Sunday, July 20, 2014

0

The Damn First Love [3]

Posted in , , ,
Tak kukira, langit kota Semarang telah berlumurkan tinta hitam pekat. Sekelam pikiranku yang mencemaskan panggilan masuk dari Ayah yang tak berani kuangkat. Kutahu ia akan marah besar mengetahui aku kabur dari rumah. Rintik-rintik yang bertambah deras tak juga mengijinkanku pulang.
            “Kita terjang, berani?” tandas Gilang, setelah segalanya berubah hening.
            Aku mendongak. Kutatap matanya tajam, namun aku tak berani berlama-lama. Walaupun aku adalah miliknya, namun tak juga kurasakan leluasa menatap lekat matanya, juga menggamit jemarinya. Untuk bicara dengannya pun rasanya masih begitu gagu.
            “Nanti kamu kehujanan,” jawabku, tanpa menatap matanya.
            Ia terdiam sejenak, lalu kembali mengangkat dagu. “Aku tidak ingin kamu menjadi penyalur amarah ayahmu.”
            Aku tersentak, sejenak kuberanikan diri menatap matanya. Lalu mengangguk. Tuhan, terima kasih telah menciptakan malam yang kelam bila ada sesosok yang menjadikannya seterang saat hati menggumamkan cinta. Aku dan dia, meskipun deras hujan menerjang dan berkali-kali ia menarik jaketnya erat-erat hingga gigil yang memeluk tubuhnya berkurang meski sedikit. Aku yang berlindung di balik tubuh hangatnya, hanya bisa berandai-andai penuh cemas. Aku ingin memeluknya. Menghangatkan tubuhnya yang beku. Ingin bisa sekadar bertanya, apa kau kedinginan?

            Y

“Apa ayahmu memarahimu?” segelintir kalimat pembuka untuk percakapan panjang kami melalui pesan singkat.
            Aku tersenyum, “Tidak, aku sangat bersyukur. Ayah justru tidur namun Ibu terus menanyaiku dari mana aku pergi. Kukatakan padanya suatu kebohongan.”
            “Apa yang kaukatakan?”
            “Pergi ke ulang tahun temanku, hehe.”
            “Oh,” jawabnya. Sangat singkat. Membuatku lantas tak tahu apalagi yang harus kuperbincangkan. Seakan rasanya mulai hambar, tak ada bumbu-bumbu yang meyakinkanku bahwa ia sebahagia aku yang merasakan rindunya perbincangan ini.
            Aku terdiam. Memerhatikan tubuh Ayah yang tertidur pulas di atas sofa biasanya. Inilah kali ketiga aku membohonginya. Meskipun untuk hal itu, aku harus dimarahi habis-habisan dan motorku disita untuk beberapa saat agar aku tak bisa bermain kucing-kucingan layaknya tadi dan hari-hari kemarin.
            Aku jahat, ya? Aku begitu jahat kepada dua lelaki sekaligus. Sama-sama membohonginya. Aku berbohong berkata pada Gilang bahwa aku baik-baik saja.
            Bila mengingat hal tadi, hati masih terasa miris, mencabik-cabik perasaan atas cinta yang mengambung tinggi. Graha Padma adalah saksi kebersamaan kami yang ketiga kalinya. Hal yang tak mungkin bisa kutelisik dalam-dalam, saat bersamaku, tak kutemui ia yang menyungging senyum bahagia layaknya aku, yang tak ingin sedetikpun mengakhiri pertemuan ini.
            “Sedang apa?” Kukirimkan lagi pesan untuknya, setelah sekian lama ia tak membalas pesanku. Begitu lama, hingga terantuk-antuk aku menunggu balasnya. Kuraih i-Pod di hadapanku, kumainkan melodi lagu yang mampu mengguncang suasana hati yang semakin bergemuruh tak tertahankan.
            Satu balasan masuk, “Sedang mendengar lagu; sadis.”
            Aku tersentak. Bukan tak mungkin, jawabannya hanya akan menambah nganga dalam palung hati. “Ini sudah yang ketiga kali kudengar kau mendengarkan lagu tersebut sejak di Graha Padma tadi. Apa kamu sedang tidak bahagia?”
            Aku tersenyum getir. Lagu inilah yang meyakinkanku bahwa antaranya dengan perempuan yang menduduki urutan pertama dalam daftar orang yang kucurigai, bukanlah suatu yang membuatku bisa memilikinya seutuhnya. Kuyakin Ninalah, penyebab mengapa ia tak mengguratkan tawa sedikitpun saat bersama denganku kala itu. Tak kusangka, butir bening telah mengalir di pematang pipiku. Hingga getar dalam ponselku mengejutkanku. “Tidak, kok. Kau sedang apa?”
            Cepat-cepat aku membalas pesannya. Namun kali ini butuh sebuah air mata ketika membalasnya. Butuh jemari yang bergetar ketika mulai mengetikkan kata per kata yang mengalir untuknya, “Sama sepertimu.”

            Hingga kausadari sesungguhnya yang kaupunya; hanya aku tempatmu kembali.


To be continued... [4]
Back to [2]

0 comments: