JEDA [Part 2]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, jeda, karya Atika Rahma F
Ia menyeka air matanya dengan jemarinya sendiri. Tak
memungkinkan bila saja jemariku begitu beringas menghapus butir-butir bening
itu, karena ia bukan Shakina. Juga bukan wanita yang kukenal.
“Hei!
Kau tidak mengenalku, jadi kau tidak berhak bertanya hal itu padaku!”
Aku
terlonjak. Lagi dan lagi. Wanita itu begitu penuh misteri. Lalu kualihkan
pandanganku ke luar kaca di sampingku. Ada yang lebih indah daripada sekadar
menuruti amarah sesaatnya yang tak juga mencapai titik akhir. Nusantaraku.
Indonesia yang penuh dengan kekayaan alam, juga—cinta.
Kulihat
dari ekor mataku, jemari lentik itu mengarah kepadaku. Mungkin saja ia ingin
meminta maaf atau justru, “Lannie.”
Kupandangi
jemari itu dengan hampa. Apa yang bisa kulakukan? Amarahku belum juga sirna
mendapati sentakannya yang masih membekas di ulu hati. Hal ini membuatnya
lantas menurunkan kembali tangannya dan tersenyum kecut. Kemudian kami saling
membuang muka. Bermain dengan seringainya masing-masing.
Hampir
tiga puluh menit kami saling mengunci mulut. Kuperhatikan tubuhnya tak juga
menimbulkan gerak sekalipun. Hingga kuberanikan diri mengintipnya dari sudut
ekor mataku. Ah, ternyata wanita galak itu sedang tertidur. Pulas. Rambutnya
yang panjang menutupi kedua matanya yang masih menyisa sembab di lingkar bola
matanya.
Di pelukannya
kudapati sebingkai figura yang usang. Aku bertanya-tanya, apa yang ada di balik
bingkai tersebut? Dengan jahil, jemariku perlahan-lahan akan menjamahnya.
Mencoba mengerti apa isi di baliknya. Mungkin saja jawaban atas pertanyaanku
yang masih sangat ambigu. Atau entah, aku harus tahu. Namun, tiba-tiba saja...
Lonceng
itu berbunyi, begitu runyam. Bebunyiannya melesat menyerbu ke segala penjuru.
Hingga yang kusaksikan hanyalah kepanikan dan jeritan-jeritan yang mampu
mengusik ketenanganku. Pesawat ini bergerak begitu tajam, tak kurasakan lagi
jiwa yang hanyut dalam damainya. Emergency...
Wanita
itu masih tetap tenang dalam tidurnya. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan
selain memeluk tubuh itu. Merasakan detik-detik akhir bila saja kematian akan
menjemputku. Meski begitu, wanita itu haruslah masih bisa mendetakkan debar
jantungnya yang kurasakan sangat teratur. Deguban yang kurasa sama dengan debar
di dadaku.
Maafkan aku, Shakina...
Y
“Hei! Bangun, bangun!” Kurasakan sesuatu yang
menepuk-nepuk pipiku begitu keras. Hingga kelopak mataku perlahan membuka, dan
kulihat samar sesosok makhluk yang berdiri begitu bernas di hadapanku.
“Bangun!
Kau ini payah! Laki-laki payah!”
Aku
berhasil melihatnya begitu jelas. Ternyata wanita ganas ini. Ah, lalu di mana
aku ini? Apakah ini yang dinamakan surga, atau neraka atau memang aku sedang
terlempar jauh di alam bawah sadarku? “Sedang di mana aku ini?” tanyaku tampak
tak berdaya.
Lannie.
Iya, masih kuingat jelas wanita itu menyebut namanya Lannie. Ia hanya berdeham
dan berkali-kali menggeleng melihatku yang begitu menyebalkan—mungkin—di
matanya. “Kau sedang di Semarang. Pesawat kita hancur lebur! Lupakan tujuanmu
hendak ke Medan, sejak semalam kausekarat di rumah sakit ini.”
Aku
terperanjat, “Semarang? Hancur?!” Aku tak percaya, “Lalu kau? Eh! Mengapa kau
tidak juga hancur?!”
Ia
menatapku dengan tatapan hendak membunuh. Terang saja aku tak takut, aku hanya
mengajaknya bercanda. Benar saja bila ia akan tertarik dengan lelucon yang
kubuat, ia justru menempeleng pipiku berkali-kali. Sakit. Sangat sakit namun
lembut sekali.
Ia
beringsut meninggalkanku dan berjalan begitu kejam hingga suara hentakan
kakinya terdengar tajam. “Eh, tunggu! Lannie,” teriakku, tanpa ragu.
Ia
terhenyak. Tampak dari gerak bahasa tubuhnya, ia terperangah mendengarku
menyebut namanya. Perlahan, ia memutar tubuhnya kembali mengarah kepadaku.
“Bisakah
kaubawa aku lari dari tempat ini?”
Lannie
tak juga menjawab justru memberiku kernyitan dahi yang melipat-lipat bak
seorang tokoh intelektual sedang berpikir keras. “Kau ini gila!”
Aku
tertawa kencang, “Akan lebih gila bila terus-menerus berada di sini!”
kelakarku, lantas membuatnya menahan senyum di sudut bibirnya. Lannie memerhatikan
sekeliling, kuyakin ia sudah akan menuruti perkataanku. Situasi aman.
“Aku
akan lepas selang infusmu, dan ketika aba-aba sudah kulempar, kau harus menurut
apa kataku!” tukasnya, begitu tegas.
Namun,
apa yang baru saja kulakukan? Aku justru geli sendiri melihatnya yang begitu
ganas sejak di pesawat tadi, ternyata mentalnya tak lebih dari keledai
betina—yang manut bila disuruh. Ah,
bukankah ini menyenangkan?
“Ayo!”
Ia menarikku agar segera beranjak dari ranjang putih yang menyesakkan ini. Tubuhku
seketika terhuyung, begitu bebas. Tak kucium lagi bebauan kimia, yang ada
hanyalah kebebasan juga bebauan kuliner yang tercium tajam sesaat setelah tubuh
kami berada di luar rumah sakit ini. Mataku membeliak, RSUP Kariadi?
“Sebagai
bayaran, kau telah memaksaku membebaskanmu yang tentu saja bukan tanpa
konsekuensi, kau harus menraktirku makan!” gertaknya setelah ia lelah dan
napasnya terdengar terengah-engah. Ia melepas rangkulnya pada tubuhku yang
perlahan sempoyongan terlepas darinya.
Aku
menyeringai, “Ha? Konsekuensi apa!”
Ia
membalas memelototiku lebih tajam, “Kau pikir jika tadi suster-suster melihatku
telah menculik orang, aku tidak akan mendapat sanksi, begitu? Aku akan menjadi
bahan tontonan pasien-pasien lain, mengerti tidak? Mengapa kau malah
memandangku seperti itu, hah? Mau menolak? Baik, aku akan berteriak kepada
seluruh pasien dan para suster sekaligus biar tahu kalau di sini ada korban
selamat dari jatuhnya pesawat di Pantai Marina yang mencoba kabur dan lari dari
kenyataan!”
Mulutku
mengatup, mataku membulat sempurna. Apa
pula wanita ini?
“Lalu
aku akan membiarkanmu di sini, biar saja kau tahu bagaimana—”
“Kau
mau ditraktir apa?” tanyaku begitu lembut. Sangat lembut—selembut tamparannya
kala itu. Bila saja tak kubuntal mulut itu dengan ucapanku barusan, mungkin ia
akan menerjang amarah jiwanya, meninggalkanku yang tentu tak mengerti letak
keberadaanku saat ini.
Ia
tersenyum—begitu menyebalkan. Lalu ia menimang-nimang, “Aku akan tunjukkan
padamu suatu tempat.”
Y
to be continued....[3]
back to [1]
0 comments: