Friday, July 18, 2014

0

JEDA

Posted in , ,
by @atikarahmaa


Semerbak angin meniupkan helai kain pada tubuhku. Begitu beringas. Kini tampak seperti bendera yang berkibar begitu ganas di tubuhku. Sesekali kulesatkan pandanganku pada tiga pasang mata yang menatap lekat setiap gerak-gerikku.
Ayah, yang memandang dengan mata elangnya yang tajam. Ah, bila kutelisik sejarah masa silam, dahulu aku selalu menggurat rasa kecewa pada danau matanya yang sebenarnya menyejukkan. Masa remajaku yang terhitung tak berbekas rasa kebanggaan baginya, sungguh kusesali ketika dewasa telah mengubah haluan hidupku.
Ibu, ia tersenyum kepadaku. Kuseret perlahan bibirku agar dapat membalas senyum kasih itu. Kujamahi setiap sudut bibirnya yang kering, ada segelintir rindu yang mungkin akan tercurah tiada habisnya. Wanita perkasa yang begitu lekat pada hidupku. Wanita yang mengajarkanku arti cinta, jauh sebelum dapat kuterjemah artiannya.
Dan—Shakina. Aku berhenti menunjukkan senyum itu seketika. Perlahan aku dibuatnya kaku. Beku tubuhku, tak bisa bergerak seincipun. Lekuk tubuhnya yang manis dengan dressberbalut blazer panjang yang menjuntai menawan, berlari ke arahku. Aku tercekat. Terlebih ketika tubuh itu berhasil mendekapku dengan air matanya yang kurasa dingin di sekitar  bahuku. Kupeluknya lebih erat, meski ragu masih saja membekap mulutku.

“Kauakan penuhi janjimu, bukan?” tanya Shakina, sesaat setelah ia melepas dekapan hangatnya pada tubuhku. Aku terdiam, memerhatikan butir bening di matanya iabiarkan mengalir pada pematang pipinya.
Kemudian mengangguk, tanpa sepatah katapun.
Kusaksikan jemarinya yang menyusup masuk ke dalam saku di blazer warna salemnya. Seketika aku terlonjak, dua batang benda itu muncul begitu menyilaukan mataku, mengalahkan kilauan cincin di jari manisnya. “Apa yang akan kaulakukan dengan benda-benda itu, Sha?”
Shakina tersenyum. Perlahan juga dapat kurasakan senyumnya yang mungkin akan kubawa lari ke manapun langkah membawaku pergi. Hingga kuingat pertemuan pertamaku dengannya adalah satu hal yang masih tak dapat kumengerti. Aku merunduk.
Dalam sekejap, jemarinya menggamit sebelah tanganku. Ia menangkupkannya hingga dengan sebelah tangannya, iagenggamkan sepasang sendok dan garpu itu di tanganku. “Agar kau tidak lupa makan. Kau selalu lupa bila tidak diingatkan. Aku akan sangat membencimu bila saatnya kulihatmu kembali ke Surabaya, tak kudapati tubuhmu yang ideal setakaran lelaki pada umumnya.”
Aku mengernyit. Tak kukira pemikirannya akan menjalar pada kebiasaanku yang selalu lupa mengatur jadwal makan harianku. Kemudian aku mengangguk. Kumasukkan kedua pemberian Shakira itu ke dalam saku celanaku. Kulesakkan sorot mataku tepat menumbuk lembut pandangan matanya, “Aku akan kembali, jika kausabar menanti.”
Ia tak berkutik, hanya memperlihatkan mulutnya yang terkatup mengartikan perkataanku. Mungkin yang bergumul dalam pikirannya hanya apabila ia tak sabar menanti, maka aku tak akan kembali. Aku tertawa renyah, kubelai halus rambut panjangnya, “Siapkan makan malam ketika kelak aku kembali.”

Y
napasku berkali-kali. Dari balik kaca kuperhatikan indahnya peradabanku yang akan kutinggalkan sejenak untuk mencari pekerjaan. Surabaya adalah tempatku pulang. Tempatku meregang kebahagiaan selama lebih dari dua puluh empat tahun lamanya.
            Pesawat akan segera lepas landas, meninggalkan bandara Internasional Juanda. Kegelisahan mulai membanjiri setiap hela napasku. Bila saja keadaan keluargaku tak separah seperti saat ini, mungkin dengan menjadi pelayan di restoran Lontong Balapsaja tak menjadi masalah. Namun, semenjak pemberitahuan diterimanya aku dengan menduduki posisi jabatan yang menjanjikan di Medan lah yang menjadikanku harus bersusah payah meloncat lajur pulauku.
            “Hei, ke mana tujuanmu?” tanya seseorang memecah keheningan.
            Aku mendongak, kuperhatikan wanita di sampingku telah lempar kata sembunyi mulut. Ia bertanya tanpa menatap mataku, justru sudut matanya lebih jeli menjamahi setiap rangkaian kata yang tercetak dalam lembarankoran Radjawarta itu.
            “Kau berbicara dengan siapa?”
            Wanita itu perlahan menyeret pandangannya menatapku tajam. Kukira aku salah bicara, lantaran tatapannya tak juga mengartikan sebuah kedamaian. “Kaukira adakah orang lain di sini?”
            “Banyak. Di sampingmu, di depanmu, di belakangmu—”
            “Tapi yang paling dekat adalah kau!” tandasnya, geram. Aku hanya bisa membisu, lantaran wanita itu sudah begitu ganasnya menandas omonganku yang padahal sudah kubuat sesantai mungkin. Kami saling berpandangan, tak tahu apalah artinya. Namun seketika ia tertawa terpingkal-pingkal.
            “Kau ini tidak mengerti juga. Aku bertanya padamu, akan pergi ke mana kau?”
            Aku terdiam, sejenak menelisik butir matanya yang terus saja menatap mataku dalam. Begitu indah, bayanganku di dalam dua bola matanya yang bulat memesona. Seketika aku terlonjak, “Eh—aku akan pergi ke Medan.”
            Wanita itu mengangguk, “Pulang kampung atau bertemu keluarga?”
            “Bekerja,” jawabku sesegera.
            Ia kembali mengangguk paham. Kali ini, kurasakan balasannya yang begitu lama. Kuputuskan untuk berganti membuka suara, “Kau sendiri?”
            Wanita itu kembali menatap lekat bola mataku, kali ini kurasakan tatapannya begitu lembut. Menyejukkan. “Aku akan mendarat di Semarang, mengunjungi makam Papa.”
            Aku tersentak. Kukira aku telah salah mempertanyakannya atau memang perasaan itu yang ingin iasampaikan padaku? Kulihat kepalanya yang perlahan merunduk. Aku tak mudah dibohongi, bila sudah berbicara tentang air mata. Iya, kini semua itu ada di balik bening matanya.
            “Maaf, aku tidak bermaksud,”
            “Maksud apa? Ah, semua ini sudah menjadi ritualku. Aku yang memutuskan untuk tak berhenti mengurai air mata ketika mengingatnya, karena kutahu satu hal yang membuatku begitu sulit memaafkan diri sendiri,” jelasnya begitu tegas.
            Aku terdiam, mencoba menelisik sisi lain dari dirinya dan mengartikan kalimat yang terbuncah dari bibirnya yang tipis dan merah muda. Begitu sulit kupahami, “Satu hal— apa?”


to be continued.... [2]

0 comments: