Wednesday, July 23, 2014

0

The Damn First Love [6]

Posted in , , , ,
“Bisakah kau keluar sekarang?”
            Aku mengendap-endap menuju ruang tamu, kukatakan pada Gilang di balik ponsel tersebut, “Aku tidak bisa. Aku takut.”
            “Sebentar saja, aku ingin bermalam minggu denganmu.”
            Jantungku berdegub sangat kencang. Kulesatkan pandanganku ke setiap penjuru ruangan. Ayah telah terlelap tidur, dan Ibu sedang sibuk menata pakaian di kamarnya. Inilah saatku bermain kucing-kucingan layaknya hari-hari kemarin. Sungguh, cinta ini memaksaku untuk berlaku kejam sekalipun. Aku merindukan cinta. Aku menginginkan cinta.
            Kulangkahkan kaki begitu cepat, menuju tempat yang Gilang janjikan akan menungguku di sana. Dari jarak yang tak begitu dekat, kutelisik matanya yang membulat mengarah kepadaku. Aku sangat merindukan sosok itu.
            Malam ini kunikmati berdua dengannya, meskipun harus dengan deguban jantung yang tak lagi teratur. Mengapa ketika ingin kunikmati berdua dengan cinta, hatiku selalu diruncung kecemasan atas keputusan yang kulakukan. Aku membohongi mereka demi bertemu dengan kekasihku. Aku tega mengkhianati cintanya demi bertemu dengan cintaku.

            “Gilang, aku ingin kamu tahu satu hal,” ucapku, tanpa pernah menatap matanya.
            “Apa?”
            Aku terdiam sejenak, mencoba mengatur napas agar tak sesak kemudian. “Aku tidak lagi bisa mengenakan motor ke manapun karena,” sejenak lidahku tercekat. “Karena, motor akan diambil Diana ke tempat kosnya.” Itulah yang mampu kuucap, meski sebenarnya bukan hanya karena masalah itu. Aku dihukum oleh ayahku, tak boleh lagi menjamah apalagi mengendarai motor itu karena ia yakin aku akan berbohong lagi kepadanya.
            Gilang menggamit jemariku, menatap mataku lembut, “Kan ada aku.”
            Aku tersenyum. Sejak saat itu, kurasakan bahagia karena tiap kali kurasakan indahnya kebersamaan berdua dengannya. Sepulang sekolah aku selalu menunggunya di atas jembatan dan terkadang di dalam shelter untuk menanti kedatangannya menjemputku. Sekian lama, hingga kurasakan sengat matahari tak lagi terasa.
            Sudah seminggu lebih, aku sangat berterima kasih kepadanya yang selalu ada ketika aku membutuhkannya. Meski berkali-kali kucaci maki diriku sendiri yang selalu saja membuang-buang waktu juga bensinnya. Mungkin saja ia merasa lelah, karena terkadang ia pernah meminjam motor temannya hanya untuk menjemputku.
            Namun kali ini kurasakan sebuah kejanggalan. Pesan singkatku tak juga iabalas. Aku melangkah begitu layu menuju jembatan—tempatku biasa menunggunya. Tak kurasa semangat yang tiap kali membuatku menggurat senyum bahagia. Aku menunggunya dengan lelah yang acap kali menyuruhku menyerah.
            “Aries, mau pulang bareng?” tanya seorang temanku ketika melesat di hadapanku.
            Aku menggeleng, kemudian tersenyum kepadanya. “Aku menunggu seseorang.”
            Tak hanya Riana, namun berkali-kali sapaan dan tawaran membuncah dari mulut teman-temanku. Dan berkali-kali juga kubiarkan ia segera pergi meninggalkanku, karena aku tak mungkin juga akan mengiyakan. Aku akan terus di sini, menanti satu sosok yang ingin kulihat wajahnya hari ini.
            Hingga matahari akan berganti dengan semburat jingga di cakrawala barat, tak kutemuinya muncul di pelupuk mataku. Perlahan juga aku mulai lelah. Dayaku hanya ingin berpasrah. Lelah telah menyuruhku menyerah. Kulangkahkan kakiku pergi dari jembatan ini, mungkin benar apa kata hati; kautak datang.

Y
Air mataku telah berjatuhan. Tak seharusnya aku menyia-nyiakan kasih sayang Ayah yang begitu besar ketimbang cintanya yang tak kunjung juga kutemukan kejelasannya.
            Kutatap wajah mendung Ayah di selasar rumah Pak Lik. Bahkan jika kuingat, tak sekalipun aku mampu mengusir keresahan yang sering kali datang mengganggunya. Inilah kesalahan terbesarku. Inilah apa yang menjadikanku mengucap resolusi itu. Aku tak ingin cinta Ayah terlupakan. Namun yang kulakukan justrulah sesal di hatinya yang begitu samar karena tertutup oleh kegigihan yang iatujukan lewat sungging senyum simpul itu. Senyum yang akan kurindukan bila saat nanti aku akan kehilangan. Tidak, jangan ambil dia sebelum aku mampu mengusir mendung di wajahnya itu, Tuhan. Aku ingin menebus segala kesalahan besar yang membuatnya selalu lekat dengan air mata di hatinya.

            Aku telah bertemu pembohong besar itu, Ayah.

to be continued ... [The End]
back to [5]

0 comments: