Showing posts with label trip to Malang. Show all posts

Wednesday, February 12, 2014

0

Backpacker Edition: The Big Mountain!

Posted in , , , , ,

Untuk ke sekian kalinya, aku harus menarik napas dalam-dalam. Pasalnya, aku tak pernah mengetahui bahwa perjalananku menyusuri Kota Malang beberapa minggu yang lalu menjadi hal yang paling menakjubkan dalam hidupku. Untuk pertamakali, menjadi backpacker dengan persiapan minim sangatlah pantas menjadi julukan bagiku. Bagaimana bisa seorang pendaki hanya bermodal blazer dan sepatu wanita? Hal ni sangatlah konyol.

    Pukul 02.30, Sabtu pagi buta ini, aku bersama rombongan dari Semarang telah sampai di rumah makan Bromo Asri setelah berjam-jam memaku di atas kursi bus dengan dingin yang membelenggu. Jadwal pertama adalah melakukan pendakian gunung Bromo yang berada tak jauh dari lokasi saat ini—begitu kata Shogi, pemandu kami yang selama perjalanan mengocok perut para rombongan.
    Dan sial, mendengar itu, tubuhku benar-benar bergidik ngeri. Mengetahui orang-orang lain yang mengenakan jaket berbulu yang tebal masih saja memeluk tubuhnya yang menggigil. Tiba-tiba ayahku membawaku menuju sekerumunan orang-orang yang melingkari barang-barang yang tersebar di atas aspal. Sepagi ini, penjual sudah begitu siap dengan barang dagangannya.
    Tanpa pikir panjang, aku menyabet sarung tangan abu-abu, syal merah marun dan beanie coklat muda dengan tulisan Bromo di depannya. Dan beruntung, karena penjual itu telah menyelamatkanku dari kedinginan, walau hanya sedikit.
    Dan sekejap, tubuh kami membentuk lingkaran. Berdoa dengan cara masing-masing dan kami siap untuk menuju colt dengan nomor yang telah disediakan.
    Aku mendapat colt bernomor dua. Bersama Ayah dan Dian, kakakku. Seharusnya aku pergi ke Malang hanya berdua dengan Dian, karena ini adalah acara kantor Ayah yang dengan paksa kami ambil alih tiket keberangkatannya. Namun Ayah bersikeras untuk ikut, mendampingi kami.
    Dan aku pun rela melepas jam kuliahku untuk kubela-belakan merasakan hal konyol ini. Sungguh, biarkan aku merasakan kebahagiaan daripada harus pusing memikirkan serentetan angka-angka yang mereka bilang harus terposting ke buku besar lah, membuat neraca lajur dan segala tetek bengeknya.
    Apa kau tahu apa yang ada dalam benakku ketika aku harus menikmati laju colt yang tak terkendalikan? Seperti sedang berada dalam jet coaster, cepat dan jalan berliku-liku. Dan kau tahu? Yang mereka bilang tempat tak jauh dari lokasi adalah yang paling jauh yang pernah kusetimasi. Bahkan, aku sempat tertidur nyenyak menanti Pak Sopir yang mengatakan bahwa kami telah sampai di tujuan.
    Dingin begitu merasuk ketika kuinjakkan kaki pada lereng gunung ini. Aku telah sampai, dan langit tak sehitam tadi. Benar yang kukatakan, bahkan perjalanan butuh berjam-jam.
    Dengan hentakkan pelan, kami siap menyaksikan matahari terbit di puncak dari lereng ini, sebelum kami terjun menuju Segara Wedi yang terhampar di depan mata. Dan, untuk menuju puncak, kami akan butuh oksigen untuk bekal dalam perjalanan. Aku tak pernah kuat dalam hal ini, mengingat napasku selalu sesak.
    Dalam perjalanan, tukang ojek selalu menawarkan jasanya kepada para pengunjung. Berkali-kali kepalaku menggeleng namun Ayah telah menyewa tiga ojek untuk kami. Sungguh, lebih baik aku berjalan kaki daripada harus menaiki motor berdua dengan orang ini. Izinkan aku menutup muka dengan karung sekali ini saja.

Friday, February 7, 2014

0

Peminjam Bahuku

Posted in , ,
by: @atikarahmaa







Dulu, separuh jiwaku pernah terluka. Apa lagi jika bukan karena cinta? Hidup tak pernah terlepas dari seringainya.
  
    Kata orang-orang, cinta itu indah. Dengan cinta, segalanya terlengkapi. Namun semua itu tak pernah kutemui pada kita. Cinta yang kau beri, hanya sesaat, dan untuk meninggalkan luka. Semua tampak sempurna pada awalnya, sebelum sampai hati ini menjadi kepingan-kepingan yang begitu sulit untukku menyusun agar menjadi utuh kembali.


“Jangan pernah tersenyum jika belum sampai puncaknya. Ayo, naik lagi!” celetuk Diana yang beringsut menarik jaketku dengan semangat. Ia tak pernah menyerah. Meski dingin begitu merasuk hingga ke tulang. Meskipun debu menghunus-hunus pernapasan hingga begitu sulit untuknya bernapas. Ia tetap bersikeras, menapaki satu dari sekian ratus tangga menuju kawah di puncak Bromo.
   
“Kalau kamu takut, jangan pernah melihat ke bawah. Berpeganglah!” ucapnya kemudian. Aku mengangguk. Sejenak, mata ini memejam. Bertanya pada hati tentang apa yang selama ini bergumul dalam pikiranku. Dan hati menjawab, keinginan yang kuat akan selalu mengalahkan ketakutan walau sebesar naungan Bromo yang memelukku dengan dingin.
   
Dan aku percaya, aku kalah jika aku belum bisa tersenyum seperti apa yang Diana katakan.
   
Kakiku menghentak hebat, menabuh pasir berdebu yang menggunung menutupi tangga. Selalu ada cinta di balik keinginan kuat itu. Seperti apa yang selalu menjadi pertanyaan dari apa yang kujadikan alasan untukku sulit mengeja tawa kembali.
   
Sekali lagi tentang cinta. Aku ingin kembali merasakan manisnya sebuah pertemuan, juga—perpisahan. Seperti saat kali pertamaku dibuat kaku oleh binar matanya. Kehadirannya yang tanpa permisi membawa sesuatu yang tak asing bagiku.
   
Cinta. Kutemui cinta dari setiap jengkal kebersamaan kita. Namun mengapa semua hanya sesaat? Mengapa kau tak bisa untuk tetap tinggal? Perpisahan begitu cepat menjemputmu, padahal kaulah alasan mengapa aku sanggup melupakan masa lalu pahit yang membuatku lupa bagaimana menyentuh kebahagiaan.
   
“Tersenyumlah, Tika!” seloroh Diana yang merentangkan tangannya begitu puas.
   
Aku tersenyum. Bagaimana kebahagiaan telah membawaku pada satu yang menjadi tujuanku. Kawah itu mengepulkan asap putih yang menyapa kehadiranku. Aku menang.
   
Dan bagaimana sosokmu yang semakin lenyap meninggalkan Bromo. Apakah kau selalu ingat? Saat di lereng itu, dalam ketidaksengajaan kau meminjam bahuku untuk sesaat terlelap dalam tidurmu. Hal yang selalu membuatku tak ingin melepaskanmu. Karena aku selalu kecewa, mengapa semua berlalu begitu saja.
   
Tanpa pernah kautahu namaku, **.
   
Namun kau sudah berani datang meninggalkan kenangan yang terlalu sulit untuk kulupakan.