Saturday, July 19, 2014

0

The Damn First Love [2]

Posted in , , ,
January 2012
            Pria itu mengirimiku pesan singkat. Layar ponselku terbubuhkan seutas karakter yang mampu mengguratkan senyum di sudut bibirku. Padahal hanya kata “Hai”, namun kurasakan bahagia telah memelukku. Membekap begitu erat hingga sulit untukku bernapas. Aku adalah yang paling bahagia saat itu.
            Sejak saat itu aku baru tahu namanya: Gilang.
            Gilang tak percaya cinta pada pandangan pertama. Namun ia yakin dengan cinta yang harus memiliki. Cinta yang turun dari mata ke hati, cinta yang menguasai gejolak di hati, segalanya adalah bumbu-bumbu yang begitu mudah iaucapkan dan mampu membuatku tak henti-hentinya menatap segelintir kalimat dalam layar ponselku.
            Cinta pertama?
            “Kalian ini sudah jadian tetapi tidak pesta,” celetuk Adella yang sudah memancang ancang-ancang ketika tubuhku sudah menginjak lantai rumah keluarga besar di kompleks Tlogosari—Semarang.
            Pesta? Aku beringsut mendekatinya, “Tahu dari mana?” Aku mengernyit lebar. Aku tak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun kecuali buku harianku. Aku akan dengan keras kepala membungkam mulut tentang persoalan cinta semacam ini daripada harus mengumbarnya lalu sesal kemudian.
            “Gilang yang cerita. Dia terlihat sangat bahagia, dan dia bilang, besok malam, kamu harus ikut merayakan hari jadi kalian ini.” Adella begitu antusias jika mendengar segala sesuatu tentang ‘makan gratis’ dan ‘pajak jadian’ semacam ini. Ah, mengapa lantas aku tak juga tertarik dengan hal yang justru akan lebih menghambur-hamburkan uang, meskipun dalam hal itu, Adella mengatakan bahwa Gilang yang akan membiayai segalanya. Segalanya. Padahal pertemuan kami baru beberapa hari mengapa ia begitu memercayakan hubungan ini?

            “Gilang itu kaya. Jadi, kamu benar-benar sejahtera bila menjadi pacarnya.” Aku tersentak. Ucapan Adella membuatku tercekat. Aku tak benar-benar mengetahui apa di balik sosok Gilang. Yang kutahu hanya ia mencintaiku dan ingin menjadikanku pendamping hidupnya. Hanya itu, tak ada yang lainnya.
            Aku tak pernah ingin mencari sisi sempurnanya. Aku hanya ingin mencintainya. Itu saja cukup—bagiku.
Y

Keringatku mengucur begitu deras. Jantung seperti digenjot berkali-kali. Mendebar seakan mau pecah. Aku tak mengerti haruskah kuteruskan langkahku mendekati Ayah yang sedang tertidur pulas di atas sofa keras yang telah tercipta guratan-guratan bekas cakaran kucing-kucingku atau mengatakan pada Adella bahwa aku tak bisa ikut dalam perayaan hari jadiku?
            Tapi ini hari jadimu, Ries.
            Ah, berkali-kali juga perkataan Adella yang begitu mendesak pikiranku membuatku mau tak mau harus membangunkannya dari nyenyak tidurnya. Padahal kuyakin, setelah ini matanya akan membara dan mulutnya akan menggertak, menahanku agar tetap tinggal.
            “Ayah, aku harus pergi,” ucapku begitu ragu. Aku takut bila dugaanku akan menjelma menjadi nyata.
            Ayah memandangku dengan geram. Kuyakin ini pertanda bahwa jangan sekali-kali aku melanggar perintahnya. Hingga kemudian ia kembali memejam dan bergumul dengan mimpi-mimpinya. Tak ada yang lain yang bisa kulakukan selain: nekat.
            Deru motor telah mendesing begitu gaduh di depan rumahku. Segera saja kuperintahkan agar cepat mematikan mesin itu, karena aku tak ingin Ayah terganggu sehingga rencanaku akan gagal sebelum segalanya dimulai.
            Adella datang bersama Jordy. Tak bisa kubayangkan bagaimana kondisiku waktu itu, menaiki motor kecil yang berkapasitas tiga orang dengan pengendara yang ugal-ugalan. Bukankah hal ini begitu mencengangkan? Selain malu ditonton ribuan orang, aku juga harus tmemicu jantung agar tak berdebar keras bila suatu waktu menjadi santapan bagi kendaraan lain. Cukup kupejamkan mata hingga sampai kami pada rumah megah yang berdiri tepat di hadapanku.
            Inikah istana Gilang?
            “Ayo masuk,” ucap seseorang di balik rerimbun tanaman pot yang berjajar rapi di atas pagar semen rumahnnya. Aku terperangah. Detik ini aku kembali bertemu dengannya. Ia yang tampak berbeda dari yang kulihat di bawah pendar lampu jalanan. Ah, beruntungnya aku memiliki kesempatan untuk lebih mengenalnya.
            Rumah itu memiliki interior yang penuh dengan desain artistik, layaknya sebuah kafe yang mewah, lampu-lampu pijar terpendar di setiap sudut ruangan. Bunga plastik yang mekar indah juga tertata di setiap sisi sofa-sofa empuk—mengembang layaknya kue tart yang sesaat keluar dari pemanggangan. Juga, di sisi barat terdapat sebuah rak kaca, di baliknya terdapat koleksi botol-botol bekas. Namun bukan botol sembarang botol, tak lain adalah botol yang dulunya dibeli dengan harga khas dompet anak bangsawan. Aku mendecak kagum.

            Untuk kali pertama, aku menikmati malam bersamanya yang bukan lagi sebagai sosok yang tak kukenal. Bukan lagi sebagai seorang yang melintas untuk sekadar menumpang goresan kisah dalam lembaran hidup. Ialah milikku, cinta pertamaku.
Ah, jika kuingat hal itu, aku tampak begitu canggung. Bisa-bisanya gumpalan nasi—makanan anak-anak gaul itu terjatuh seketika saat Gilang menatap lekat bola mataku. Jordy berkata aku salah tingkah berada di sisinya. Ah, memang kenyataannya begitu. Aku benar-benar seakan baru kali pertama merasakannya.
            “Kemarin, Nina mengirimiku pesan singkat,” ucapnya, berbisik, sembari menyodorkan ponselnya ke arahku.
            Nina? Keningku berkerut. Nina Pertiwi? Rasa-rasanya aku mulai dipermainkan oleh ingatan. Aku pernah mendengar nama itu namun kulupa kapan persisnya. Tapi, ketika membaca segelintir karakter di balik layar itu, aku mulai paham.
            Aku hanya menatapnya nanar, membiarkannya membuka suara atas peristiwa ini. Sekaligus mempertanggungjawabkan perasaanku yang perlahan tampak retak setitik karena pengakuannya. Aku hanya ingin tahu, apakah kekasihku ini benar-benar menganggapku satu-satunya atau bahkan salah satunya.
            “Namun kubiarkan saja. Tidak penting,” ucapnya, yang mampu membuatku tersenyum manis kepadanya.


to be continued.... [3]
Back to [1]

0 comments: