Tuesday, July 22, 2014

0

The Damn First Love [5]

Posted in , , , ,
“Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku juga masih mencintai Nina.”

Y
 “Apa kauyakin? Sudahlah, Ries, semua hanya akan membuatmu terlarut dalam sedihmu.” Pesan singkat Adella, tak mengubah teguhku untuk tetap menjalani apa yang telah menjadi janjiku kala itu.
            Aku meminta Diana mengantarkanku pada rumah Gilang untuk memberi cokelat pesananku—seperti janjiku. “Mengapa kaulakukan ini, Ries?”
            Sorot mataku menatap pada rintik hujan yang mulai turun melewati celah-celah pohon angsana di depan Rumah Cokelat. Gigil mulai memelukku, namun kucoba tersenyum, “Karena akupun tak bisa berbohong pada hati.”
            “Masih mencintainya? Kaubodoh. Hanya wanita bodoh yang tersenyum ketika lelaki yang dicintainya kembali pada pelukan wanita masa lalunya. Hanya wanita bodoh yang—”
            “Kautak mengerti apapun!” Aku menyergah, tak kuhiraukan bagaimana amarah telah menelan semangat jiwanya. Yang kutahu, kini ia hanya terpaku menatap mataku yang perlahan tercairkan oleh lapisan bebutiran bening.

            Gilang tak pernah mengerti, mengapa air mata selalu lekat sejak kusadari kebersamaan kami bukanlah hal yang kuimpikan lagi. Gilang tak pernah mengerti mengapa pertemuan kami bukanlah hal biasa yang mampu membuatku lupa dengan luka lama yang terlampau sering tak terobati. Gilang tak pernah mengerti betapa duniaku telah berubah semenjak kehadirannya yang mengisi satu sisi dalam sekat hatiku yang kosong ini. Gilang tak pernah mau mengerti.
            “Ijinkan aku menemuimu, untuk kali terakhir. Aku berjanji, Gilang, ini yang terakhir.” Pesan singkatku, yang kutulis padanya dengan getar yang memilukan. Pesan singkat yang mungkin saja tak akan iadapati dariku lagi—seseorang yang begitu menomorsatukan namanya di hati yang paling dalam.
            Deru motor berhenti. Tepat di depan seorang yang telah terduduk di selasar rumahnya. Tak kutemui secuil senyum apapun hingga kedatanganku kuartikan sebagai penganggu. Namun kucoba tetap tersenyum kepadanya, meski berat kuterima. Meski perih kusadari, dia bukan milikku lagi.
            “Ada yang ingin aku tunjukkan,” kataku, gagu. Lidahku berulang kali kelu, menatapnya, merasakan dekat dengannya untuk yang terakhir, walau aku sendiri memahami, inilah percintaan yang amat singkat. Hampir satu bulan, sebelum sempat kukatakan padanya satu hal yang kunanti setiap detiknya.
            “Kuharap kauakan menyukai yang tak seharga dengan apa yang pernah kauberi ini.” Aku tersenyum, “Ah, kamu bisa saja menikmatinya dengan—pacar barumu.” Bebutiran itu mulai terbendung. Segera saja kusodorkan sekotak cokelat itu kepadanya, dan segera enyah tanpa sepatah kata apapun lagi. Dan inilah yang terakhir, “Terima kasih untuk semua.”
            Selamat gagal satu bulan pertama, Gilang.

Y
Semburat jingga itu selalu berhasil membuatku tersenyum kagum. Kurebahkan tubuhku di atas kursi goyang sembari dengan tak jemu mataku mengarah pada keajaiban Tuhan yang hadir saat senja seperti ini.
            Sesaat tubuhku layu. Tahun akan segera berlalu. Berbicara mengenai resolusi, aku hanya ingin satu hal; memperbaiki kesalahan terbesarku. Kesahalahan yang kulakukan tanpa kusadari betapa kutanggung segala penyesalan itu sendiri. Karena hal yang datang terlambat itu, aku harus sanggup mengubah haluan dalam hidup. Segalanya sungguh menyesakkan bila kuingat lagi selaksa peristiwa tragis, yang merenggut segenap perasaan jiwaku.
            Ah, kuhela napas panjang sejenak. Tiba-tiba saja kuingat satu hal yang seharusnya tak lagi kuingat. Aku telah berjanji pada diri sendiri agar tak lagi mengingat hal yang telah menyakitkan hati. Rupanya cinta telah memaksaku untuk kembali menyelami hal pahit dan manis itu—melalui senja di pelupuk mata.

            Bahwa inilah yang kedua kalinya kunikmati malam tahun baru tanpanya.
August 2012
            “Bisa pulang sekarang?” geram Ayah yang begitu menggelegar dari balik ponsel. Aku tahu, sangat tahu. Sudah berkali-kali kuperhatikan, iamulai curiga bila sosokku tak juga menampakkan batang hidung di rumah jika jarum jam sudah menunjuk angka tujuh. Padahal baru saja pukul tujuh.
            “Iya, Aries pulang sekarang.”
            “Kamu sedang di mana? Ayah ingin tahu, kamu sedang berada di mana!”
            Tubuhku seketika dingin mendengarnya mengatakan hal tersebut. Kubisikkan sepatah dua patah kata kepada Adella dan Romy yang sedari tadi memerhatikanku terkalang kabut menerima panggilan Ayah sejauh ini dari rumahnya. Apa yang harus kukatakan?
            “A—aku sedang belajar kelompok, Yah. Di rumah...Sonya, ah iya, Sonya!” kukatakan selantang mungkin, agar tak terdengar suaraku bergetar karena menahan rasa takut yang sudah berada di ujung lidah. Ah, maafkan aku, Ayah. Sudah terlampau besar kesalahanku padamu.
            Segera saja kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah—tepatnya istana—ini. Gilang hanya menatapku tanpa berucap apapun. Aku tersenyum padanya, “Aku pulang dulu, Gilang.” Yang kulihat, iahanya menganggukkan kepala, dua kali saja.
            Iya, bila ingin kautahu, aku telah memberinya berkali-kali kesempatan atas kesalahan yang iaperbuat kepadaku. Kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Saat hari-hariku kosong karena kepergiannya, di saat itu aku selalu menanti bila saja ia kembali menunjukkan cinta itu lagi. Dan memang benar, ia selalu datang, meski kedatangannya hanya meminta obat atas kesakitan yang tercurah karena wanita yang iadambakan telah merobek hatinya hingga menjadi kepingan-kepingan yang tak berarti.
            Ponselku bergetar. Panggilan masuk yang kini telah berubah menjadi panggilan tak terjawab, dari Ayah. Apa yang bisa kulakukan? Segera saja kulesatkan motorku begitu cepat, menyusuri setiap jalanan yang ramai, mencoba menerobos ke dalam celah-celah dua mobil yang berhimpitan. Getaran itu terasa semakin mencekik.
            “Kutahu kau berbohong. Tidak ingat, di sini Ayah sakit-sakitan memikirkanmu. Ayah selalu memberi apapun yang kauinginkan, tapi apa balasanmu? Pembohong!” kujamahi kata per kata dalam pesan masuk itu. Akupun kecewa mengapa pendar merah nyala tak juga berganti menjadi hijau menyilaukan.
            Detak jantungku seakan berdetak dua kali lebih kencang. Setiap debarannya kurasakan ketakutan yang luar biasa. Getar itu lagi, segera kulihat, meski baru saja hijau itu memendar begitu cerahnya dan kendaraan mulai melesat cepat mengikuti arus perjalanan masing-masing.
            Dapat kulihat secara samar, rentetan kata-kata. Ayah lagi, “Ingat, barang siapa yang berbohong pada orangtuanya, suatu saat akan bertemu dengan pembohong besar!”
            Satu langkah lagi aku akan menemui pengirim pesan itu. Ya, sudah kuduga, paruh baya itu telah berdiri di balik pintu pagar rumahku. Rona marah kudapati dari seringainya. Kepalan tangannya kurasa sangat tajam. Seakan hidupku terasa akan berakhir detik ini.
“Ayah—”


to be continued .... [6]
back to [4]

0 comments: