Backpacker Edition: Terrible Stones in a Few Light
Posted in @atikarahmaa, BBI (Bahagia Berbagi Indonesia), cerita, cerita backpacker, Cerpen, Gunung Ungaran, Harendong, hiking, karya Atika Rahma F, mendaki gunung, pendaki, Ungaran
Lanjutan Ungaran Makes Us Frozen
Setelah terbangun kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang dinanti-nanti. Menit pertama jalanan masih datar, memang. Kami dapat melihat perkebunan teh yang merentang luas, diikuti suara jangkrik dan bebunyian aneh apalah. Seperti berbisik. Ternyata mereka adalah para pendaki yang sedang ngoceh malam di balik tenda-tenda yang mereka dirikan. Sungguh, sebenarnya mereka lebih beruntung merasakan kehangatan yang muncul dari lampu senter dan beberapa cahaya yang tak kuketahui.
Beberapa saat kami berhenti, karena takjub melihat puncak Ungaran yang sudah terlihat jelas oleh mata. Ya, sangat jelas itu masih setengah perjalanan lagi! Seketika senyumku buyar, diganti oleh jeritan tangis dalam hati. Ketika semua bilang semangat, mau tak mau aku harus memaksa kaki kecilku untuk bergerak walau tak enak.
Sebelum memasuki kawasan yang terjal dan dibilangnya tak ada lagi medan yang tak miring, maka kami memutuskan untuk sejenak duduk dan menikmati kemerlap lampu-lampu rumah yang terlihat dari tempat kami. Seperti emas yang memancarkan sinarnya, cahaya itu begitu memukau. Lebih memukau lagi ketika beberapa jajanan kemudian mengalir di depan mataku, ya, banyak yang mengeluarkan jajanan kala itu, dan aku tak mau tinggal diam.
Hanya beberapa menit saja kesempatanku untuk menikmati kerlap-kerlip itu. Ini saatnya kami benar-benar menjadi pendaki yang tak kenal menyerah! Wanita seperti kami ini, pendaki muslimah yang kuat!
Dari sini, aku mulai sadar kalau jalannya semakin lama semakin menyempit. Ini mengharuskan kami agar berjalan satu-satu. Masih mending dibanding dengan rute pertama tadi, kanan kiri kami masih dikelilingi oleh lereng datar dan di sana ada bunga-bunga kecil, berwarna ungu. Namanya bunga harendong. Yang pasti masih memberi rasa bahagia yang menutupi kengerian.
Harendong Ungaran |
Di sini aku merasa senterku semakin lama semakin tak berdaya. Maka, kuputuskan sebelum memasuki kawasan yang penuh bebatuan yang menanjak, aku memilih berjalan dekat dekat teman yang senternya masih pentar-pentar. Inilah medan yang paling menyeramkan...
Ternyata, sebegini terjalnya-kah rute ini? Bahkan dengan kami -para wanita yang mendaki menggunakan rok panjang- mau tak mau harus mengangkatnya tinggi, hingga kami mampu mendaki satu persatu batu yang ternyata juga licin. Di berbagai spotpun kami menemukan lintah darat yang sedang berkamuflase. Weeek, kali ini aku tidak akan tertipu penyamarannya. Walau tiap kali aku harus menatap tajam ke arah bebatuan itu. Ya, kuakui meski tak tertipu, aku masih sangat was-was. Bayangkan saja bila makhluk kecil jail itu meloncat lalu menempel di keningku dan menghisap habis darahku. Bisa-bisa aku jadi vampir.
Setiap perjalanan benar-benar hanya ada bebatuan dan lereng. Bukan main langkah kami untuk menuju antara satu batu ke batu lain di atasnya. Terkadang masih ada tangkai pohon yang bersedia menolong. Ada juga rumput gajah yang mau merentangkan daunnya, walau setelah itu mereka patah. Daun yang patah tak pernah membenci tangan yang telah menariknya, bukan? Ya, selama satu jam kami terjebak di nuansa seperti ini.
Fyuuuh! Dan hari masih saja gelap. Langit diselimuti jubah hitam pekat. Mana pohon-pohon itu tidak ada berhentinya mengusik malam kami. Ditambah lagi cerita-cerita menyeramkan dari teman yang mengaku ketika pergi mendaki bersama teman-temannya, kemudian salah satu temannya itu tertusuk oleh ranting pohon di bagian lehernya. Tenang, itu hanya memicu ketakutanmu saja. Tenang...
Langit pekat Ungaran. |
Untung saja ketika senter kami satu per satu mulai tak tahan siksaan, ada beberapa rombongan cowok entah mereka siapa dan dari mana, yang terpenting mereka sudah dengan lapangnya memberi penerangan pada kami hingga sampai pada saat kami bisa berkumpul di satu-satunya jalan datar yang sempit dan berbatasan langsung dengan jurang yang dalam tanpa suatu perantara. Tapi tahukah kau bagaimana keindahan alamnya? Sayang, tak ada satupun yang mengabdikannya melalui kamera Kami hanya menyimpannya di retina, dan ingatan agar tak lupa. Indah itu, melukiskan megahnya anak gunung dan kemerlap di sekitarnya. Sama seperti tadi, but it was more awesome!
Ketika 'tour leader' kami berteriak "waktu habis" untuk istirahat, senyumku kembali pudar, diiringi degub jantung yang berdebar. Ini artinya kakiku harus menerima setiap cobaan. Mataku melihat ke arah yang ditunjuknya. Menunjuk ke arah rute yang membentuk kerucut. Tak kulihat ada jalan yang setidaknya masih bisa dilalui meski hanya untuk satu-dua kaki saja. Bentuknya mengiingatkan aku pada nasi tumpeng. Terjal, berbatu. Dan yang pasti, it was dangerous...
to be continue...
0 comments: