Monday, July 21, 2014

0

The Damn First Love [4]

Posted in , , ,
Inilah Meteseh, peradabanku. Seperti apa yang kukatakan, desaku selalu lekat dengan segala hal yang mampu menentramkan jiwa. Khususnya jiwaku sendiri.
            Mobil Pak Har berhenti persis di depan gang rumah nenek. Sayup-sayup, derap kaki menyusuri gang sempit tersebut. Begitu hening, mungkin lelah telah menghampiri tubuh kami, sehingga cepat ingin merasakan nyamannya berebah di atas kasur empuk.
            Meteseh akan selalu identik dengan dingin yang memeluk tubuh. Pemandangan gunung Sumbing dari balik jendela rumah ini menjadi jawaban atas pertanyaanku. Menjadi alasan mengapa lantas aku harus berpikir dua kali bahkan lebih jika ingin merasakan dingin yang menusuk dari bebutiran air yang menempias.
            Aku tersenyum. Kurebahkan tubuh di atas kasur empuk di bawah televisi 40 inch yang menayangkan sinema remaja. Aku menghela napas panjang. Damai. Menentramkan.

            “Halo.. halo.. Bu Lik datang!” Suara itu begitu mengagetkanku yang lantas beranjak dan mendongak. Bu Lik Rifah, adik dari ibuku, yang beberapa jam lalu menghilang kini telah kembali lagi. Di kedua tangannya tergenggam beberapa buntalan plastik yang menggembung berisi makanan. Sebagian lagi tertulis ‘I Love Jogja’ yang menjawab segala pertanyaan tentang jejak langkah yang telah membuatnya menghilang beberapa saat ini.
            “Mau cokelat?” ucapnya, sembari menyodoriku sebatang Silver Queen Chunky Bar. Aku terperanjak. The biggest chunkies Silver Queen ever, aku menggumam. Sudah lama kurasakan manis pahitnya cokelat yang melumer nikmat di lidah, lantaran uang sakuku selalu tidak cukup bila membeli kebutuhan lain selain makanan pokok. Kali ini kudapatkan secara cuma-cuma.
            Perlahan-lahan, kutelisik setiap jengkal cokelat tersebut. Kembali, pikiranku melayang pada suatu masa di mana segalanya begitu membuatku menghina diri yang selalu terbudakkan cinta. Apa benar bila cinta pertama selalu menjadikanku melakukan hal apapun?
            February, 2012
“Ingin dibentuk seperti apa, Mbak?”
            Aku mengernyit. Kutempelkan jemari telunjukku pada lekuk daguku yang licin, menimang-nimang pilihan yang akan kuputuskan siang ini juga. Ah, rasanya aku mulai gelisah, menatap puluhan macam cokelat yang berjajar rapi dengan segala macam desain yang mampu menggugah hati.
            Semenit kemudian, “Yang ini saja, Mbak,” ucapku sembari menunjuk ke salah satu desain cokelat. Kuyakin aku tak salah pilih. Inilah yang terbaik yang bisa kuberikan untuk cintaku.
            Aku tersenyum sembari memandangi setiap butir cokelat yang mengelilingi tubuhku. Rumah Cokelat yang berada di bilangan Peleburan, Semarang ini, jujur saja aku baru kali pertama mengunjunginya. Diana, kakak kandungku lah yang memberitahuku di mana letak surga cokelat yang dapat kutemui di kotaku ini.
“Diberi nama apa, Mbak?” tawar penjaga toko itu.
Aku tersentak, lamunanku buyar. “Hm, untuk karakter depan dibentuk sepotong hati kecil saja, lalu enam huruf berikutnya nama Gilang, ya, Mbak?” Aku sedikit tersipu ketika harus menyebut pesananku. Namun cinta memaksaku untuk tak mempedulikan apa yang orang-orang akan katakan tentangku, juga tentang kita.
“Terima kasih, Mbak. Maaf, ini notanya. Cokelat bisa diambil besok lusa karena butuh proses pencetakan. Langsung dibayar atau uang muka dulu?” tanya penjaga itu, sembari tersenyum ke arahku.
“Langsung bayar saja.”
Hari ini Gilang menghilang sejak pagi tadi. Tak ada pesan masuk. Seingatku ia akan menghubungiku setelah urusannya selesai. Entah urusan apa, aku tak tahu. Aku hanya percaya ia akan menepati janjinya. Tak ada hal apapun—aku percaya padanya.
Kuberanikan diri untuk mengirimnya pesan terlebih dulu. Meskipun beberapa pesan sebelumnya tak juga terbalas olehnya. “Gilang, aku merindukanmu.”
Lebih dari sepuluh menit, aku menunggunya. Lama. Hingga secangkir teh di hadapanku telah dingin karena angin malam begitu jemu melenyapkan hangatnya yang menguar. Tak sedikitpun terjamah olehku.
Tiba-tiba saja, ponsel itu bergetar. Satu pesan masuk. “Maaf jika aku menghilang.”
Aku tersentak. Hanya itu? Rasanya dadaku mulai sesak mengetahui hal itu. Satu bulan bersamanya telah membuatku cukup bisa mengenalnya. Ia yang selalu menghilang tanpa sebab, ia yang selalu tak menghubungiku terlebih dulu, semua itu karena suatu hal yang sangat kutakuti. Namun aku tak ingin bila apa yang kukata adalah benar, karena kuyakin semua itu hanya akan menambah nganga pada setiap robekan hatiku. Aku hanya ingin percaya bahwa ia tak sepenuhnya meninggalkanku, hanya itu.
“Apa aku mengganggumu, Sayang?”
Mungkin benar bila gemuruh jiwa ini adalah pertanda segala firasatku bukanlah hal yang salah. Aku yang terlalu menutup diri, aku yang selalu tak ingin mencari tahu tentangnya, aku yang begitu bodoh, membiarkan semua ini mempermainkan perasaanku.
“Boleh aku jujur?”
“Tentang apa?”
“Tentang perasaanku.” Deg! Hatiku seolah berhenti berdetak tiba-tiba. Bukankah ini bukan dia? Selama aku dengannya, ia tak pernah berkata begitu serius terhadapku. Jujur tentang perasaan tabu itu. Bahkan tentang perasaannya yang tak benar-benar kuketahui.
“Nina hari ini datang ke rumahku, itulah alasan mengapa aku menghilang darimu. Ia datang untuk memintaku kembali, dan aku—”

Air mataku sudah terlebih dulu tumpah. Potongan karakter dalam pesan singkat itu membuatku ingin membanting ponselku hingga patah, remuk seluruh isinya. Namun, kerasnya baja dalam hatiku, membuatku tertahan untuk segera menatap kembali aksaranya.


to be continued... [5]
back to [3]

0 comments: