JEDA
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, karya Atika Rahma F
by @atikarahmaa
Semerbak angin meniupkan helai kain pada tubuhku.
Begitu beringas. Kini tampak seperti bendera yang berkibar begitu ganas di
tubuhku. Sesekali kulesatkan pandanganku pada tiga pasang mata yang menatap
lekat setiap gerak-gerikku.
Ayah, yang memandang
dengan mata elangnya yang tajam. Ah, bila kutelisik sejarah masa silam, dahulu
aku selalu menggurat rasa kecewa pada danau matanya yang sebenarnya
menyejukkan. Masa remajaku yang terhitung tak berbekas rasa kebanggaan baginya,
sungguh kusesali ketika dewasa telah mengubah haluan hidupku.
Ibu, ia tersenyum
kepadaku. Kuseret perlahan bibirku agar dapat membalas senyum kasih itu. Kujamahi
setiap sudut bibirnya yang kering, ada segelintir rindu yang mungkin akan
tercurah tiada habisnya. Wanita perkasa yang begitu lekat pada hidupku. Wanita
yang mengajarkanku arti cinta, jauh sebelum dapat kuterjemah artiannya.
Dan—Shakina. Aku
berhenti menunjukkan senyum itu seketika. Perlahan aku dibuatnya kaku. Beku
tubuhku, tak bisa bergerak seincipun. Lekuk tubuhnya yang manis dengan dressberbalut blazer panjang yang
menjuntai menawan, berlari ke arahku. Aku tercekat. Terlebih ketika tubuh itu
berhasil mendekapku dengan air matanya yang kurasa dingin di sekitar bahuku. Kupeluknya lebih erat, meski ragu
masih saja membekap mulutku.
“Kauakan penuhi
janjimu, bukan?” tanya Shakina, sesaat setelah ia melepas dekapan hangatnya
pada tubuhku. Aku terdiam, memerhatikan butir bening di matanya iabiarkan
mengalir pada pematang pipinya.
Kemudian mengangguk,
tanpa sepatah katapun.
Kusaksikan jemarinya
yang menyusup masuk ke dalam saku di blazer warna salemnya. Seketika aku
terlonjak, dua batang benda itu muncul begitu menyilaukan mataku, mengalahkan
kilauan cincin di jari manisnya. “Apa yang akan kaulakukan dengan benda-benda
itu, Sha?”
Shakina tersenyum.
Perlahan juga dapat kurasakan senyumnya yang mungkin akan kubawa lari ke
manapun langkah membawaku pergi. Hingga kuingat pertemuan pertamaku dengannya
adalah satu hal yang masih tak dapat kumengerti. Aku merunduk.
Dalam sekejap,
jemarinya menggamit sebelah tanganku. Ia menangkupkannya hingga dengan sebelah
tangannya, iagenggamkan sepasang sendok dan garpu itu di tanganku. “Agar kau
tidak lupa makan. Kau selalu lupa bila tidak diingatkan. Aku akan sangat
membencimu bila saatnya kulihatmu kembali ke Surabaya, tak kudapati tubuhmu
yang ideal setakaran lelaki pada umumnya.”
Aku mengernyit. Tak
kukira pemikirannya akan menjalar pada kebiasaanku yang selalu lupa mengatur
jadwal makan harianku. Kemudian aku mengangguk. Kumasukkan kedua pemberian
Shakira itu ke dalam saku celanaku. Kulesakkan sorot mataku tepat menumbuk
lembut pandangan matanya, “Aku akan kembali, jika kausabar menanti.”
Ia tak berkutik, hanya
memperlihatkan mulutnya yang terkatup mengartikan perkataanku. Mungkin yang
bergumul dalam pikirannya hanya apabila ia tak sabar menanti, maka aku tak akan
kembali. Aku tertawa renyah, kubelai halus rambut panjangnya, “Siapkan makan
malam ketika kelak aku kembali.”
Y
napasku berkali-kali. Dari balik kaca kuperhatikan indahnya
peradabanku yang akan kutinggalkan sejenak untuk mencari pekerjaan. Surabaya
adalah tempatku pulang. Tempatku meregang kebahagiaan selama lebih dari dua
puluh empat tahun lamanya.
Pesawat
akan segera lepas landas, meninggalkan bandara Internasional Juanda.
Kegelisahan mulai membanjiri setiap hela napasku. Bila saja keadaan keluargaku
tak separah seperti saat ini, mungkin dengan menjadi pelayan di restoran
Lontong Balapsaja tak menjadi masalah. Namun, semenjak pemberitahuan
diterimanya aku dengan menduduki posisi jabatan yang menjanjikan di Medan lah
yang menjadikanku harus bersusah payah meloncat lajur pulauku.
“Hei,
ke mana tujuanmu?” tanya seseorang memecah keheningan.
Aku
mendongak, kuperhatikan wanita di sampingku telah lempar kata sembunyi mulut.
Ia bertanya tanpa menatap mataku, justru sudut matanya lebih jeli menjamahi
setiap rangkaian kata yang tercetak dalam lembarankoran Radjawarta itu.
“Kau
berbicara dengan siapa?”
Wanita
itu perlahan menyeret pandangannya menatapku tajam. Kukira aku salah bicara,
lantaran tatapannya tak juga mengartikan sebuah kedamaian. “Kaukira adakah
orang lain di sini?”
“Banyak.
Di sampingmu, di depanmu, di belakangmu—”
“Tapi
yang paling dekat adalah kau!” tandasnya, geram. Aku hanya bisa membisu,
lantaran wanita itu sudah begitu ganasnya menandas omonganku yang padahal sudah
kubuat sesantai mungkin. Kami saling berpandangan, tak tahu apalah artinya.
Namun seketika ia tertawa terpingkal-pingkal.
“Kau
ini tidak mengerti juga. Aku bertanya padamu, akan pergi ke mana kau?”
Aku
terdiam, sejenak menelisik butir matanya yang terus saja menatap mataku dalam.
Begitu indah, bayanganku di dalam dua bola matanya yang bulat memesona.
Seketika aku terlonjak, “Eh—aku akan pergi ke Medan.”
Wanita
itu mengangguk, “Pulang kampung atau bertemu keluarga?”
“Bekerja,”
jawabku sesegera.
Ia
kembali mengangguk paham. Kali ini, kurasakan balasannya yang begitu lama. Kuputuskan
untuk berganti membuka suara, “Kau sendiri?”
Wanita
itu kembali menatap lekat bola mataku, kali ini kurasakan tatapannya begitu
lembut. Menyejukkan. “Aku akan mendarat di Semarang, mengunjungi makam Papa.”
Aku
tersentak. Kukira aku telah salah mempertanyakannya atau memang perasaan itu
yang ingin iasampaikan padaku? Kulihat kepalanya yang perlahan merunduk. Aku
tak mudah dibohongi, bila sudah berbicara tentang air mata. Iya, kini semua itu
ada di balik bening matanya.
“Maaf,
aku tidak bermaksud,”
“Maksud
apa? Ah, semua ini sudah menjadi ritualku. Aku yang memutuskan untuk tak
berhenti mengurai air mata ketika mengingatnya, karena kutahu satu hal yang
membuatku begitu sulit memaafkan diri sendiri,” jelasnya begitu tegas.
Aku
terdiam, mencoba menelisik sisi lain dari dirinya dan mengartikan kalimat yang
terbuncah dari bibirnya yang tipis dan merah muda. Begitu sulit kupahami, “Satu
hal— apa?”
to be continued.... [2]
0 comments: