The Damn First Love [The End]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, Cinta Pertama, karya Atika Rahma F, the damn first love
September 2012
“Inikah janji yang kaumaksud, Gilang? Inikah sebutir cinta yang akan selalu kauberi hanya untukku? Inikah seikat ikrar yang terlontar dari racau mulutmu saat dengan bodohnya kuberi kesempatan itu untukmu? Apa ini yang namanya cinta?” Aku menuliskannya dengan air mata. Ponselku perlahan basah karenanya. Mengapa Gilang—orang yang kupercaya segenap cintanya—kini tak lebih dari seorang dajjal dengan kepalsuan besarnya.
“Carilah penggantiku, Ries. Relakan semua.”
“Bagaimana aku bisa mencari penggantimu bila saat itu kaubilang hanya kaulah yang bisa mengisi satu-satu tempat di sekat hatiku yang kosong? Bagaimana aku bisa mencari sosok lain bila cintaku saja sudah habis terbawa lari olehmu? Bagaimana aku bisa merelakan semua bila kautelah mengubah hidupku menjadi beku tanpamu, Gilang?”
Kepergiannya adalah hal yang akan kutunggu. Namun itu dulu. Di bawah atap yang menjadi tempat kita melepas rindu, kaumemelukku. Kala itu, kaubisikkan kata cinta. Kauucap kata termanis yang selalu ingin kudengar darimu.
“Aku akan ke Jakarta. Sangat lama. Apa kauakan mencari penggantiku?”
“Tidak. Aku akan tetap menunggumu.”
“Mengapa?”
“Karena aku mencintaimu.”
“Berjanjilah untuk selalu menungguku, hingga aku kembali membawa seikat janji untuk selalu melalui hari bersamamu.”
Bagaimana aku bisa memenuhi janji itu, bila sebelum segalanya terjadi iasudah terlebih dulu pergi? Gilang selalu berkata bahwa aku tak pernah memiliki waktu untuknya. Iaselalu mencari setitik kesalahan dari diriku demi melepas ikatan yang iacipta ketika iabisikkan kata cinta untukku. Padahal akulah yang selalu terkecewakan olehnya. Aku selalu menomorsatukan ia walau bagaimanapun keadaannya. Aku selalu menyia-nyiakan cinta Ayah hanya untuk mencari celah agar aku bisa bertemu dengannya walau sekadar mendengar desah suaranya. Namun dari sekian juta kebaikan yang tersamarkan oleh hatinya yang keras, hanya terbalaskan oleh segenggam kepahitan, pengkhianatan yang meretakkan kepercayaan yang kuberi hanya untuknya! Aku selalu mencintainya namun cintaku hanya dihargai sepercik hina di hatinya. Ia pergi, jauh ke dasar palung hati wanita lain.
Lelaki sepertinyalah pembohong besar itu, Ayah—kekasihku sendiri.
Kuperhatikan sekali lagi, pesan yang terakhir kali kuterima darinya. “Bye”. Semudah itu iahadir mengubah jalan hidupku. Seharusnya aku mendengar kata Ayah. Seharusnya sejak dulu kukutup pintu hatiku untuknya. Seharusnya memang takdir tak pernah mempertemukanku dengan sosok itu—yang membuatku lupa akan segalanya. Yang membuatku semakin lekat dengan sesal dan air mata yang terus saja gagal membunuh rasa bersalahku. Inilah yang ingin selalu kukatakan; cinta pertama tak selamanya menyenangkan. Suatu hari iaakan mengerti, siapa yang paling mencintai. Hingga cepat atau lambat cinta itu berubah menjadi benci yang tercurah tiada habisnya hanya untuk satu nama; Gilang.
“Sudah siap? Ayo kita pulang.” Ucapan Ayah begitu menyentakkanku. Seketika lamunanku pudar, berubah menjadi rasa panik yang menggebu. Ah, sudah saatnya aku meninggalkan kota kelahiranku, setelah selama seminggu kuhabiskan hari liburku, kini kuharus kembali pada rutinitasku.
Dan Semarang—akan selalu mengingatkanku akan hal itu.
Hal yang telah kukubur dalam-dalam. Hal yang telah terkunci di bawah palung hati tanpa siapapun mampu membukanya. Cinta pertama. Segalanya telah sirna. Segalanya hanyalah bingkai yang terkemas rapi tanpa seorangpun akan menjamahnya. Kuyakin aku akan bahagia bila tanpanya. Kuyakin hidupku akan lebih berwarna bila sebelumnya terkelamkan olehnya.
Cinta pertama, tak selamanya menyenangkan. Takkan selamanya.
Sudah seharusnya tak kujamah lagi ingatan pahit itu, karena tak pula kutemui kebahagiaan ketika mengingatnya. Hanya luka dan air mata. Kudongakkan kepalaku ke atas langit cerah. Masih ada cinta untukku. Setidaknya aku harus tersenyum untuk hal ini.
Karena kini saatnya aku akan memulai kisah baru— dengan cinta terakhirku.
Y
SELESAI. Thanks for reading. I'm waiting for your comments, critic is better.
back to [6]
0 comments: