Showing posts with label antara kita dan hujan. Show all posts

Friday, July 18, 2014

0

Keraguan di Balik Hujan

Posted in , , ,
Doc. Jan 2014


Bagiku cinta itu seperti Januari yang selalu identik dengan butir-butir dingin yang selalu menggigilkan tubuh di segala waktu. Selalu datang tanpa di minta, pun jika inginkan berhenti tanpa berucap sebelumnya. Cinta itu ambigu, sama tidak jelasnya dengan perasaan yang kurasakan tanpa pernah bisa kutemui penghujung atas rasa cinta yang semu. Lelaki itu, begitu tega...

**

            “Beri aku alasan mengapa kau begitu membenci hujan.”
            Aku tersentak. Kuhentikan gerak lembut sepasang kakiku yang menempias dinginnya telaga yang sesekali mencipta gemerincik yang memecah keheningan. Bila kupikir, sudah hampir setiap sore kuhabiskan masa-masa melarung rindu bersamanya di bawah atap langit Magelang yang merekahkan merona jingga pada cakrawala barat. Kutatap lagi mata indah itu, meski harus kusadari, ia yang telah terlebih dulu menjatuhkan pandangannya pada sayu mataku—sangat tajam, aku terpaku.
            “Karena hujan begitu ambigu,” jawabku, seakan layu.
            Ia tak segera menjawab. Bahkan kupandangi melalui ekor mataku, tatapannya berubah tak memandangku melainkan memaku pandangan pada bebek air yang telah menyisir telaga Bleder ini melalui poros-porosnya. Memang, akan selalu indah bila berdua dengan orang yang dicintai seperti sepasang mata itu. Terlihat dari caranya menggurat senyum dan mengumbar tawa yang bukan sederhana, namun istimewa. Kuyakin mereka bahagia. Sangat bahagia. Tak seperti yang kurasa.

Tuesday, February 18, 2014

0

My Book: Antara Kita dan Hujan

Posted in , , , ,
 15. Antara Kita dan Hujan (AE Publishing)


Judul : Antara Kita dan Hujan
Pengarang : Justang, Dia Gaara Andromeda, dan ECA Lovers...
Ukuran : 14 x 20 cm
Tebal : vi + 124 hlm
Harga : 33.000
Po : 29.700 s.d 28 Februari 2014

Ketik: HUJAN# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
Kirim ke : 082333535560/08991021140


SINOPSIS :
Ketika sampai, hujan masih menderas dengan ganas, belum mau berhenti. Dengan tergesa, aku tergopoh-gopoh memasuki pintu café. Café dengan ciri yang diceritakan Sarah. Namun, tak ada sesiapa di dalam. Suasana café juga begitu senyap dan renggang oleh pengunjung. Satu patung porselen dipasang di depan toko dengan anggun oleh seorang pelayan. Aku sejenak menghentikan langkah, entahlah, gelagat yang dilakukannya sungguh buatku tertarik.
Aku mendekati seraya memperhatikan patung porselen yang ditaruhnya itu. Ya, patung-patung porselen itulah yang sepertinya menjadi daya tarik café ini di mata pengunjung. Patung-patung yang kesemuanya adalah wajah seorang wanita yang sedang dihujani air mata. Wajah yang sendu, namun enak dipandang.
“Patung baru, Mbak?”
Sang pelayan mengangguk. “Baru saja diterima hari ini. Cantik, ya? Wajahnya seperti asli, namun menyimpan sejuta keresahan,” jawabnya sembari mengelap-elap patung itu dengan hati-hati.
“Boleh tidak aku beli patung itu? Entah mengapa aku suka saja,” aku berpikir hendak membelikannya untuk Sarah.
Pelayan itu tiba-tiba menggusar. Dengan sinis, ia akhirnya menjawab, “Semua patung porselen di sini tidak dijual. Patung-patung ini adalah jelmaan sang hujan yang meminta takdirnya. Takdir agar tidak menangis di bawah hujan lagi. Takdir yang seyogyanya dikoyak, karena hujan seharusnya bentuk anugerah. Bukan sesuatu yang menimbulkan kesedihan,”