The Damn First Love [2]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, karya Atika Rahma F, the damn first love
January 2012
Pria itu mengirimiku pesan singkat.
Layar ponselku terbubuhkan seutas karakter yang mampu mengguratkan senyum di
sudut bibirku. Padahal hanya kata “Hai”, namun kurasakan bahagia telah
memelukku. Membekap begitu erat hingga sulit untukku bernapas. Aku adalah yang
paling bahagia saat itu.
Sejak saat itu aku baru tahu
namanya: Gilang.
Gilang tak percaya cinta pada
pandangan pertama. Namun ia yakin dengan cinta yang harus memiliki. Cinta yang
turun dari mata ke hati, cinta yang menguasai gejolak di hati, segalanya adalah
bumbu-bumbu yang begitu mudah iaucapkan dan mampu membuatku tak henti-hentinya
menatap segelintir kalimat dalam layar ponselku.
Cinta
pertama?
“Kalian ini sudah jadian tetapi
tidak pesta,” celetuk Adella yang sudah memancang ancang-ancang ketika tubuhku
sudah menginjak lantai rumah keluarga besar di kompleks Tlogosari—Semarang.
Pesta? Aku beringsut mendekatinya,
“Tahu dari mana?” Aku mengernyit lebar. Aku tak pernah mengatakan hal ini
kepada siapapun kecuali buku harianku. Aku akan dengan keras kepala membungkam
mulut tentang persoalan cinta semacam ini daripada harus mengumbarnya lalu
sesal kemudian.
“Gilang yang cerita. Dia terlihat
sangat bahagia, dan dia bilang, besok malam, kamu harus ikut merayakan hari
jadi kalian ini.” Adella begitu antusias jika mendengar segala sesuatu tentang
‘makan gratis’ dan ‘pajak jadian’ semacam ini. Ah, mengapa lantas aku tak juga
tertarik dengan hal yang justru akan lebih menghambur-hamburkan uang, meskipun
dalam hal itu, Adella mengatakan bahwa Gilang yang akan membiayai segalanya.
Segalanya. Padahal pertemuan kami baru beberapa hari mengapa ia begitu
memercayakan hubungan ini?
“Gilang itu kaya. Jadi, kamu
benar-benar sejahtera bila menjadi pacarnya.” Aku tersentak. Ucapan Adella
membuatku tercekat. Aku tak benar-benar mengetahui apa di balik sosok Gilang.
Yang kutahu hanya ia mencintaiku dan ingin menjadikanku pendamping hidupnya.
Hanya itu, tak ada yang lainnya.
Aku tak pernah ingin mencari sisi
sempurnanya. Aku hanya ingin mencintainya. Itu saja cukup—bagiku.
Y
Keringatku
mengucur begitu deras. Jantung seperti digenjot berkali-kali. Mendebar seakan
mau pecah. Aku tak mengerti haruskah kuteruskan langkahku mendekati Ayah yang
sedang tertidur pulas di atas sofa keras yang telah tercipta guratan-guratan
bekas cakaran kucing-kucingku atau mengatakan pada Adella bahwa aku tak bisa
ikut dalam perayaan hari jadiku?
Tapi
ini hari jadimu, Ries.
Ah, berkali-kali juga perkataan
Adella yang begitu mendesak pikiranku membuatku mau tak mau harus
membangunkannya dari nyenyak tidurnya. Padahal kuyakin, setelah ini matanya
akan membara dan mulutnya akan menggertak, menahanku agar tetap tinggal.
“Ayah, aku harus pergi,” ucapku
begitu ragu. Aku takut bila dugaanku akan menjelma menjadi nyata.
Ayah memandangku dengan geram.
Kuyakin ini pertanda bahwa jangan sekali-kali aku melanggar perintahnya. Hingga
kemudian ia kembali memejam dan bergumul dengan mimpi-mimpinya. Tak ada yang
lain yang bisa kulakukan selain: nekat.
Deru motor telah mendesing begitu
gaduh di depan rumahku. Segera saja kuperintahkan agar cepat mematikan mesin
itu, karena aku tak ingin Ayah terganggu sehingga rencanaku akan gagal sebelum
segalanya dimulai.
Adella datang bersama Jordy. Tak
bisa kubayangkan bagaimana kondisiku waktu itu, menaiki motor kecil yang
berkapasitas tiga orang dengan pengendara yang ugal-ugalan. Bukankah hal ini
begitu mencengangkan? Selain malu ditonton ribuan orang, aku juga harus tmemicu
jantung agar tak berdebar keras bila suatu waktu menjadi santapan bagi
kendaraan lain. Cukup kupejamkan mata hingga sampai kami pada rumah megah yang
berdiri tepat di hadapanku.
Inikah istana Gilang?
“Ayo masuk,” ucap seseorang di balik
rerimbun tanaman pot yang berjajar rapi di atas pagar semen rumahnnya. Aku
terperangah. Detik ini aku kembali bertemu dengannya. Ia yang tampak berbeda
dari yang kulihat di bawah pendar lampu jalanan. Ah, beruntungnya aku memiliki
kesempatan untuk lebih mengenalnya.
Rumah itu memiliki interior yang
penuh dengan desain artistik, layaknya sebuah kafe yang mewah, lampu-lampu
pijar terpendar di setiap sudut ruangan. Bunga plastik yang mekar indah juga
tertata di setiap sisi sofa-sofa empuk—mengembang layaknya kue tart yang sesaat
keluar dari pemanggangan. Juga, di sisi barat terdapat sebuah rak kaca, di
baliknya terdapat koleksi botol-botol bekas. Namun bukan botol sembarang botol,
tak lain adalah botol yang dulunya dibeli dengan harga khas dompet anak
bangsawan. Aku mendecak kagum.
Untuk kali pertama, aku menikmati
malam bersamanya yang bukan lagi sebagai sosok yang tak kukenal. Bukan lagi
sebagai seorang yang melintas untuk sekadar menumpang goresan kisah dalam
lembaran hidup. Ialah milikku, cinta pertamaku.
Ah, jika kuingat
hal itu, aku tampak begitu canggung. Bisa-bisanya gumpalan nasi—makanan
anak-anak gaul itu terjatuh seketika saat Gilang menatap lekat bola mataku.
Jordy berkata aku salah tingkah berada di sisinya. Ah, memang kenyataannya
begitu. Aku benar-benar seakan baru kali pertama merasakannya.
“Kemarin, Nina mengirimiku pesan
singkat,” ucapnya, berbisik, sembari menyodorkan ponselnya ke arahku.
Nina? Keningku berkerut. Nina Pertiwi?
Rasa-rasanya aku mulai dipermainkan oleh ingatan. Aku pernah mendengar nama itu
namun kulupa kapan persisnya. Tapi, ketika membaca segelintir karakter di balik
layar itu, aku mulai paham.
Aku hanya menatapnya nanar,
membiarkannya membuka suara atas peristiwa ini. Sekaligus
mempertanggungjawabkan perasaanku yang perlahan tampak retak setitik karena
pengakuannya. Aku hanya ingin tahu, apakah kekasihku ini benar-benar
menganggapku satu-satunya atau bahkan salah satunya.
“Namun kubiarkan saja. Tidak penting,”
ucapnya, yang mampu membuatku tersenyum manis kepadanya.
0 comments: