Sustainabling Development melalui Konservasi Pesisir Sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Menuju Semarang Tangguh (100 Resilient City)
Posted in 100 Resilient City, articles, karya Atika Rahma F, lomba blog, lomba menulis, Resilient City, Rockefeller Foundation, Semarang Setara, Semarang Tangguh, Venice van Java, www.100rcsemarang.org
Kota Semarang yang merupakan Ibu Kota Jawa Tengah terletak antara garis
6°50′ – 7°10′ LS dan garis 109°35 – 110°50′ BT. Topografi Kota Semarang
terletak antara 0,75 – 348,00 di atas garis pantai (Semarang).
Secara administratif, di wilayah pesisir kota Semarang terdapat 4 (empat)
kecamatan yakni Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara dan Genuk dan 14 (empat
belas) desa / kelurahan. Wilayah ini umumnya dimanfaatkan sebagai pelabuhan,
daerah industri, perumahan penduduk dan sebagainya. Khusus di wilayah
desa/kelurahan yang dominan sebagai pemukiman penduduk umumnya dicirikan dengan
kondisi kesehatan lingkungan yang kurang memadai, terkesan kumuh dan sangat
rentan terhadap bencana alam khususnya banjir rob.
Menjadi kota dengan sebutan Venice van Java yang diberikan pada zaman
penjajahan Belanda, karena Semarang mempunyai kanal dan kali yang menjadi
sarana transportasi dari laut menuju perkotaan.
Faktanya, berkebalikan dengan makna yang diharapkan dari pemberian julukan
tersebut, Semarang justru semakin terancam akan kehilangan daerah pesisir dan
perairannya. Hal ini dikarenakan pembangunan yang kurang terstruktur, sehingga
sebagian besar kontruksinya telah menutupi wajah sungai. Kali-kali yang menjadi
ikon di sepanjang kota pun telah tertutupi oleh sedimen. Banjir rob karena
limpasan air pasang laut tak luput menjadi salah satu faktor utama penyebab
kerusakan biodiversitas pesisir dan laut Semarang. Namun yang menjadi dasar permasalahan
adalah kurangnya kesadaran serta dangkalnya inovasi dan skill dari
penduduknya yang mencapai dua juta itu akan pentingnya menjaga kelestarian alam
pesisir dan laut agar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pembangunan
yang berkelanjutan tanpa harus mengurangi citra alami ekosistem itu sendiri.
Semarang one of 100 Resilient Cities. Sumber: google.com
|
Salah Satu komitmen kota Semarang untuk bisa beradaptasi dan tumbuh di
antara permasalahan dan tantangan-tantangan itu adalah dengan menjadi bagian
dari 100 Resilient Cities (100RC) Program, yaitu program dan jaringan kota-kota
dunia yang bekerja sama untuk menyusun dan mewujudkan ketahanan kota. Semarang
menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia yang menjadi bagian dari program ini,
Semarang akan berdampingan dengan 99 kota lainnya dari 5 benua seperti San
Fransisco, Rio De Jeneiro, Barcelona, Medellín, Porto alegre, Bristol, Glasgow,
Rotterdam, Roma, dan lain-lain.
Kesempatan emas itu membuka peluang bagi Kota Semarang untuk dapat
membangun jaringan, berbagi informasi, kolaborasi serta mempraktikkan berbagai
inovasi dalam penanganan persoalan yang diakibatkan perkembangan kota.
100RC diinisiasi oleh Rockefeller Foundation, dan bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan kota dalam beradaptasi dan tumbuh di antara guncangan
dan tekanan yang terjadi baik fisik maupun sosial. Diharapkan nantinya kota
Semarang memiliki strategi yang tepat untuk menghadapi
permasalahan-permasalahan yang sering menimpa kota Semarang seperti banjir,
rob, tanah longsor, krisis air bersih, di samping problem sosial seperti
pengangguran, kemiskinan, kawasan kumuh, dan lain-lain.
Kondisi ini sejalan dengan empat persoalan pokok yang dihadapi wilayah
pesisir di Semarang secara umum, yakni: (1) tingginya tingkat kemiskinan
masyarakat pesisir; (2) tingginya kerusakan sumberdaya pesisir; (3) rendahnya
kemandirian organisasi sosial desa dan lunturnya nilai-nilai budaya lokal; dan
(4) rendahnya infrastruktur desa dan kesehatan lingkungan pemukiman. Keempat
persoalan pokok ini juga memberikan andil terhadap tingginya kerentanan
terhadap bencana alam dan perubahan iklim yang cukup tinggi pada desa-desa
pesisir.
Selain itu, beberapa permasalahan pokok yang sering terjadi di kawasan
pesisir Semarang memang belum kunjung menemukan jalan tempuh. Beberapa
kendala seringkali terjadi saat Pemerintah Semarang bersama warga ingin
membangun kotanya. Terkadang, hal yang dapat menaikkan stabilitas perekonomian
dan citra kota justru berdampak pada biota dan lingkungan hidup di
sekitarnya.
Berikut ini diuraikan beberapa permasalahan berdampak pada kerusakan
biodiversitas di Kota Semarang.
1. Reklamasi Pantai
Reklamasi pantai kota Semarang merupakan kebutuhan yang tidak dapat
dihindari mengingat kebutuhan akan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran
kota, penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, pemukiman, dan
sebagainya) sudah semakin mendesak.[1] Karena
reklamasi pantai adalah bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap
keseimbangan lingkungan alamiah pantai yang selalu dalam keadaan seimbang
dinamis, maka akan melahirkan perubahan peta garis pantai, perubahan ekosistem
(perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, berpotensi meningkatkan
bahaya banjir), serta berpotensi gangguan lingkungan. Reklamasi di Kota
Semarang sudah berlangsung sejak pemerintahan kolonial Belanda. Salah satu
kegiatan reklamasi yang menjadi perhatian publik adalah reklamasi Pantai Marina
hingga Maron, yang berdampak pada abrasi yang cukup parah di akhir 2013. Pantai
tersebut terkikis hingga kurang lebih 15 meter dari bibir pantai semula. Akibat
lain yang dihasilkan dari proses reklamasi tersebut adalah sanitasi lingkungan,
prevalensi penyakit, hidrologi, kualitas air yang menurun, mempengaruhi
penurunan tanah, serta terganggunya biodiversitas dalam ekosistem tersebut.
[1] Dilaporkan oleh Wahyu Sulistiyawan melalui Tribunnews. Minggu, 8
Desember 2013
2. Penebangan Liar Mangrove
Pembukaan lahan untuk tambak udang memiliki andil besar bagi kerusakan
mangrove di luar hutan, sedangkan penebangan secara tidak lestari merupakan
penyebab utama kerusakan mangrove di dalam hutan (Suara Pembaruan dalam
Setiyawan dan Winarno, 2006:4). Saat ini areal pertambakan warga di
kawasan pesisir pantai Semarang terus masuk ke daratan, hingga 100 meter.
Karena, abrasi telah merusak kawasan pantai yang berada di ujung landasan pacu
Bandara Internasional Ahmad Yani. Di wilayah pesisir pantai lain pun terjadi
kerusakan ekosistem pantai akibat penebangan liar mangrove.
SUSTAINABLING DEVELOPMENT SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MENUJU SEMARANG TANGGUH
Gambar 1. Sustainable Development (Sumber: www.lynascorp.com)
Beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang yang
dibantu oleh masyarakat sekitar dalam mewujudkan Semarang Setara menuju
Semarang Kota Tangguh - The
Resilient City, sebagai berikut.
1. Lingkungan
Lingkungan berperan sangat kuat dalam ketahanan kota. Lingkungan yang sehat
dapat memicu beberapa dampak positif yang bisa dirasakan oleh masyarakat
sekitar, sehingga dapat mendongkrak nilai-nilai yang menjadi pemicu
perkembangan kota.
Beberapa upaya yang dapat mewujudkan Lingkungan Sehat kawasan pesisir
Semarang menuju 100 Resilient
City.
Gerakan Hijau
Delapan atribut yang bisa diterapkan dalam menyongsong gerakan hijau di
kawasan pesisir yaitu Green Planning and Design, green open space, green
community, Green waste, green transportation, green water, green energy, dan
green building (Imam S. Ernawi).
a. Green Planning and Design
Perencanaan dan desain penghijauan merupakan suatu agenda pemerintah kota berupa
kegiatan tata ruang dan rancang kota terhadap penghijauan yang ditentukan
berdasarkan adaptasi dan mitigasi pada perubahan iklim.
b. Green
open space
Pembangunan ruang terbuka hijau sebagai penunjang kualitas dan kuantitas
sesuai dengan karakteristik kota, yaitu 30% dari luas kota. Data terakhir th
2015 yang dikutip melalui Kompas.com menyebutkan, RTH Kota Semarang hanya
berkisar sekitar 7,5% saja. Dalam mewujudkan suatu kota yang berkelanjutan
diperlukan keberadaan penyeimbang lingkungan dengan penyediaan ruang terbuka
hijau kota. Dampak dari adanya reklamasi pantai memang sudah meluas, dari
rusaknya ekosistem pesisir hingga abrasi.
c. Green
community
Lingkungan hijau tidak terjadi begitu
saja tanpa adanya campur tangan dari manusia. Pemerintah dan masyarakat perlu
turun tangan dalam melaksanakan penghijauan kota.
d. Green
waste
Pembuangan limbah pada kawasan pesisir
memang memiliki dampak yang krusial.
Selain merusak biodiversitas pesisir, juga menimbulkan adanya bibit
penyakit yg disebabkan adanya senyawa zat kimia yang terkandung pada air yang
telah tercemar limbah tersebut. Untuk itu, pemerintah dibantu masyarakat harus
pintar mencanangkan kebersihan air khususnya kawasan pesisir dengan tidak
membuang limbah sembarangan, lebih-lebih bisa memanfaatkan limbah menjadi suatu
inovasi tersendiri.
e. Green
transportation
Transportasi dapat memicu adanya polusi yang disebabkan dari karbondioksida
yang mengikuat nitrogen di udara. Apabila hal itu terjadi, dapat berdampak pada
lingkungan menjadi tidak sehat. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan sistem transportasi ramah lingkungan.
f. Green
water
Dalam meningkatkan kualitas air
pada pesisir dapat menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoff.
Dengan kata lain, semua air harus bisa diresap kembali ke dalam tanah.
Reklamasi menutup kemungkinan adanya celah bagi air untuk bisa masuk kembali ke
dalam tanah untuk mengikat zat Nitrogen menjadi mineral dan oksigen. Beberapa
kawasan pesisir di Semarang menunjukkan kurang diterapkannya konsep tersebut.
g. Green
energy
Menerapkan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Kawasan pesisir
kota semarang yang didominasi oleh warga yang bermata pencaharian nelayan dalam
menggunakan beberapa sumber energi haruslah yang efisien tanpa mengubah
kandungan air dan merusak ekosistem pesisir.
h. Green
building
Bangunan yang ada di kawasan pesisir menjadi salah satu penentu sehat atau
tidaknya kawasan pesisir. Dengan menerapkan bangunan hijau dan hemat energi, di
antaranya dengan meminimalisasi pemborosan pemakaian properti. Bangunan yang
dimaksud bukanlah yang serba hijau melainkan keselarasan dengan lingkungan
global, yaitu udara, air,tanah, dan api.
2. Masyarakat
atau Komunitas
Masyarakat merupakan perangkat yang paling penting dalam menerapkan
sustainable development. Bebarengan dengan pemerintah maupun swasta sama-sama
membangun kawasan pesisir yang dapat membawa Semarang menuju Kota 100 ResilientCities. Karena pada dasarnya, semua yang berasal dari masyarakat tentunya akan
dikembalikan lagi pada masyarakat itu sendiri. masyarakat yang mendukung adanya
penghijauan kawasan pesisir, membawanya menuju masyarakat yang mandiri dan
sejahtera.
Buruknya kultur birokrasi dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisi dan
lautan juga ditandai dengan tidak adanya keterpaduan antar pelaku pembangunan
sekaligus pengelola di kawasan tersebut, baik pemerintah, swasta dan
masyarakat. Tidak adanya keterpaduan antar pelaku pengelola terlihat dalam
berbagai kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan yang dilakukan
secara sektoral oleh masing-masing pihak, bahkan sering terjadi tumpang tindih
antar pelaku pengelola. Lemahnya keterpaduan ini, diakibatkan belum adanya
sistem atau lembaga yang mampu mengkordinasikan setiap kegiatan pengelolaan
sumberdaya kelautan dalam satu kewenangan. Akibatnya, potensi wilayah pesisir
dan lautan tidak tumbuh dan berkembang secara optimal.
Padahal, salah satu syarat utama dari pelaksanaan konsep pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan adalah pemerintah yang demokratis.
“Pada dasarnya
keanekaragaman hayati dapat memulihkan diri, namun kemampuan ini bukan tidak
terbatas. Karena diperlukan untuk hidup dan dimanfaatkan sebagai modal
pembangunan, maka keberadaan keanekaragaman hayati amat tergantung pada
perlakuan manusia” (Astirin, 2000:37).
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum menginisiasi
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Tujuannya adalah
1. Meningkatkan pemahaman kepada warga tentang pentingnya ruang terbuka
hijau bagi keseimbangan fungsi kota yang berkelanjutan.
2. Menggali dan menampung aspirasi dari warga tentang ruang
terbuka hijau lewat metode rembug/diskusi terbuka dan pembuatan kota
hijau;
3. Mengajak warga untuk memanfaatkan ruang terbuka hijau yang
ada, serta berperan aktif dalam peningkatan kuantitas dan kualitas RTH
Kota/ Kawasan Perkotaan;
4. Membentuk forum hijau Kota sebagai mitra pemerintah kota dalam
meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH Kota/ Kawasan Perkotaan.
Salah satu upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam
mendukung program pengelolaan hutan mangrove di Wilayah Pesisir Tugurejo adalah
dengan bekerja sama dengan Mercy Corps, sebuah organisasi nirlaba (LSM) dari
Amerika Serikat melalui Program ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience
Network).
3. Ekonomi
Potensi wilayah pesisir dan lautan memiliki dasar yang kuat dan mampu
memiliki menjadi penghela utama (prime mover) perekonomian nasional, karena
ditunjang oleh kekuatan yang bersumber dari potensi sumberdaya alam yang sangat
besar.
Konsep pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan masih dihadapkan pada
kendala utama berupa pemerintahan yang tidak memiliki unsur-unsur transparency, public
participation, accountability, dan responsibility,
yang secara keseluruhan disebut sebagai tata pemerintahan yang baik (good
governance).
Gambar 2. Keterkaitan Ekonomi Politik dalam Kebijakan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan
(Sumber: Jurnal Mangrove dan Pesisir IX:1)
Arah pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pengelola wilayah pesisir
sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Di antara banyak pendekatan konsep atau model pembangunan yang ada,
pendekatan ekonomi politik (political economy) dapat menjadi salah satu
pilihannya, karena pendekatan ini merupakan suatu cara pandang perubahan sosial
dimana inti dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan
perubahan sosial dan politik, dan semua itu dikembalikan pengaruhnya pada
proses ekonomi (Rahardjo dalam Tajerin, 2009).
Kawasan pesisir dan laut di Semarang perlu dilakukan konservasi
biodiversitas.
1. Penanaman kembali bibit mangrove
dapat mencegah abrasi dan hal lain yang dapat merusak ekosistem laut.
2. Pelestarian terumbu karang, selain
menghidupkan biota laut serta menstabilkan daerah bawah laut, dapat menaikkan
tingkat eksotisme yang dapat menarik perhatian pengunjung serta dapat dijadikan
suatu bentuk ecotourism, sehingga perekonomian akan semakin
meningkat.
3. Pengembangan budidaya rumput lautpun
perlu adanya peningkatan agar kesejahteraan pangan masyarakat semakin meningkat
pula.
4. Pemerintah Semarang yang telah
mengupayakan reklamasi pantai, hingga menimbulkan abrasi, harus mampu
mewujudkan pula konservasi wilayah pesisir, pantai, dan laut yang nyaris
kehilangan fungsi ekosistemnya.
Apabila kegiatan konservasi ini berhasil, pembangunan berkelanjutan di Kota
Semarang dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan, sehingga dapat membawa
Semarang sebagai satu-satunya perwakilan Indonesia dalam 100 Resilient City menuju
Semarang Tangguh.
Referensi
Ambariyanto dan Denny N.S.. 2012. KAJIAN PENGEMBANGAN DESA PESISIR TANGGUH
DI
KOTA SEMARANG. Riptek. Vol. 6, No.II, Tahun 2012, Hal.: 29 –
38.
Astirin, Okid Parama. 2000. Permasalahan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
di Indonesia.
Biodiversitas. Volume I. 1: 36-40.
Balai Informasi Penataan Ruang.
Diarto, Boedi Hendrarto, dan Sri Suryoko. 2012. PARTISIPASI MAYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN LINGKUNGAN KAWASAN HUTAN
MANGROVE TUGUREJO DI KOTA SEMARANG. JURNAL ILMU LINGKUNGAN. Volume
10 Issue 1: 1-7 (2012) ISSN 1829-8907.
Imam S. Ernawi, Dirjen Penataan Ruang, Kementerian PU. 2012. Gerakan Kota
Hijau:
Merespon Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan. Bulletin, ISSN: 1978 -
1571
Tajerin.2009.PERAN EKONOMI POLITIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR
DAN LAUTAN SECARA TERPADU DALAM MENDORONG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN. Jurnal Mangrove dan Pesisir IX (1). Vol: 18-28
ISSN: 1411-0679
0 comments: