The Damn First Love [4]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, karya Atika Rahma F, the damn first love
Inilah Meteseh,
peradabanku. Seperti apa yang kukatakan, desaku selalu lekat dengan segala hal
yang mampu menentramkan jiwa. Khususnya jiwaku sendiri.
Mobil Pak Har berhenti persis di
depan gang rumah nenek. Sayup-sayup, derap kaki menyusuri gang sempit tersebut.
Begitu hening, mungkin lelah telah menghampiri tubuh kami, sehingga cepat ingin merasakan nyamannya berebah di
atas kasur empuk.
Meteseh akan selalu identik dengan
dingin yang memeluk tubuh. Pemandangan gunung Sumbing dari balik jendela rumah
ini menjadi jawaban atas pertanyaanku. Menjadi alasan mengapa lantas aku harus
berpikir dua kali bahkan lebih jika ingin merasakan dingin yang menusuk dari
bebutiran air yang menempias.
Aku tersenyum. Kurebahkan tubuh di
atas kasur empuk di bawah televisi 40 inch yang menayangkan sinema remaja. Aku
menghela napas panjang. Damai. Menentramkan.
“Halo.. halo.. Bu Lik datang!” Suara itu begitu mengagetkanku yang lantas
beranjak dan mendongak. Bu Lik Rifah, adik dari ibuku, yang beberapa jam lalu
menghilang kini telah kembali lagi. Di kedua tangannya tergenggam beberapa
buntalan plastik yang menggembung berisi makanan. Sebagian lagi tertulis ‘I
Love Jogja’ yang menjawab segala pertanyaan
tentang jejak langkah yang telah membuatnya menghilang beberapa saat ini.
“Mau
cokelat?” ucapnya, sembari menyodoriku sebatang Silver Queen Chunky Bar. Aku
terperanjak. The biggest chunkies Silver Queen ever, aku menggumam. Sudah
lama kurasakan manis pahitnya cokelat yang melumer nikmat di lidah, lantaran
uang sakuku selalu tidak cukup bila membeli kebutuhan lain selain makanan
pokok. Kali ini kudapatkan secara cuma-cuma.
Perlahan-lahan,
kutelisik setiap jengkal cokelat tersebut. Kembali, pikiranku melayang pada
suatu masa di mana segalanya begitu membuatku menghina diri yang selalu
terbudakkan cinta. Apa benar bila cinta pertama selalu menjadikanku melakukan
hal apapun?
February,
2012
“Ingin dibentuk seperti apa, Mbak?”
Aku mengernyit. Kutempelkan
jemari telunjukku pada lekuk daguku yang licin, menimang-nimang pilihan yang
akan kuputuskan siang ini juga. Ah, rasanya aku mulai gelisah, menatap puluhan
macam cokelat yang berjajar rapi dengan segala macam desain yang mampu
menggugah hati.
Semenit kemudian, “Yang
ini saja, Mbak,” ucapku sembari menunjuk ke salah satu desain cokelat. Kuyakin
aku tak salah pilih. Inilah yang terbaik yang bisa kuberikan untuk cintaku.
Aku tersenyum sembari
memandangi setiap butir cokelat yang mengelilingi tubuhku. Rumah Cokelat yang
berada di bilangan Peleburan, Semarang ini, jujur saja aku baru kali pertama
mengunjunginya. Diana, kakak kandungku lah yang memberitahuku di mana letak
surga cokelat yang dapat kutemui di kotaku ini.
“Diberi nama apa, Mbak?” tawar penjaga toko itu.
Aku tersentak, lamunanku buyar. “Hm, untuk karakter depan
dibentuk sepotong hati kecil saja, lalu enam huruf berikutnya nama Gilang, ya,
Mbak?” Aku sedikit tersipu ketika harus menyebut pesananku. Namun cinta
memaksaku untuk tak mempedulikan apa yang orang-orang akan katakan tentangku,
juga tentang kita.
“Terima kasih, Mbak. Maaf, ini notanya. Cokelat bisa diambil
besok lusa karena butuh proses pencetakan. Langsung dibayar atau uang muka
dulu?” tanya penjaga itu, sembari tersenyum ke arahku.
“Langsung bayar saja.”
Hari ini Gilang menghilang sejak pagi tadi. Tak ada pesan
masuk. Seingatku ia akan menghubungiku setelah urusannya selesai. Entah urusan
apa, aku tak tahu. Aku hanya percaya ia akan menepati janjinya. Tak ada hal
apapun—aku percaya padanya.
Kuberanikan diri untuk mengirimnya pesan terlebih dulu.
Meskipun beberapa pesan sebelumnya tak juga terbalas olehnya. “Gilang, aku
merindukanmu.”
Lebih dari sepuluh menit, aku menunggunya. Lama. Hingga
secangkir teh di hadapanku telah dingin karena angin malam begitu jemu
melenyapkan hangatnya yang menguar. Tak sedikitpun terjamah olehku.
Tiba-tiba saja, ponsel itu bergetar. Satu pesan masuk. “Maaf
jika aku menghilang.”
Aku tersentak. Hanya itu? Rasanya dadaku mulai sesak
mengetahui hal itu. Satu bulan bersamanya telah membuatku cukup bisa
mengenalnya. Ia yang selalu menghilang tanpa sebab, ia yang selalu tak
menghubungiku terlebih dulu, semua itu karena suatu hal yang sangat kutakuti.
Namun aku tak ingin bila apa yang kukata adalah benar, karena kuyakin semua itu
hanya akan menambah nganga pada setiap robekan hatiku. Aku hanya ingin percaya
bahwa ia tak sepenuhnya meninggalkanku, hanya itu.
“Apa aku mengganggumu, Sayang?”
Mungkin benar bila gemuruh jiwa ini adalah pertanda segala
firasatku bukanlah hal yang salah. Aku yang terlalu menutup diri, aku yang
selalu tak ingin mencari tahu tentangnya, aku yang begitu bodoh, membiarkan
semua ini mempermainkan perasaanku.
“Boleh aku jujur?”
“Tentang apa?”
“Tentang perasaanku.” Deg! Hatiku seolah berhenti berdetak
tiba-tiba. Bukankah ini bukan dia? Selama aku dengannya, ia tak pernah berkata
begitu serius terhadapku. Jujur tentang perasaan tabu itu. Bahkan tentang
perasaannya yang tak benar-benar kuketahui.
“Nina hari ini datang ke rumahku, itulah alasan mengapa aku
menghilang darimu. Ia datang untuk memintaku kembali, dan aku—”
Air mataku sudah terlebih dulu tumpah. Potongan karakter
dalam pesan singkat itu membuatku ingin membanting ponselku hingga patah, remuk
seluruh isinya. Namun, kerasnya baja dalam hatiku, membuatku tertahan untuk
segera menatap kembali aksaranya.
to be continued... [5]
back to [3]
0 comments: