Friday, July 18, 2014

0

The Damn First Love

Posted in , , , ,
Sebelum baca ini, kalian harus tahu, bahwa aku menuliskannya dengan penuh kebencian dan penyesalan. Bukan kesenangan seperti ketika orang-orang sibuk memercayai bahwa cinta pertama adalah hal yang terindah. Lalu, makna cinta pertama itu sendiri seperti apa? Apakah berakhir bahagia? Kalian akan tahu setelah membaca ini...

NB: SEMOGA KALIAN LEBIH PERCAYA BAHWA INI HANYA FIKTIF BELAKA! :P

Doc. Feb 2014


Lelaki itu melambai. Sesekali ia membenarkan peci hitamnya yang sedikit melorot karena terlampau riang hingga berpolah layaknya habis memenangkan sebuah sayembara memanah berhadiah hunian mewah.
            Namun bukan itu yang membuatnya lantas menyunggingkan senyum yang mengembang di sudut bibir tuanya. Wanita di sampingnya lah yang menjadi jawabannya. Ya, dialah Pak Lik. Satu jam lalu kusaksikan sakralnya pernikahan mereka di sebuah bilik di rumah mempelai wanita—yang kini menjadi sosok pengganti bagi Bu Lik— dengan segala upacara dan tatacara tanpa sebuah prahara. Aku bahagia menyaksikannya.
            Dari balik jendela kaca yang sedikit mencipta retak pada permukaannya, aku tersenyum. Tubuh kami akan segera pergi meninggalkannya. Perlahan-lahan, mobil menderumkan bebunyian runyam, melesat pelan meninggalkan pedusunan Dumpoh dan segera saja kembali pada peradaban kami—di Meteseh.
            Di sinilah kota kelahiranku. Magelang telah menyisakan sebagian besar kenangan indah yang meski seringkali sukar kuingat. Pun aku sendiri harus menyadari, kehidupanku sebenarnya bukanlah di sini. Magelang hanya menjadi saksi atas kelahiranku, Kota Sejuta Bunga—julukan baru yang tercetak begitu jelas di atas menara air, landmark kota ini— hanya sebagai pelengkap buah bibir bagi mereka yang bertanya-tanya di mana aku dilahirkan.
            Absurd memang. Mengingat aku dibesarkan di kota Rembang, teraktakan lahir di kota Rembang sedangkan kini ragaku akan terus menemukan jati diri di Semarang. Ah, tak juga kupungkiri, setiap saat mengunjungi kota ini, selalu kudapatkan sebuah kedamaian di tengah keluargaku yang selalu memberi senyum ramah atas kehadiranku.
            Aku menghela napas bahagia. Kusandarkan tubuhku pada bangku empuk di dalam Carry milik tetanggaku ini, Pak Har. Kutelisik beberapa bangunan di balik kaca buram itu. Tak banyak yang berubah. Meteseh sepuluh tahun yang lalu akan selalu sama seperti saat ini; selalu mendamaikan. Menyejukkan.
            Berbicara tentang pernikahan itu, ini bukanlah kali pertama Pak Lik bersanding di pelaminan dan mengucap kabul di depan saksi dan keluarga masing-masing mempelai. Inilah pernikahan kedua atas kegagalan dari rumah tangga pertama karena suatu hal. Entah, aku tak tak tahu, yang kutahu kini ia bahagia. Sangat bahagia, tampak dari gesture tubuh dan pecinya yang merosot karena girangnya.
            Ah, begitukah rasanya merengkuh hidup baru?
            Juga, hal itu kembali menyorotkan seutas kalimat yang selalu menjadi benteng atas perasaan cinta yang masih saja melekat erat di ulu hati; apakah cinta pertama akan selalu menyenangkan? Atau seringainya lebih mencipta kata ‘menyakitkan’?
            Pikiranku melayang, seperti tak sedang berada di tempat ini. Kegamangan hati membawaku kembali menikmati masa-masa di mana hatiku tercabik dan terbuai atas perasaan cinta yang dikata akan membawa kebahagiaan. Gerimis yang tiba-tiba datang, seperti kata Ibu, “Namanya juga Desember,” menambah antusias segenggam kenangan yang telah terkemas rapi dan perlahan terusik kembali untuk menghantui segala pikiran ini.

            Cinta pertama.

Bila kuingat, seringkali aku terambang oleh bius-biusnya. Indah, segalanya membingkai memesonakan. Seakan waktu berhasil jatuh ke dalam genggaman jemari tanganku. Seolah dunia telah menjadi milik kami berdua. Semena-mena karena selaksa peristiwanya yang terekam di dalam hati dan bumbu manisnya yang mengetuk pintu hati. Ya, cinta pertama.
            Begitu indah, pada awalnya.
            Tepat dua tahun lalu, saat langit telah berlumurkan warna hitam dan pendar bintang telah tersebar di setiap sudutnya. Saat itu aku sedang berada di bawah naungan kota Atlas, menikmati pergantian tahun bersama orang-orang baru yang tak pernah kutemui sebelumnya.
            Dapat kurasakan bagaimana bahagia telah memelukku, ketika sorak-sorai para penikmat malam tahun baru, gaung terompet yang menggema dan mengetuk gendang telinga, juga derai kembang api yang mewarnai temaram langit di kota ini.
            Aku sangat bahagia, terlebih ketika satu sosok telah berhasil membuatku memaku pandangan untuk sekian waktu. Di bawah pendar cahaya keemasan lampu itu, wajahnya dapat kutelisik begitu jelas. Memancar pesonanya sendiri. Ah, apa benar aku terjerat dalam pesonanya? Aku tak mengenalnya, dan pertemuan ini, sangatlah beku tanpa satu patah kata. Hingga kukira, selepas perpisahan itu, tak ada lagi pertemuan yang menjadikanku akan semakin leluasa menatap bening matanya. Kukira aku akan menunggu satu tahun lagi untuk merasakan bersama dengannya di bawah naungan langit ibukota. Kukira, inilah pertemuan singkat.


to be continued.... [2]




The Damn First Love picture by Atika Rahma F.



0 comments: