The Damn First Love [3]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, karya Atika Rahma F, the damn first love
Tak kukira,
langit kota Semarang telah berlumurkan tinta hitam pekat. Sekelam pikiranku
yang mencemaskan panggilan masuk dari Ayah yang tak berani kuangkat. Kutahu ia
akan marah besar mengetahui aku kabur dari rumah. Rintik-rintik yang bertambah
deras tak juga mengijinkanku pulang.
“Kita terjang, berani?” tandas Gilang,
setelah segalanya berubah hening.
Aku mendongak. Kutatap matanya
tajam, namun aku tak berani berlama-lama. Walaupun aku adalah miliknya, namun
tak juga kurasakan leluasa menatap lekat matanya, juga menggamit jemarinya.
Untuk bicara dengannya pun rasanya masih begitu gagu.
“Nanti kamu kehujanan,” jawabku,
tanpa menatap matanya.
Ia terdiam sejenak, lalu kembali
mengangkat dagu. “Aku tidak ingin kamu menjadi penyalur amarah ayahmu.”
Aku tersentak, sejenak kuberanikan
diri menatap matanya. Lalu mengangguk. Tuhan, terima kasih telah menciptakan
malam yang kelam bila ada sesosok yang menjadikannya seterang saat hati
menggumamkan cinta. Aku dan dia, meskipun deras hujan menerjang dan
berkali-kali ia menarik jaketnya erat-erat hingga gigil yang memeluk tubuhnya
berkurang meski sedikit. Aku yang berlindung di balik tubuh hangatnya, hanya
bisa berandai-andai penuh cemas. Aku ingin memeluknya. Menghangatkan tubuhnya
yang beku. Ingin bisa sekadar bertanya, apa
kau kedinginan?
Y
“Apa ayahmu
memarahimu?” segelintir kalimat pembuka untuk percakapan panjang kami melalui
pesan singkat.
Aku tersenyum, “Tidak, aku sangat
bersyukur. Ayah justru tidur namun Ibu terus menanyaiku dari mana aku pergi.
Kukatakan padanya suatu kebohongan.”
“Apa yang kaukatakan?”
“Pergi ke ulang tahun temanku, hehe.”
“Oh,” jawabnya. Sangat singkat.
Membuatku lantas tak tahu apalagi yang harus kuperbincangkan. Seakan rasanya
mulai hambar, tak ada bumbu-bumbu yang meyakinkanku bahwa ia sebahagia aku yang
merasakan rindunya perbincangan ini.
Aku terdiam. Memerhatikan tubuh Ayah
yang tertidur pulas di atas sofa biasanya. Inilah kali ketiga aku
membohonginya. Meskipun untuk hal itu, aku harus dimarahi habis-habisan dan
motorku disita untuk beberapa saat agar aku tak bisa bermain kucing-kucingan
layaknya tadi dan hari-hari kemarin.
Aku jahat, ya? Aku begitu jahat
kepada dua lelaki sekaligus. Sama-sama membohonginya. Aku berbohong berkata
pada Gilang bahwa aku baik-baik saja.
Bila mengingat hal tadi, hati masih
terasa miris, mencabik-cabik perasaan atas cinta yang mengambung tinggi. Graha
Padma adalah saksi kebersamaan kami yang ketiga kalinya. Hal yang tak mungkin
bisa kutelisik dalam-dalam, saat bersamaku, tak kutemui ia yang menyungging
senyum bahagia layaknya aku, yang tak ingin sedetikpun mengakhiri pertemuan
ini.
“Sedang apa?” Kukirimkan lagi pesan
untuknya, setelah sekian lama ia tak membalas pesanku. Begitu lama, hingga
terantuk-antuk aku menunggu balasnya. Kuraih i-Pod di hadapanku, kumainkan
melodi lagu yang mampu mengguncang suasana hati yang semakin bergemuruh tak
tertahankan.
Satu balasan masuk, “Sedang mendengar
lagu; sadis.”
Aku tersentak. Bukan tak mungkin,
jawabannya hanya akan menambah nganga dalam palung hati. “Ini sudah yang ketiga
kali kudengar kau mendengarkan lagu tersebut sejak di Graha Padma tadi. Apa
kamu sedang tidak bahagia?”
Aku tersenyum getir. Lagu inilah
yang meyakinkanku bahwa antaranya dengan perempuan yang menduduki urutan
pertama dalam daftar orang yang kucurigai, bukanlah suatu yang membuatku bisa
memilikinya seutuhnya. Kuyakin Ninalah, penyebab mengapa ia tak mengguratkan
tawa sedikitpun saat bersama denganku kala itu. Tak kusangka, butir bening
telah mengalir di pematang pipiku. Hingga getar dalam ponselku mengejutkanku.
“Tidak, kok. Kau sedang apa?”
Cepat-cepat aku membalas pesannya.
Namun kali ini butuh sebuah air mata ketika membalasnya. Butuh jemari yang
bergetar ketika mulai mengetikkan kata per kata yang mengalir untuknya, “Sama
sepertimu.”
Hingga
kausadari sesungguhnya yang kaupunya; hanya aku tempatmu kembali.
To be continued... [4]
Back to [2]
0 comments: