The Damn First Love [6]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, Cinta Pertama, karya Atika Rahma F, the damn first love
“Bisakah kau
keluar sekarang?”
Aku mengendap-endap menuju ruang
tamu, kukatakan pada Gilang di balik ponsel tersebut, “Aku tidak bisa. Aku
takut.”
“Sebentar saja, aku ingin bermalam
minggu denganmu.”
Jantungku berdegub sangat
kencang. Kulesatkan pandanganku ke setiap penjuru ruangan. Ayah telah terlelap
tidur, dan Ibu sedang sibuk menata pakaian di kamarnya. Inilah saatku bermain
kucing-kucingan layaknya hari-hari kemarin. Sungguh, cinta ini memaksaku untuk berlaku
kejam sekalipun. Aku merindukan cinta. Aku menginginkan cinta.
Kulangkahkan kaki begitu
cepat, menuju tempat yang Gilang janjikan akan menungguku di sana. Dari jarak
yang tak begitu dekat, kutelisik matanya yang membulat mengarah kepadaku. Aku
sangat merindukan sosok itu.
Malam ini kunikmati
berdua dengannya, meskipun harus dengan deguban jantung yang tak lagi teratur.
Mengapa ketika ingin kunikmati berdua dengan cinta, hatiku selalu diruncung
kecemasan atas keputusan yang kulakukan. Aku membohongi mereka demi bertemu
dengan kekasihku. Aku tega mengkhianati cintanya demi bertemu dengan cintaku.
“Gilang, aku ingin kamu
tahu satu hal,” ucapku, tanpa pernah menatap matanya.
“Apa?”
Aku terdiam sejenak,
mencoba mengatur napas agar tak sesak kemudian. “Aku tidak lagi bisa mengenakan
motor ke manapun karena,” sejenak lidahku tercekat. “Karena, motor akan diambil
Diana ke tempat kosnya.” Itulah yang mampu kuucap, meski sebenarnya bukan hanya
karena masalah itu. Aku dihukum oleh ayahku, tak boleh lagi menjamah apalagi
mengendarai motor itu karena ia yakin aku akan berbohong lagi kepadanya.
Gilang menggamit
jemariku, menatap mataku lembut, “Kan ada aku.”
Aku tersenyum. Sejak saat
itu, kurasakan bahagia karena tiap kali kurasakan indahnya kebersamaan berdua
dengannya. Sepulang sekolah aku selalu menunggunya di atas jembatan dan
terkadang di dalam shelter untuk menanti kedatangannya menjemputku. Sekian
lama, hingga kurasakan sengat matahari tak lagi terasa.
Sudah seminggu lebih, aku
sangat berterima kasih kepadanya yang selalu ada ketika aku membutuhkannya.
Meski berkali-kali kucaci maki diriku sendiri yang selalu saja membuang-buang
waktu juga bensinnya. Mungkin saja ia merasa lelah, karena terkadang ia pernah
meminjam motor temannya hanya untuk menjemputku.
Namun kali ini kurasakan
sebuah kejanggalan. Pesan singkatku tak juga iabalas. Aku melangkah begitu layu
menuju jembatan—tempatku biasa menunggunya. Tak kurasa semangat yang tiap kali
membuatku menggurat senyum bahagia. Aku menunggunya dengan lelah yang acap kali
menyuruhku menyerah.
“Aries, mau pulang
bareng?” tanya seorang temanku ketika melesat di hadapanku.
Aku menggeleng, kemudian
tersenyum kepadanya. “Aku menunggu seseorang.”
Tak hanya Riana, namun
berkali-kali sapaan dan tawaran membuncah dari mulut teman-temanku. Dan
berkali-kali juga kubiarkan ia segera pergi meninggalkanku, karena aku tak
mungkin juga akan mengiyakan. Aku akan terus di sini, menanti satu sosok yang
ingin kulihat wajahnya hari ini.
Hingga matahari akan
berganti dengan semburat jingga di cakrawala barat, tak kutemuinya muncul di
pelupuk mataku. Perlahan juga aku mulai lelah. Dayaku hanya ingin berpasrah.
Lelah telah menyuruhku menyerah. Kulangkahkan kakiku pergi dari jembatan ini,
mungkin benar apa kata hati; kautak datang.
Y
Air mataku telah berjatuhan. Tak seharusnya aku menyia-nyiakan kasih
sayang Ayah yang begitu besar ketimbang cintanya yang tak kunjung juga
kutemukan kejelasannya.
Kutatap wajah mendung
Ayah di selasar rumah Pak Lik. Bahkan jika kuingat, tak sekalipun aku mampu
mengusir keresahan yang sering kali datang mengganggunya. Inilah kesalahan
terbesarku. Inilah apa yang menjadikanku mengucap resolusi itu. Aku tak ingin
cinta Ayah terlupakan. Namun yang kulakukan justrulah sesal di hatinya yang
begitu samar karena tertutup oleh kegigihan yang iatujukan lewat sungging
senyum simpul itu. Senyum yang akan kurindukan bila saat nanti aku akan
kehilangan. Tidak, jangan ambil dia sebelum aku mampu mengusir mendung di
wajahnya itu, Tuhan. Aku ingin menebus segala kesalahan besar yang membuatnya
selalu lekat dengan air mata di hatinya.
Aku telah bertemu pembohong besar itu, Ayah.
to be continued ... [The End]
back to [5]
0 comments: