The Damn First Love [5]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, Cinta Pertama, karya Atika Rahma F, the damn first love
“Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku juga masih
mencintai Nina.”
Y
“Apa kauyakin? Sudahlah, Ries,
semua hanya akan membuatmu terlarut dalam sedihmu.” Pesan singkat Adella, tak
mengubah teguhku untuk tetap menjalani apa yang telah menjadi janjiku kala itu.
Aku meminta Diana
mengantarkanku pada rumah Gilang untuk memberi cokelat pesananku—seperti
janjiku. “Mengapa kaulakukan ini, Ries?”
Sorot mataku menatap pada
rintik hujan yang mulai turun melewati celah-celah pohon angsana di depan Rumah
Cokelat. Gigil mulai memelukku, namun kucoba tersenyum, “Karena akupun tak bisa
berbohong pada hati.”
“Masih mencintainya?
Kaubodoh. Hanya wanita bodoh yang tersenyum ketika lelaki yang dicintainya
kembali pada pelukan wanita masa lalunya. Hanya wanita bodoh yang—”
“Kautak mengerti apapun!”
Aku menyergah, tak kuhiraukan bagaimana amarah telah menelan semangat jiwanya.
Yang kutahu, kini ia hanya terpaku menatap mataku yang perlahan tercairkan oleh
lapisan bebutiran bening.
Gilang tak pernah
mengerti, mengapa air mata selalu lekat sejak kusadari kebersamaan kami
bukanlah hal yang kuimpikan lagi. Gilang tak pernah mengerti mengapa pertemuan
kami bukanlah hal biasa yang mampu membuatku lupa dengan luka lama yang
terlampau sering tak terobati. Gilang tak pernah mengerti betapa duniaku telah
berubah semenjak kehadirannya yang mengisi satu sisi dalam sekat hatiku yang
kosong ini. Gilang tak pernah mau mengerti.
“Ijinkan aku menemuimu,
untuk kali terakhir. Aku berjanji, Gilang, ini yang terakhir.” Pesan singkatku,
yang kutulis padanya dengan getar yang memilukan. Pesan singkat yang mungkin
saja tak akan iadapati dariku lagi—seseorang yang begitu menomorsatukan namanya
di hati yang paling dalam.
Deru motor berhenti. Tepat di depan seorang yang telah
terduduk di selasar rumahnya. Tak kutemui secuil senyum apapun hingga
kedatanganku kuartikan sebagai penganggu. Namun kucoba tetap tersenyum
kepadanya, meski berat kuterima. Meski perih kusadari, dia bukan milikku lagi.
“Ada yang ingin aku tunjukkan,”
kataku, gagu. Lidahku berulang kali kelu, menatapnya, merasakan dekat dengannya
untuk yang terakhir, walau aku sendiri memahami, inilah percintaan yang amat singkat.
Hampir satu bulan, sebelum sempat kukatakan padanya satu hal yang kunanti
setiap detiknya.
“Kuharap kauakan menyukai yang tak
seharga dengan apa yang pernah kauberi ini.” Aku tersenyum, “Ah, kamu bisa saja
menikmatinya dengan—pacar barumu.” Bebutiran itu mulai terbendung. Segera saja
kusodorkan sekotak cokelat itu kepadanya, dan segera enyah tanpa sepatah kata
apapun lagi. Dan inilah yang terakhir, “Terima kasih untuk semua.”
Selamat
gagal satu bulan pertama, Gilang.
Y
Semburat jingga
itu selalu berhasil membuatku tersenyum kagum. Kurebahkan tubuhku di atas kursi
goyang sembari dengan tak jemu mataku mengarah pada keajaiban Tuhan yang hadir
saat senja seperti ini.
Sesaat tubuhku layu. Tahun akan
segera berlalu. Berbicara mengenai resolusi, aku hanya ingin satu hal;
memperbaiki kesalahan terbesarku. Kesahalahan yang kulakukan tanpa kusadari
betapa kutanggung segala penyesalan itu sendiri. Karena hal yang datang
terlambat itu, aku harus sanggup mengubah haluan dalam hidup. Segalanya sungguh
menyesakkan bila kuingat lagi selaksa peristiwa tragis, yang merenggut segenap
perasaan jiwaku.
Ah, kuhela napas panjang sejenak.
Tiba-tiba saja kuingat satu hal yang seharusnya tak lagi kuingat. Aku telah
berjanji pada diri sendiri agar tak lagi mengingat hal yang telah menyakitkan
hati. Rupanya cinta telah memaksaku untuk kembali menyelami hal pahit dan manis
itu—melalui senja di pelupuk mata.
Bahwa inilah yang kedua kalinya
kunikmati malam tahun baru tanpanya.
August 2012
“Bisa pulang sekarang?” geram Ayah yang
begitu menggelegar dari balik ponsel. Aku tahu, sangat tahu. Sudah berkali-kali
kuperhatikan, iamulai curiga bila sosokku tak juga menampakkan batang hidung di
rumah jika jarum jam sudah menunjuk angka tujuh. Padahal baru saja pukul tujuh.
“Iya, Aries pulang sekarang.”
“Kamu sedang di mana? Ayah ingin
tahu, kamu sedang berada di mana!”
Tubuhku seketika dingin mendengarnya
mengatakan hal tersebut. Kubisikkan sepatah dua patah kata kepada Adella dan
Romy yang sedari tadi memerhatikanku terkalang kabut menerima panggilan Ayah
sejauh ini dari rumahnya. Apa yang harus
kukatakan?
“A—aku sedang belajar kelompok, Yah.
Di rumah...Sonya, ah iya, Sonya!” kukatakan selantang mungkin, agar tak
terdengar suaraku bergetar karena menahan rasa takut yang sudah berada di ujung
lidah. Ah, maafkan aku, Ayah. Sudah terlampau besar kesalahanku padamu.
Segera saja kulangkahkan kakiku
meninggalkan rumah—tepatnya istana—ini. Gilang hanya menatapku tanpa berucap
apapun. Aku tersenyum padanya, “Aku pulang dulu, Gilang.” Yang kulihat, iahanya
menganggukkan kepala, dua kali saja.
Iya, bila ingin kautahu, aku telah
memberinya berkali-kali kesempatan atas kesalahan yang iaperbuat kepadaku.
Kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Saat hari-hariku kosong karena
kepergiannya, di saat itu aku selalu menanti bila saja ia kembali menunjukkan
cinta itu lagi. Dan memang benar, ia selalu datang, meski kedatangannya hanya
meminta obat atas kesakitan yang tercurah karena wanita yang iadambakan telah
merobek hatinya hingga menjadi kepingan-kepingan yang tak berarti.
Ponselku bergetar. Panggilan masuk
yang kini telah berubah menjadi panggilan tak terjawab, dari Ayah. Apa yang
bisa kulakukan? Segera saja kulesatkan motorku begitu cepat, menyusuri setiap
jalanan yang ramai, mencoba menerobos ke dalam celah-celah dua mobil yang
berhimpitan. Getaran itu terasa semakin mencekik.
“Kutahu kau berbohong. Tidak ingat,
di sini Ayah sakit-sakitan memikirkanmu. Ayah selalu memberi apapun yang
kauinginkan, tapi apa balasanmu? Pembohong!” kujamahi kata per kata dalam pesan
masuk itu. Akupun kecewa mengapa pendar merah nyala tak juga berganti menjadi
hijau menyilaukan.
Detak jantungku seakan berdetak dua
kali lebih kencang. Setiap debarannya kurasakan ketakutan yang luar biasa.
Getar itu lagi, segera kulihat, meski baru saja hijau itu memendar begitu
cerahnya dan kendaraan mulai melesat cepat mengikuti arus perjalanan
masing-masing.
Dapat kulihat secara samar, rentetan
kata-kata. Ayah lagi, “Ingat, barang siapa yang berbohong pada orangtuanya,
suatu saat akan bertemu dengan pembohong besar!”
Satu langkah lagi aku akan menemui
pengirim pesan itu. Ya, sudah kuduga, paruh baya itu telah berdiri di balik
pintu pagar rumahku. Rona marah kudapati dari seringainya. Kepalan tangannya
kurasa sangat tajam. Seakan hidupku terasa akan berakhir detik ini.
“Ayah—”
to be continued .... [6]
back to [4]
0 comments: