tersebut menemani keheningan Shanny malam ini. Tangan halus itu perlahan mengusap airmata itu, “Lo ngajak gue ke tempat yang salah.”
Eren mengerutkan alis, “Kenapa?” “Bukannya lo selalu bilang kalo tempat ini tempat terindah lo, tempat lo lari dari semua masalah yang dateng berkali-kali?” lanjutnya.
“Tapi jangan sekarang.” Rengek Shanny terdengar lagi, membuat Eren bosan mendengarnya, “terus kapan?”
“Gue mau pulang.”
Tingkah laku Shanny yang semakin menjadi-jadi memaksanya membanting stir, membalik arah. Pulang.

    ***
“Udah? Masih mau nangis lagi? Capek gue, susah payah cuma bikin lo nggak nangis lagi, senyum kayak dulu lagi. Tapi pengorbanan gue emang nggak seberapa, nggak pernah ada harganya.”   
“Maafin gue, Ren.” Rengeknya yang kesekian kalinya.
“Maaf buat apa? Lo nggak salah kok, guenya aja yang sok pahlawan, terlalu yakin bisa bikin lo nggak kayak gini lagi.”
“Maafin gue, gue salah. Nggak seharusnya gue kayak gini.” Sesekali tangannya menggerak-gerakkan tubuh Eren yang terbaring satu ranjang namun membelakanginya. “Gue cengeng ya, Ren? Gue bodoh, nggak seharusnya gue ngacuhin lo yang peduli sama gue cuma gara-gara Raka yang jelas-jelas nggak mikirin perasaan gue.”
“Udah malem, mending lo tidur deh. Besok ada tambahan pagi.” Perlahan Eren menutup kelopak matanya, tak peduli seberapa besar volume rengekan Shanny yang memaksa Eren untuk memaafkannya. Terlalu lelah.
   
    ***   
Pagi, buta sekali. Eren melangkahkan kaki sempoyongan ke arah dapur. Dilihatnya samar-samar, Mama Shanny berdiri di atas hidangan yang sesekali membuat matanya membuka lebar-lebar, “Tante, itu  kesukaan Eren.”
    “Iya, Tante sengaja bikin ini. Shanny juga suka, ntar dimakan bareng-bareng, ya? Oh iya, Shanny belum bangun?”
    “Belum, Tante. Dia kecapekan semalam suntuk ngerengek terus.” Eren tertawa renyah.
    “Kenapa lagi dia, Ren?”
    “Biasalah Tante, ABG.” Tawanya menyelimuti pagi ini. Tanpa mereka sadari, Shanny telah berada di ambang pintu kamarnya. Malang, matanya terlihat begitu sembab, bengkak.
    “Shanny, Mama masak makanan kesukaan kalian. Kamu mandi dulu gih, ntar dimakan bareng-bareng sama Eren juga.”
    “Shanny ijin nggak masuk dulu, Ma.” Shanny berjalan sempoyongan ke arah sofa ruang tamu yang tak jauh dari dapur tempat mereka berpijak.
    “Kenapa Shanny? Shanny sakit?” Mama terlihat begitu panik, dan dengan cepat berlari ke arahnya, meletakkan tangannya ke dahi Shanny.
    “Lo sakit, Sha?” Tanya Eren.
    Shanny mengangguk pelan. Terlihat jelas pucat pasi pada wajahnya. Eren tak pernah menyangka, Shanny selemah ini.

     ***   
Terpaksa, Eren harus menikmati hidangan spesialnya ini hanya berdua dengan Papa Shanny. Karena Shanny dan Mamanya harus pergi ke Rumah Sakit karena memang kondisi Shanny yang tak memungkinkan dia ada di sini, menyantap Cream Soup berempat, dengan Eren dan keluarganya.
    “Eren rencananya mau berangkat kapan?” Tanya Papa Shanny.
    “Nungguin Kakak sampe dia selesai wisuda dulu, Oom, baru nanti Eren ikut ke Jerman sama Mama Papa juga. Nerusin kuliah di sana.” Balasnya sembari meraih segelas susu di hadapannya.
    “Berarti nggak bisa main-main ke sini lagi dong? Nggak bisa main sama Shanny lagi.”
    “Ya bisa dong, Oom. Cuma itu ada waktunya aja, Eren juga nggak tau kapan, tapi pasti masih bisa ketemu kok, Oom. Oh iya, Oom, Eren berangkat dulu, ya.” Eren dengan cepat menghabiskan santapan paginya ini dan bergegas berlari keluar rumah.
    “Hati-hati, Ren.”

    ***
Eren berjalan pelan ke arah ruang kelasnya. Sendiri, tanpa Shanny.
              “Shanny ke mana?” Tanya salah seorang di koridor samping kelas Eren. Langkah Eren terhenti, tatapan tajam tertuju pada satu yang menjadi sumber suara yang membuatnya merasa kesal sekesal-kesalnya.
             “Buat apa lo nyariin dia? Lo tuh nggak pernah ngerti perasaan dia, bisanya cuma nyakitin aja!” emosinya meluap pagi ini, dan Raka yang jadi sasaran pertamanya.
             “Gue kan cuma tanya keadaannya, santai aja sih.”
              Eren terdiam. Dia benar-benar tak tau apa yang sebenarnya ada di fikiran orang tolol ini. Namun dia lelah, mubazir kalau sepagi ini tenaganya habis cuma buat ngurusin orang tolol seperti dia. “Shanny sakit, itupun karena lo.”
             “Karena gue? Emang gue ngapain?” Tanya Raka. Namun Eren kembali melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan Raka yang belum selesai berbicara. ‘Susah ngomong sama orang tolol.’
   
    ***
Eren memain-mainkan sedotan dalam segelas jus mangganya di kantin sekolahnya. Sendiri. Pandangannya tertuju pada lalu lalang anak-anak SMA 13 Jakarta yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dan dia tak tau berapa lama lagi bisa enyah dari sini, menunggu Vena datang mengantarnya pulang.
              Tiba-tiba, pandangannya tak sengaja menangkap dua pasang mata yang sangat ia kenal. Iya, sepasang mata orang tolol itu dan, dia?
    “Hayo, lagi ngelamunin apa lo?”
    Eren tersentak, tentu saja teriakan Vena yang persis berada di samping telinga membuatnya tersentak sampai-sampai memuncratkan jus mangga yang sesekali ia seruput itu.
    “Ven, terimakasih untuk surprise-nya, tapi denger deh, gue nggak lagi ngelamun, dan lo tau? Gue mau tanya satu hal sama lo,” kata Eren.
    “Tanya apa, Ren? Tapi sorry aja, ya, kalo mau tanya soal matematika yang tadi, sin cos tan-lah, trigonometri-lah dan aduh..”
    Tamparan dahsyat mendarat di pipinya. Sasaran kedua, Vena. Beginilah dia, kalo belum dikasih hadiah yang seperti itu, nggak bakal selesai nyelotehnya. Lalu dengan cepat, dia menarik tubuh Vena. Tangan Eren menunjuk pada satu arah yang menjadi fokus pandangannya sedari tadi, “lo kenal dia?”
    Mata Vena mencari-cari siapa yang Eren maksud. Dan Vena mengerti. Ia mengangguk.
   
    ***   
Eren membuka pintu kamar pelan-pelan, dan meletakkan tasnya di samping almari tempat ia dan Shanny merias wajahnya.
    Tubuh Shanny terkulai lemas, dia melihat, dan pandangannya tak jauh beda dengan semalam saat terakhir dilihatnya dalam mobil itu.
    Eren mendekati tubuh tak berdaya itu. Dan mengusap satu bening kristal di pipi Shanny, pasti menangis lagi. “Gimana keadaan lo, Sha?”
    Shanny menoleh pelan. Matanya terlihat begitu sayu. Tak tega melihatnya. Shanny hanya terseyum renyah. “Gue nggak apa-apa kok.”
    “Bener?”
    Shanny mengangguk. Tak ada celah kebahagiaan yang terlihat dari binar matanya. “Tadi Raka nanyain keadaan lo, Sha.”
    “Oh iya? Dia bilang apa aja, Ren? Terus lo jawab apa?”
Eren tersenyum, dia berat mengatakan semua. “Dia ngerasa bersalah kok, denger lo sakit.”
    Shanny ikut tersenyum, paras wajahnya berubah. Ceria. Ada sisa-sisa harapan. Meski setitik. Dan Eren senang melihatnya, meski harus berkata yang tak semestinya.
    “Eren mau nggak nanti malem anterin gue?”
    “Kemana, Sha?”
    “Ke tempat kemarin.”
    “Ngapain di sana? Kan lo lagi sakit, Sha. Trus, lo bilang, lo nggak mau lagi ke sana?”
    “Please..” hampir saja Shanny mengeluarkan jurus rengekannya yang ampuh itu.
    “Iya, deh. Buat Shanny apa sih yang nggak.” Eren tertawa. Dan Shanny, tak mau kalah.
   
    ***   
“Lo bener udah baikan kan, Sha? Nggak sakit kan? Ntar gue lagi yang repot.” Eren terkikik.
    “Lo tenang aja kali, Ren. Gue nggak apa-apa kok.” Shanny tersenyum. Dia menarik-narik tangan Eren ke suatu tempat, yang Eren belum datangi sebelumnya.
    “Lo mau ke mana sih, Sha?” Tanyanya heran. Eren melihat sekeliling. Di tatapnya satu toko yang baginya sangat asing. “Skateboard?”
    Shanny mengangguk. “Raka seneng banget main skateboard. Tapi, gara-gara kejadian itu, dia nggak lagi bisa nerusin hobi sejak SMP-nya itu.”
    “Kejadian apa, Sha?”
    “Perampokan.” Jawabnya lirih. “Rumah Raka dirampok, barang-barangnya dicuri, termasuk skateboard-nya. Nggak tau tuh maling gila banget, sampe skateboard segala dicuri. Semenjak itu, dia udah nggak tau lagi gimana bisa bermain skateboard. Sampe dia ketemu gue. Katanya, nggak ada lagi yang lebih penting dari gue. Sampe hobinya-pun, dia lupain cuma gara-gara gue. Berlebihan banget nggak sih? Haha. Tapi gue ngerasa bersalah banget, nggak seharusnya dia kayak itu. Makanya gue pengin ngasih ini biar dia bisa nerusin hobinya yang sempet hilang itu, semenjak kehadiran gue.”
    “Lo yakin, Sha?”
    “Iya, emang kenapa?”
    “Ii..iya nggak apa-apa sih, gue setuju, Sha. Gue seneng kalo emang lo seneng.” Eren tersenyum, namun ada perasaan janggal yang dia rasakan. Dan dia tak ingin ada satu yang menyakiti hati Shanny, lagi.
    “Tapi, Ren..”
    “Kenapa, Sha? Ada yang salah sama kata-kataku?”
    “Tapi, gue bingung mau pilih yang mana.” Shanny tertawa renyah.
    “Ahelah, gue kira apa.” Mata Eren mencari-cari, Shanny-pun sama. Sampai ada satu yang menurut mereka paling baik dari yang terbaik. “Iya, yang ini.”

    ***   
“Ren, nggak nyangka udah cepet banget.” Ada binar kebahagiaan pada wajah Shanny malam ini. Ditatapnya dalam-dalam skateboard yang baru saja ia beli, untuk Raka.
    Tentu saja keadaan yang seperti ini yang membuatnya tak pernah bisa lari dari kenangan-kenangan yang pernah dia lewati bersama Raka. Di tempat ini, di saat seperti ini. Namun, kenangan tetaplah menjadi kenangan, tak bisa terulang.
    “Dua hari lagi, tepat di hari ulang tahunku. Anniversary-ku sama Raka. Dua tahun.” Shanny tersenyum. “Tapi gagal.” Ada yang bergetar dari cara Shanny bicara. Shanny memandang wajah Eren, begitu dalam. Ada sesuatu yang memaksa keluar dari sudut mata yang terpantul lampu-lampu jalanan. Dan itu, tak asing lagi baginya.
    “Haha, nggak kok, aku nggak bakal nangis lagi,” sesekali Shanny mencoba mengusap sesuatu yang hampir saja terjatuh dari pelupuk matanya itu. Dan berkali-kali ia mencoba menutupi apa yang saat ini dia rasakan, dengan senyuman.
    Eren hanya menatapnya, diam, penuh iba. Hingga kemudian ia menarik tubuh Shanny dan meletakkan di pundaknya. “Kalo mau nangis, nangis aja. Pundak ini selalu ada buat lo.”
    Shanny sudah tak ingin lagi ada kristal bening itu malam ini, atau bahkan sama sekali tak bisa lagi menetes karena sudah habis semalaman. Dia hanya ingin tersenyum, berjalan tanpa beban. Bertahan walau tak ada Raka di setiap detik ia membutuhkannya.
    “Shanny coba liat itu, ada yang nyalain api unggun.” Eren menunjuk ke arah sinar yang berhasil menembus bola matanya. Tak jauh, dan ada yang memaksanya melangkahkan kaki secepat mungkin mendekati ribuan sinar yang menghangatkan malamnya kali ini.
    Mata Shanny memandang, namun tak tau apa yang dipandang. Matanya hanya tertuju pada satu titik. Kobaran api terlihat begitu jelas pada matanya yang berkaca-kaca. Sedang Eren, gelak tawa seiring tarian penari Jawa di samping api unggun tak bisa terhindar dari raut wajahnya.
    Ada yang berbeda. Ada satu yang membuat lamunannya buyar. Satu, yang tiba-tiba menggores luka di hatinya. Raka..
    “Sha, tarian mereka ngingetin aku sama indahnya hidup di dunia ini. Lo ngerasa juga nggak, Sha?” Eren bertepuk tangan sembari melirik ke arah temannya yang sedari tadi diam tanpa kata. Mimik wajahnya-pun berubah. Heran. “Sha, lo kenapa?”
    Belum sempat membalas pertanyaan Eren, Shanny beranjak pergi dan berlari meninggalkannya. “Sha!” Eren berusaha mengejarnya.
    Shanny terhenti di dekat mobil Eren. Dia lelah, mencoba berlari dari kenyataan. Kali ini dia tak mampu menahan airmata yang mendesak keluar dan membanjiri pipinya setelah melihat apa yang seharusnya tak ia lihat.
    “Shanny, lo tu kenapa?” Eren terengah-engah, yang kemudian menatap tajam-tajam sesuatu yang mengalir deras pada mata yang sayu itu. “Sha, ngomong, lo tu kenapa?”
    Shanny mulai kesulitan mengatur nafasnya. Tak ada satupun kata yang terucap, kecuali isak tangisnya. Hanya itu. Eren tak ingin melihatnya seperti ini. Tak berdaya, namun sama sekali dia tak tahu penyebabnya. Dengan pelan, Eren mencoba mengangkat tubuhnya masuk ke dalam mobil yang di parkir di sebelahnya.
    “Ya ampun, Sha, lo tu kenapa? Bilang dong, jangan asal kabur kayak barusan.” Eren mengencangkan sabuk pengamannya dan sesegera menyalakan mesin mobilnya. Panik. Heran melihat temannya yang bukan tanpa alasan seperti ini.
    “Udah, lo tenangin dulu pikiran lo. Baru abis itu cerita ke gue. Ya?” katanya sekali lagi. Eren paham dengan keadaan Shanny. Dan Eren tak ingin melihatnya semakin terhanyut dengan airmatanya sendiri, dengan lukanya sendiri. Dan yang pasti, itu dari pacarnya sendiri. Raka.
    Hening. Hanya suara isak tangis yang perlahan menghilang. Dan Shanny yang mencoba menata hati, memulihkan rasa sampai ia dapat berbicara.
    “Raka..” katanya lirih.
    Eren terkejut. “Raka? Kenapa, Sha?”
    “Ternyata benar dugaanku selama ini.” Katanya sembari mengusap airmata yang sedari tadi tak ada hentinya mengalir.
    “Iya, dia kenapa?” tanyanya sekali lagi.
    “Dia suka sama Terry.”
    Eren terdiam. Berusaha mengais-ais memori di otaknya. “Terry?”

        ***
“Sha, yakin kan lo bisa jaga diri baik-baik di rumah?” katanya sembari menyibak rambutnya yang sesekali menutupi alisnya yang tebal. “Gue nggak mau lihat lo kayak gini lagi.”
    Shanny mengangguk pelan. Kemudian Eren berdiri, melangkah pelan meninggalkan Shanny sendiri. Terbaring lemas di ranjangnya, sedang Eren harus sekolah karena hari ini ada ulangan Matematika.
    “Kalo ada apa-apa, telfon gue, gue usahain bakal ke sini.” Katanya di ambang pintu. Shanny mengangguk, tersenyum tipis.

        ***
Eren mengencangkan langkahnya. Berjalan melewati lorong-lorong kelas dengan emosi yang meluap-luap. Pandangannya berkeliaran, mencari sesuatu, pemuas rasa dendam itu.
    Raka, dengan sepasang headset di telinganya, duduk sambil manggut-manggut sendiri di koridor samping kelasnya. Eren berhenti tepat di hadapannya. Dan, Raka, menatapnya tanpa banyak bicara.
    “Nggak punya hati banget ya, lo.”
    Raka terdiam. Lalu dengan santai dia melepas sepasang headsetnya, “Lo ngomong apa barusan?”
    Eren menghela nafas. “Lo punya hati nggak sih?”
    “Ya punyalah. Trus kalo gue nggak punya hati, gimana bisa gue ada di sini?” jawabnya santai, tanpa merasa bersalah, sambil kembali memasangkan headsetnya.
    Eren menarik paksa headset itu, dan Raka hanya pasrah. Namun, hampir saja emosi itu meluap. “Cowok brengsek! Tega banget kamu berkali-kali nyakitiin Shanny. Lo sempet nggak sih, ngertiin gimana perasaan dia? Seenaknya aja main serong, tanpa ngerasa bersalah sama sekali.”
    Raka mengambil kembali headsetnya, lalu memasangkannya kembali. Beruntung Eren hanya memperhatikannya, namun emosi Eren semakin berada di ujung tanduk. “Main serong, maksud lo?”
    “Lo tu, TOLOL apa GOBLOK sih? Udah salah, pura-pura nggak tau lagi. Lo pikir, dengan lo jalan bareng Terry, ke kantin selalu bareng Terry, itu nggak bakal bikin Shanny kecewa? Mikir dong!”
    “Terry?”
    Eren menarik nafas dalam-dalam. Lelah berbicara dengan alien macam orang di hadapannya itu. Shanny.. Shanny.. kurasa, yang goblok itu elo, alien aja dijadiin pacar. “BEGO!” Gertaknya. Kemudian Eren berbalik arah dan pergi meninggalkan Raka.
    Raka hanya tersenyum, sinis.

        ***
Eren berjalan pelan memasuki kamar Shanny. Tak di dapatinya Shanny di ranjangnya. Namun dia melihat pintu kamar luarnya membuka. Ada Shanny di sana, tegap di atas kursi tamannya.
    Eren mendekatinya perlahan. Tanpa suara. Di pandanginya ia dari belakang. “Shanny?”
    Shanny tersentak. Sesuatu terjatuh dari pangkuannya. Dengan cepat dia meraihnya kembali. Dan, isak tangis terdengar begitu lirih.
    Eren duduk menyebelahinya. Dan dia benci harus melihat airmata untuk yang kesekian kalinya. “Kenapa di sini?” tanyanya pelan.
    Shanny tersenyum tipis, “cari angin.”
    Eren mengangguk. Matanya menangkap ada sesuatu yang sedari tadi dipeluknya erat-erat. Diary.
    “Lo nulis diary lagi? Boleh aku lihat?” Tanya Eren sembari tertawa renyah.
    Shanny tersenyum lagi, dan menggeleng pelan.
    Eren terdiam. Shanny yang kali ini, terlihat sangat lelah dengan semua lukanya. “Sha, lo nggak perlu lagi mikirin Raka sampai segininya. Apa lo rasa, dia juga mikirin elo? Apa lo kira, dia juga ngrasain luka yang sama kayak apa yang lo rasain?”
    Shanny terdiam. Tanpa jawaban. Matanya memandangi langit luas, dan fikirannya terpecah belah. “Sha, cowok nggak cuma dia. Terus lo rela nyiksa diri lo sendiri, sedangkan Raka seneng-seneng di sana sama cewek lain? Harusnya lo bisa lebih dari apa yang dia lakuin. Lo berhak dapet kebahagiaan, bukan kesakitan.”
    “Tapi gue sayang sama Raka.” Suara Shanny bergetar. Tak dapat lagi dia membendung sesuatu yang sudah terbiasa mengalir ke pipinya, semenjak Raka meninggalkannya.
    “Tapi dia nggak.” Jawabnya.
    “Raka juga sayang sama gue! Gue yakin suatu saat dia bakal sadar kalo gue yang paling pantes ada di sampingnya, gue yang paling bisa ngertiin dia, bukan Terry!” Shanny beranjak berdiri, dan berlari memasuki kamarnya. Tangisannya terdengar semakin kencang. Perasaan Shanny benar-benar berantakan.
    Eren terdiam. Tertunduk.

        ***
Lorong-lorong ruangan terlihat gelap. Lewat tengah malam. Eren tak ada di kamarnya. Dan kedua orangtuanya, sudah tertidur pulas.
    Shanny memelankan langkahnya. Membawa skateboard untuk Raka dengan sempoyongan. Berjalan menuju pintu depan dan membukanya perlahan-lahan. Sinar lampu taman begitu menyilaukan mata Eren yang sedari tadi mengawasinya di ruang tamu. “Mau kemana, Sha?”
    Shanny tersentak. Gelagapan. Hampir saja ia berteriak namun dengan cepat ia mengenali suara itu. “Ke taman.”
    “Ngapain?”
    Shanny terdiam, berfikir sejenak. “Nunggu Raka.”
    Shanny lalu meneruskan langkahnya dan menutup kembali pintu rumahnya. Meninggalkan Eren sendiri.
    Dia berjalan pelan. Dipandanginya kursi taman itu, tempat yang menjadi saksi saat pertama kali Raka memetikkan bunga untuknya. Dan ia meletakkan tubuhnya di kursi itu, sendiri. Shanny tersenyum, “Happy Anniversary, Raka.” Kemudian menangis.
    “Sha, lo nggak usah gila. Jangan ngayal, Raka bakal kesini. Ayo masuk, ntar lo sakit!” Eren menarik lengan Shanny. Namun Shanny mengelak.
    “Gue nggak mau masuk, gue nggak gila, gue yakin Raka bakal ke sini!”
    “Sha, gue mohon, lo jangan kayak gini. Gue sayang sama lo, orangtua lo juga sayang sama lo, masih banyak yang sayang sama lo, kecuali Raka.” Eren tak mampu juga menahan ada sesuatu yang memaksa keluar dari matanya.
    “Raka sayang sama gue! Lepasin gue, Ren!” Shanny menghempas tangan Eren yang mencengkeram terlalu erat. “Lo nggak tau rasanya jadi gue, lo nggak bisa ngerasain apa yang gue rasain. Gue sayang sama Raka, dan gue nggak mau Raka ninggalin gue.”
    Eren terdiam. Memandang Shanny dengan tatapan penuh perasaan bersalah. Kali ini dia melihat, kerapuhan Shanny, luka Shanny, yang diwakili kristal bening yang terus mengalir di pipinya. Shanny tak pernah seperti ini.
    “Gue sayang sama Raka.” Kata Shanny, sangat lirih.
    Eren terdiam. Dan sejenak kemudian menjadi hening. Hanya ada suara isak tangis mulut Shanny.
    “Gue juga sayang sama lo, Sha.”
    Shanny tersentak. Ada perasaan yang tiba-tiba mengganjal hatinya.
    “Happy Anniversary, Shanny.”
    Shanny terdiam. Begitu juga Eren. Dia tak percaya Raka benar-benar ada di sini, malam ini.
    Raka tersenyum. Kemudian memeluk Shanny. Shanny hanya terdiam. Tak percaya, kini semua ada di depan mata. Raka, yang menjadi penyebab airmatanya, memeluknya saat dia benar-benar terjatuh, membutuhnya kehadirannya.
    Kemudian dari balik pohon cemara yang berada di ujung taman, Terry datang, dan berjalan mendekatinya. Sesaat suasana kembali hening. Namun ada perasaan yang ganjal, dirasakan oleh Shanny. Kesal, dendam, amarah.
    “Happy Anniversary yang ke dua tahun, Ardyaksa Raka Febrian, Shanny Aluna. Dan selamat ulang tahun, Sha.” Terry mengulurkan sekotak besar roti ulang tahun dari Raka, dengan lilin angka tujuh belas yang menyala-nyala, untuk Shanny.
    Shanny tak percaya semua ini. “Tiup dulu dong lilinnya.” Kata Terry.
    Shanny memandangi Terry dan Raka dengan penuh heran.  Semakin terasa perasaan janggal di hatinya. Kemudian, dengan perlahan dia mendekatkan bibirnya pada lilin dengan secercah cahayanya. Memejamkan mata sejenak lalu meniupnya.”
    “Kok, lo bisa…”
    “Gue sama Raka sengaja bikin rencana ini, jadi sebelumnya maafin gue ya, Sha, sama lo juga, temennya Shanny.” Potong Terry.
    “Maksud lo, rencana apa?” Tanya Eren sekali lagi.
    “Jadi selama ini kalian ngira, Raka mutusin Shanny cuma gara-gara main serong sama gue? Raka nggak sebego itu kok. Dan gue pastinya juga nggak sehina yang kalian kira. Gue cuma mau bantu Raka aja, itupun buat kalian. Dan soal Raka yang mutusin lo itu, akal-akalan Raka aja kali.” Jelas Terry.
    “Akal-akalan gimana maksudnya, gue nggak ngerti.” Teriak Shanny.
    “Sayang, gini deh. Masak iya sih, gue mau mutusin cewek semanis lo. Lo tu langka kali, susah dapetin cewek kayak lo, masak gue tinggalin gitu aja, apalagi demi Terry, nggak mungkin, Sha.” Raka terkikik.
    “Sialan lo, Rak.” Terry mencubit lengan Raka, dan tak segan-segan ikut tertawa.
    Sedang Eren dan Shanny masih bingung dengan semua ini.
    Tangan Raka menyentuh kedua pipi Shanny. Dipandanginya tajam-tajam matanya. “Gue sayang sama Shanny. Nggak bakal ninggalin Shanny. Selamanya.” Bibir itu mendarat di dahi Shanny. Dan Shanny, tak percaya, mendapatkan Raka kembali bersamanya. “Selamat hari jadi kita, selamat ulang tahun, Sha.”
    Shanny menangis dalam senyumannya. Lelah, berpura-pura tegar kehilangan semua. “Shanny sayang sama Raka, Shanny nggak mau Raka pergi.” Shanny memeluk erat tubuh Raka. Kristal bening itu mengalir lagi.
    Shanny terdiam. Sesaat semua terhanyut dalam drama yang romantis ini.
    “Tapi lo jahat banget. Sumpah! Gue sebel sama lo.” Shanny melepaskan pelukan Raka. Dan kemudian memanyunkan bibir.
    “Idih ngambek, gitu aja marah. Cantiknya ilang lho.” Raka terbahak-bahak.
    Eren dan Terry tak mau kalah. Mereka tertawa melihat couple aneh itu. “Ceilah, akhirnya setelah berhari-hari jatuh bangun, sakit-sakitan, galau semaleman, ternyata semua cuma kejutan. Kasihan.” Eren tak bisa menahan geli.
    “Diem lo, ah! Nggak lucu!” teriak Shanny sembari mencubit lengan Eren.
    “Tapi so sweet, kok. Gue envy.” Eren merangkul pundak Shanny. “Selamat ulang tahun ya, Sha. Kadonya nyusul.”
    Shanny hanya meringis. “Sha, maafin gue, ya. Kita temenan lagi, kan? Kayak dulu.” Kata Terry, dengan mengulurkan tangannya ke arah Shanny.
    Shanny terdiam, memandang mata Terry dalam-dalam. Dan kemudian meraih uluran tangannya. Shanny mengangguk. Terry menarik tubuh Shanny dan memeluknya, “Gue nggak pengin punya musuh, Sha.”
    Shanny tersenyum, “Udah, yang berlalu biar berlalu, ya.” Terry mengangguk.
    Sejenak terdiam. Menikmati suasana tengah malam yang tak seindah yang Shanny pikirkan. Ada yang janggal kemudian. Merasa ada yang hilang.
    “Asyik, gue dapet skateboard. Makasih, sayang.” Suara melengking terdengar dari kursi taman. Raka memain-mainkan skateboard yang sengaja disiapkan Shanny untuk Raka.
    “Rakaaaaa! Ntar dulu!” Shanny berlari ke arah Raka. Sesaat kemudian, suasana penuh dengan tawa di depan rumah Shanny.
    Tiba-tiba, pintu rumah Shanny membuka pelan-pelan. Namun tak ada seberkas bayanganpun di sekitar pintu.  Semua mata tertuju padanya. Dan sejenak suasana tegang kembali. Lalu muncul sesosok dari dalam rumah tersebut.
    “Ada apa ini, malem-malem ribut! Ganggu orang tidur aja.”
    Semua tertawa. “Mamaaa, Shanny kira setan!” Shanny tertawa lepas. Mama Shanny berjalan mendekati mereka, yang berhasil membuat tidurnya terganggu. Matanya tertuju pada kue ulang tahun yang dibawa Terry, dan kemudian memeluk anak semata wayangnya erat-erat. “Selamat ulang tahun, Sayang.”
    Shanny terharu, matanya kembali berkaca-kaca. ”Iya Mama, makasih banyak.”
    Mendengar kegaduhan yang sama seperti yang Mama Shanny dengar, Papa Shanny muncul dari balik jendela kamarnya. Mengejutkan lagi.
    “Anak Papa ulang tahun, ya? Selamat ulang tahun!”
    Shanny tertawa, kemudian berlari menghampiri Papa, meraih tangannya dan meletakkannya di kening Shanny. “Makasih, Pa.”
    Malam ini Shanny benar-benar merasakan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dua tahun bersama Raka. Dan dia tak ingin hanya dua tahun saja, menghabiskan waktu dengan orang yang begitu dicintainya. Shanny ingin selamanya, cintanya hidup di hati Raka. Nafasnya bersemi di jiwa Raka. Dan raganya, selalu ada di setiap Raka membuka mata.
    Sekeras apapun Shanny mencoba mempertahankan apa yang selama ini diperjuangkan. Tak ingin semua hanya sekedar mimpi, karena bersama Raka, Shanny akan mewujudkan mimpinya. Sampai pada akhirnya, salah satu dari mereka tak dapat lagi berdiri menemani. Namun cintanya takkan pernah mati.

                                                                                              [Raka! Created by: ARF, on October 2012]

“Shanny..” Shanny terlihat masih menikmati es krim, dan rambutnya yang terurai sesekali diterbangkan oleh semilir angin siang itu, di belakang sekolah.
    “Iya, Raka?”
    “Cowok yang waktu itu berdua sama Shanny..”
    Shanny berhenti menjilat eskrimnya. Kemudian menatap mata Raka tajam. “Raka, kan gue udah bilang, dia cuma minta bantuan gue buat nemenin dia nyari tugas. Gue kasian aja sama dia, dan masalah dia megang tanganku, itupun nggak sengaja, Rak. Lagian kan kita cuma temen, nggak lebih kok.”
    “Shanny, cowok itu..”
    “Raka, bener, gue berani sumpah kok, nggak ada apa-apa sama dia. Percaya sama gue.” Mata Shanny berkaca-kaca, tak ingin kejadian yang sama, terulang kedua kalinya.
    “Shanny.. kalo ngomong direm dulu, nerocos aja. Cowok yang berdua sama Shanny itu…” Raka terdiam sejenak. Dan Shanny hanya memandanginya, tanpa bicara.
    “Suruhan gueeeee.” Raka tertawa terpingkal-pingkal.
    Shanny masih terdiam, memandangi Raka yang daritadi tertawa seperti orang gila dan hanya manggut-manggut mendengar lelucon Raka yang baginya sangat amat tidak lucu sekali. Kemudian tangannya mengepal, eskrim yang sedari tadi dipeganginya dan hampir meleleh itu, mendarat di mulut Raka. Seketika itu Raka baru bisa berhenti tertawa.
    “RAKAAAAAAA!!”


        Selesai.

0 comments: