Backpacker Edition: The Big Mountain!
Posted in articles, Bromo, cerita backpacker, karya Atika Rahma F, menulis, trip to Malang
Untuk ke sekian kalinya, aku harus menarik napas dalam-dalam. Pasalnya, aku tak pernah mengetahui bahwa perjalananku menyusuri Kota Malang beberapa minggu yang lalu menjadi hal yang paling menakjubkan dalam hidupku. Untuk pertamakali, menjadi backpacker dengan persiapan minim sangatlah pantas menjadi julukan bagiku. Bagaimana bisa seorang pendaki hanya bermodal blazer dan sepatu wanita? Hal ni sangatlah konyol.
Pukul 02.30, Sabtu pagi buta ini, aku bersama rombongan dari Semarang telah sampai di rumah makan Bromo Asri setelah berjam-jam memaku di atas kursi bus dengan dingin yang membelenggu. Jadwal pertama adalah melakukan pendakian gunung Bromo yang berada tak jauh dari lokasi saat ini—begitu kata Shogi, pemandu kami yang selama perjalanan mengocok perut para rombongan.
Dan sial, mendengar itu, tubuhku benar-benar bergidik ngeri. Mengetahui orang-orang lain yang mengenakan jaket berbulu yang tebal masih saja memeluk tubuhnya yang menggigil. Tiba-tiba ayahku membawaku menuju sekerumunan orang-orang yang melingkari barang-barang yang tersebar di atas aspal. Sepagi ini, penjual sudah begitu siap dengan barang dagangannya.
Tanpa pikir panjang, aku menyabet sarung tangan abu-abu, syal merah marun dan beanie coklat muda dengan tulisan Bromo di depannya. Dan beruntung, karena penjual itu telah menyelamatkanku dari kedinginan, walau hanya sedikit.
Dan sekejap, tubuh kami membentuk lingkaran. Berdoa dengan cara masing-masing dan kami siap untuk menuju colt dengan nomor yang telah disediakan.
Aku mendapat colt bernomor dua. Bersama Ayah dan Dian, kakakku. Seharusnya aku pergi ke Malang hanya berdua dengan Dian, karena ini adalah acara kantor Ayah yang dengan paksa kami ambil alih tiket keberangkatannya. Namun Ayah bersikeras untuk ikut, mendampingi kami.
Dan aku pun rela melepas jam kuliahku untuk kubela-belakan merasakan hal konyol ini. Sungguh, biarkan aku merasakan kebahagiaan daripada harus pusing memikirkan serentetan angka-angka yang mereka bilang harus terposting ke buku besar lah, membuat neraca lajur dan segala tetek bengeknya.
Apa kau tahu apa yang ada dalam benakku ketika aku harus menikmati laju colt yang tak terkendalikan? Seperti sedang berada dalam jet coaster, cepat dan jalan berliku-liku. Dan kau tahu? Yang mereka bilang tempat tak jauh dari lokasi adalah yang paling jauh yang pernah kusetimasi. Bahkan, aku sempat tertidur nyenyak menanti Pak Sopir yang mengatakan bahwa kami telah sampai di tujuan.
Dingin begitu merasuk ketika kuinjakkan kaki pada lereng gunung ini. Aku telah sampai, dan langit tak sehitam tadi. Benar yang kukatakan, bahkan perjalanan butuh berjam-jam.
Dengan hentakkan pelan, kami siap menyaksikan matahari terbit di puncak dari lereng ini, sebelum kami terjun menuju Segara Wedi yang terhampar di depan mata. Dan, untuk menuju puncak, kami akan butuh oksigen untuk bekal dalam perjalanan. Aku tak pernah kuat dalam hal ini, mengingat napasku selalu sesak.
Dalam perjalanan, tukang ojek selalu menawarkan jasanya kepada para pengunjung. Berkali-kali kepalaku menggeleng namun Ayah telah menyewa tiga ojek untuk kami. Sungguh, lebih baik aku berjalan kaki daripada harus menaiki motor berdua dengan orang ini. Izinkan aku menutup muka dengan karung sekali ini saja.