Friday, July 18, 2014

0

Keraguan di Balik Hujan

Posted in , , ,
Doc. Jan 2014


Bagiku cinta itu seperti Januari yang selalu identik dengan butir-butir dingin yang selalu menggigilkan tubuh di segala waktu. Selalu datang tanpa di minta, pun jika inginkan berhenti tanpa berucap sebelumnya. Cinta itu ambigu, sama tidak jelasnya dengan perasaan yang kurasakan tanpa pernah bisa kutemui penghujung atas rasa cinta yang semu. Lelaki itu, begitu tega...

**

            “Beri aku alasan mengapa kau begitu membenci hujan.”
            Aku tersentak. Kuhentikan gerak lembut sepasang kakiku yang menempias dinginnya telaga yang sesekali mencipta gemerincik yang memecah keheningan. Bila kupikir, sudah hampir setiap sore kuhabiskan masa-masa melarung rindu bersamanya di bawah atap langit Magelang yang merekahkan merona jingga pada cakrawala barat. Kutatap lagi mata indah itu, meski harus kusadari, ia yang telah terlebih dulu menjatuhkan pandangannya pada sayu mataku—sangat tajam, aku terpaku.
            “Karena hujan begitu ambigu,” jawabku, seakan layu.
            Ia tak segera menjawab. Bahkan kupandangi melalui ekor mataku, tatapannya berubah tak memandangku melainkan memaku pandangan pada bebek air yang telah menyisir telaga Bleder ini melalui poros-porosnya. Memang, akan selalu indah bila berdua dengan orang yang dicintai seperti sepasang mata itu. Terlihat dari caranya menggurat senyum dan mengumbar tawa yang bukan sederhana, namun istimewa. Kuyakin mereka bahagia. Sangat bahagia. Tak seperti yang kurasa.


            “Terkadang hujan memaksamu untuk dapat mendefinisikan maksud dari kehadirannya,” ucap Rangga kemudian, memecah lamunan.
            “Termasuk kepergiannya yang juga tanpa kupinta?”
            Rangga berbalik memandangku. Kali ini kuartikan tatapan mata yang begitu serius, seolah apa yang telah kukatakan adalah salah besar di matanya. Segera saja kutundukkan kepalaku dalam, memang benar jika mulut selalu berkata tanpa pernah bisa kembali kutarik dan tak mencipta sesal pada akhirnya.
            “Tanpa pernah hujan memberitahumu, kau harus selalu tahu bahwa pertemuan akan selalu satu paket dengan perpisahan. Kau tak akan mengerti arti perpisahan bila kau tak pernah rasakan pertemuan, juga sebaliknya. Itu yang selalu kudefinisikan dari hujan yang katamu ambigu. Mereka selalu punya alasan mengapa rintiknya bisa mengingatkanmu akan suatu hal, membawamu kembali pada suatu masa yang tak mungkin lagi bisa kaujamah, dan menenggelamkanmu dalam selaksa keraguan yang kausebut itu cinta.”
            Aku terpaku mengartikan perkataannya. Satu per satu kutemui bongkahan kata yang begitu mengusik keraguan yang sedari tadi bergelayut dalam ruang-ruang di hatiku. Bila kuingat, justru ia yang mengerti betul mengapa aku selalu merasakan gemuruh dalam jiwa jika seluruh kata yang terucap begitu istimewa terdengar di telinga.
            “Itu yang selalu menjadi alasanku, Rangga.”
            Rangga tak menjawab, hanya sayu matanya yang bertanya-tanya.
            “Keraguan itu yang selalu kujadikan alasan,” imbuhku.
**
Hujan lagi. Kurasa memang tak pernah bisa kutemui Januari bila tanpa rintik hujan ini. Dan lagi-lagi, ucapan Rangga membuatku terus-menerus terhukum oleh segelintir kata yang mengalir apa adanya. Walau kusadari, kata tak sepenuhnya bisa mengubah keadaan. Namun sore itu, aku kembali terbuai di dalamnya.
            Dalam butir lembut yang menjadikan beku gubuk tepi telaga ini, aku selalu berpikir mengapa selalu ada perpisahan bila pertemuan saja begitu manis dan ingin terus kucicipi. Lagi lagi ini tentang cinta. Dan masa yang begitu indah—yang masih tetap akan menjadi mimpi. Layaknya pelangi, meski memesona namun tetap akan menjadi ilusi.
            Dering itu kembali berbunyi. Nyaringnya tak kuhiraukan lagi. Sebait lagu dari Keith Martin—Because of You, membuatku ingin berlari dan menjauh dari kenyataan pahit ini. Kutahu itu pengingat, mengingatkan betapa luka itu semakin terasa nyata.
            Senja kesepuluh, bersama Rangga.
            Seharusnya sore ini kulalui bersamanya. Namun pesan singkatnya membuatku sendiri berteman sepi dan tempias hujan di sini. Namun bukankah memang ini pilihanku? Aku tak bisa menyalahkannya yang memang tak benar-benar mengerti. Lelaki itu begitu tega, membiarkanku terus tenggelam dalam keraguan yang tak pernah ada ujungnya.
            Sore ini kudengar Rangga akan segera pergi. Lebih jauh dari luar negeri. Kurasa akan sangat jauh bila tak juga kuhentikan langkah kakinya. Hingga dapat kuhentikan air mata ini untuk tak lagi menitik membasahi pipi. Agar dapat terjawab semua keraguan di hati yang membuatku membenti kehadiran hujan juga kepergiannya yang tak pernah mau berucap permisi. Seperti cinta rumit ini.
            Rangga akan pergi, dan mungkin setelah ini tak ada lagi senja milik berdua.
            Haruskah kukejarnya dan kuhentikan kemana arah hatinya bermuara? Atau kubiarkan ia bahagia lalu aku akan kehilangannya? Inilah keraguanku, Rangga. Aku ragu apakah benar cinta itu kamu?
            Kuseka butir bening itu. Tak kusangka hal ini akan kembali menoreh luka oleh karena cinta yang tak mudah kutebak artiannya. Aku beranjak. Bila memang cinta, aku tak peduli seberapa besar keraguan akan mematahkan perasaan yang telah lama tersimpan. Bila memang rasa itu ada, seharusnya aku mampu mengejarnya dan menjatuhkan tepat  dalam hatiku yang memang membutuhkan itu.
            Aku membutuhkanmu, juga cintamu...
            Aku terus berlari. Membiarkan hujan dengan jumawa mencipta gigil pada tubuh ini. dan butir bening di mataku akan perlahan terhapuskan oleh dinginnya hujan yang terus mengiringi rasa sakit yang tak bisa kutahan ini.
            “Kaulah alasanku selalu membenci hujan, Rangga! Kau!”
            Tubuhku gigil. Sosok itu berpaling memandangku dengan danau indah mata itu. Entah mengapa baru kali ini kuberanikan diri menyuarakan isi hati—di saat semua telah menjadi kepingan-kepingan yang mungkin saja tak mudah untuk tersatukan.
            “Kaulah alasan mengapa selalu ada keraguan di antara butir-butir gerimis yang selalu ambigu. Karena hatimu yang tak juga memahami—”
            “Virgie...”
            “Apa!”
            “Kau menangis?”
            Rangga bodoh. Apa aku terlihat seperti wanita yang begitu bahagia melihat orang yang dicintainya akan menjatuhkan pilihan pada wanita lain—yang menjadi pengisi hatinya dan itu bukan aku.
            “Kau jahat, Rangga!”
            “Jahat? Apa yang kulakukan kepadamu?”
            Lelaki ini benar-benar bodoh. Tak pernah mengerti di balik butir bening ini ada serpihan hatinya yang perlahan pergi. Tak pernah mengerti bahwa aku hanya ingin memilikinya, bukan siapapun.
            “Kau selalu berkata bahwa hujan selalu punya alasan mengapa rintiknya bisa mengingatkanku akan suatu hal, membawaku kembali pada suatu masa yang tak mungkin lagi bisa kujamah, dan menenggelamkanku dalam selaksa keraguan yang kusebut itu cinta. Namun aku tak pernah tahu apakah definisimu itu akan benar-benar bekerja pada hati yang menginginkan hati lain yang tak pernah akan merasakan hal yang sama?”
            “Hal yang sama?”
            Kupicingkan mata ke arahnya. Masih dengan butir bening itu. Juga gerimis yang semakin membekukan tubuhku. Aku tak pernah tahu mengapa hatiku begitu tertutup di matanya. “Hal yang sama...,”
            Rangga menatapku kaku. Sudut matanya mengartikan hal yang tak ia mengerti. Sungguh. Hujan, katakan padanya bahwa hal itu yang kunamakan cinta.
            “Virgie.” Tangannya berlabuh pada kedua bahuku. Mengapa rasanya begitu indah, merasakan hantaman hujan yang membasahi tubuh kami berdua tanpa satupun yang mampu menghalangi. Namun betapa sakit juga bila kutahu hatinya tak sepenuhnya akan bahagia bila ianikmati bersamaku. Apa yang harus kulakukan?
            “Aku tak pernah mengerti apa maksudmu, yang jelas aku sangat bahagia kau ada di sini.” Ia tersenyum—senyum termanis yang pernah kulihat dari bibirnya. Ya, Rangga, kutahu kau sangat bahagia karena suatu hal yang kubenci.
            “Karena cintamu terbalaskan? Itu yang ingin kauceritakan padaku?”
            “Itu yang ingin kutanyakan kepadamu, apa cintaku terbalas?”
            Aku membeliak. Tak mengerti apa maksudnya.
            “Maksud kamu? Lalu apa yang bisa kujawab dari ini? Mana bisa kumengerti apakah cintamu terbalas atau tidak, seharusnya kau sendiri yang mengerti,”
            “Aku masih belum mengerti bila kau tak mempertegas semua,” sergahnya.
            “Mempertegas?”
            Rangga mengangguk.
            “Mempertegas apa?”
            Kurasakan hujan yang semakin tak menjatuhkan butirnya ke permukaan bumi, juga tak lagi menjamah kulitku yang perlahan terhangatkan oleh mentari yang muncul dari arah yang barat yang hampir saja menghilang. Namun hatiku masih tetap beku.
            “Mempertegas apakah hatiku terbalas atau aku harus menyadari bahwa aku hanya jatuh cinta sendirian.”
            Aku mengernyit, “Rangga, aku tidak mengerti apa maksudmu. Mm, jadi begini. Jika memang wanita itu memiliki rasa yang sama, maka cintamu terbalaskan. Namun jika ia berkata yang berlainan, maka cintamu tak terba—”
            “Berarti cintaku terbalaskan!” Ia tertawa, begitu girang. Dan ini yang membuatku semakin berat untuk menerima kenyataan. Kurasa aku akan benar-benar kehilangannya untuk selamanya. Jauh. Sangat jauh. Tanpa bisa kunikmati senja bersamanya lagi.
            “Aku senang mendengarnya. Semoga kau bahagia bersama wanita itu.”
            Aku mencoba berbalik arah. Mencoba tak menghiraukan semua rasa sakit itu. Dan mencoba tersenyum untuk kebahagiaan Rangga—lelaki yang tega memberiku air mata, lelaki yang tak pernah mau mengerti rasa sakit ini.
            “Aku sangat bahagia, Virgie! Dan aku tak ingin kehilanganmu lagi!”
            Aku tersentak. Kehilanganku?
            “Wanita yang selalu kuceritakan padamu di setiap sore kita bertemu, melarung rindu di telaga itu, wanita yang selalu ingin kutemui dan kubisikkan kata cinta yang kuharap mampu membekas bahagia di hati, wanita yang ingin kutemui di sudut telaga ini untuk kuharapkan akan membalas perasaan cinta ini, adalah wanita yang kini ada di hadapanku.”
Kurasakan pelukan hangat yang mendekap tubuhku begitu erat. Hingga kembali kurasakan betapa butir bening itu kembali membasahi pematang pipiku.
            “Kau, Virgie, bukan siapapun.”
            Dan kini aku berhasil menggurat senyum meski di sudut mataku akan terus menggulirkan air mata. Kutahu ini air mata bahagia. Aku sangat bahagia mendengarnya. Kubalikkan tubuhku hingga bisa kupandang dua mata itu lebih dalam. Di balik punggungnya kulihat baris-baris pelangi yang memancar pesona begitu indah. Walau semua hanya ilusi, ijinkan aku untuk terus menikmati keindahan ituu bersama orang yang benar-benar kucintai—dan mencintaiku, tanpa suatu ambigu, tanpa alasan apapun dan yang kutahu, Rangga membuatku tak lagi membenci hujan; bila setelah itu akan ada pelangi yang membahagiakan.
            You’re the reason for every daubt, Rangga.



0 comments: