Saturday, August 2, 2014

0

JEDA [Part 2]

Posted in , , ,
Ia menyeka air matanya dengan jemarinya sendiri. Tak memungkinkan bila saja jemariku begitu beringas menghapus butir-butir bening itu, karena ia bukan Shakina. Juga bukan wanita yang kukenal.
            “Hei! Kau tidak mengenalku, jadi kau tidak berhak bertanya hal itu padaku!”
            Aku terlonjak. Lagi dan lagi. Wanita itu begitu penuh misteri. Lalu kualihkan pandanganku ke luar kaca di sampingku. Ada yang lebih indah daripada sekadar menuruti amarah sesaatnya yang tak juga mencapai titik akhir. Nusantaraku. Indonesia yang penuh dengan kekayaan alam, juga—cinta.
            Kulihat dari ekor mataku, jemari lentik itu mengarah kepadaku. Mungkin saja ia ingin meminta maaf atau justru, “Lannie.”
            Kupandangi jemari itu dengan hampa. Apa yang bisa kulakukan? Amarahku belum juga sirna mendapati sentakannya yang masih membekas di ulu hati. Hal ini membuatnya lantas menurunkan kembali tangannya dan tersenyum kecut. Kemudian kami saling membuang muka. Bermain dengan seringainya masing-masing.
            Hampir tiga puluh menit kami saling mengunci mulut. Kuperhatikan tubuhnya tak juga menimbulkan gerak sekalipun. Hingga kuberanikan diri mengintipnya dari sudut ekor mataku. Ah, ternyata wanita galak itu sedang tertidur. Pulas. Rambutnya yang panjang menutupi kedua matanya yang masih menyisa sembab di lingkar bola matanya.
            Di pelukannya kudapati sebingkai figura yang usang. Aku bertanya-tanya, apa yang ada di balik bingkai tersebut? Dengan jahil, jemariku perlahan-lahan akan menjamahnya. Mencoba mengerti apa isi di baliknya. Mungkin saja jawaban atas pertanyaanku yang masih sangat ambigu. Atau entah, aku harus tahu. Namun, tiba-tiba saja...

            Lonceng itu berbunyi, begitu runyam. Bebunyiannya melesat menyerbu ke segala penjuru. Hingga yang kusaksikan hanyalah kepanikan dan jeritan-jeritan yang mampu mengusik ketenanganku. Pesawat ini bergerak begitu tajam, tak kurasakan lagi jiwa yang hanyut dalam damainya. Emergency...
            Wanita itu masih tetap tenang dalam tidurnya. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain memeluk tubuh itu. Merasakan detik-detik akhir bila saja kematian akan menjemputku. Meski begitu, wanita itu haruslah masih bisa mendetakkan debar jantungnya yang kurasakan sangat teratur. Deguban yang kurasa sama dengan debar di dadaku.
            Maafkan aku, Shakina...
Y
“Hei! Bangun, bangun!” Kurasakan sesuatu yang menepuk-nepuk pipiku begitu keras. Hingga kelopak mataku perlahan membuka, dan kulihat samar sesosok makhluk yang berdiri begitu bernas di hadapanku.
            “Bangun! Kau ini payah! Laki-laki payah!”
            Aku berhasil melihatnya begitu jelas. Ternyata wanita ganas ini. Ah, lalu di mana aku ini? Apakah ini yang dinamakan surga, atau neraka atau memang aku sedang terlempar jauh di alam bawah sadarku? “Sedang di mana aku ini?” tanyaku tampak tak berdaya.
            Lannie. Iya, masih kuingat jelas wanita itu menyebut namanya Lannie. Ia hanya berdeham dan berkali-kali menggeleng melihatku yang begitu menyebalkan—mungkin—di matanya. “Kau sedang di Semarang. Pesawat kita hancur lebur! Lupakan tujuanmu hendak ke Medan, sejak semalam kausekarat di rumah sakit ini.”
            Aku terperanjat, “Semarang? Hancur?!” Aku tak percaya, “Lalu kau? Eh! Mengapa kau tidak juga hancur?!”
            Ia menatapku dengan tatapan hendak membunuh. Terang saja aku tak takut, aku hanya mengajaknya bercanda. Benar saja bila ia akan tertarik dengan lelucon yang kubuat, ia justru menempeleng pipiku berkali-kali. Sakit. Sangat sakit namun lembut sekali.
            Ia beringsut meninggalkanku dan berjalan begitu kejam hingga suara hentakan kakinya terdengar tajam. “Eh, tunggu! Lannie,” teriakku, tanpa ragu.
            Ia terhenyak. Tampak dari gerak bahasa tubuhnya, ia terperangah mendengarku menyebut namanya. Perlahan, ia memutar tubuhnya kembali mengarah kepadaku.
            “Bisakah kaubawa aku lari dari tempat ini?”
            Lannie tak juga menjawab justru memberiku kernyitan dahi yang melipat-lipat bak seorang tokoh intelektual sedang berpikir keras. “Kau ini gila!”
            Aku tertawa kencang, “Akan lebih gila bila terus-menerus berada di sini!” kelakarku, lantas membuatnya menahan senyum di sudut bibirnya. Lannie memerhatikan sekeliling, kuyakin ia sudah akan menuruti perkataanku. Situasi aman.
            “Aku akan lepas selang infusmu, dan ketika aba-aba sudah kulempar, kau harus menurut apa kataku!” tukasnya, begitu tegas.
            Namun, apa yang baru saja kulakukan? Aku justru geli sendiri melihatnya yang begitu ganas sejak di pesawat tadi, ternyata mentalnya tak lebih dari keledai betina—yang manut bila disuruh. Ah, bukankah ini menyenangkan?
            “Ayo!” Ia menarikku agar segera beranjak dari ranjang putih yang menyesakkan ini. Tubuhku seketika terhuyung, begitu bebas. Tak kucium lagi bebauan kimia, yang ada hanyalah kebebasan juga bebauan kuliner yang tercium tajam sesaat setelah tubuh kami berada di luar rumah sakit ini. Mataku membeliak, RSUP Kariadi?
            “Sebagai bayaran, kau telah memaksaku membebaskanmu yang tentu saja bukan tanpa konsekuensi, kau harus menraktirku makan!” gertaknya setelah ia lelah dan napasnya terdengar terengah-engah. Ia melepas rangkulnya pada tubuhku yang perlahan sempoyongan terlepas darinya.
            Aku menyeringai, “Ha? Konsekuensi apa!”
            Ia membalas memelototiku lebih tajam, “Kau pikir jika tadi suster-suster melihatku telah menculik orang, aku tidak akan mendapat sanksi, begitu? Aku akan menjadi bahan tontonan pasien-pasien lain, mengerti tidak? Mengapa kau malah memandangku seperti itu, hah? Mau menolak? Baik, aku akan berteriak kepada seluruh pasien dan para suster sekaligus biar tahu kalau di sini ada korban selamat dari jatuhnya pesawat di Pantai Marina yang mencoba kabur dan lari dari kenyataan!”
            Mulutku mengatup, mataku membulat sempurna. Apa pula wanita ini?
            “Lalu aku akan membiarkanmu di sini, biar saja kau tahu bagaimana—”
            “Kau mau ditraktir apa?” tanyaku begitu lembut. Sangat lembut—selembut tamparannya kala itu. Bila saja tak kubuntal mulut itu dengan ucapanku barusan, mungkin ia akan menerjang amarah jiwanya, meninggalkanku yang tentu tak mengerti letak keberadaanku saat ini.
            Ia tersenyum—begitu menyebalkan. Lalu ia menimang-nimang, “Aku akan tunjukkan padamu suatu tempat.”

Y

to be continued....[3]
back to [1]

0 comments: