Life is (Never) Flat
Posted in @atikarahmaa, Akurapopo, cerita inspiratif, Flash Fiction
@atikarahmaa
Aku
ora popo[1]!
Rasanya
pengin garuk-garuk kuping. Akhir-akhir ini gue dibuat tuli dengan mendengar
celotehan anak-anak yang selalu bilang tiga patah kata yang bikin gue pusing
setengah mati.
Gue
nggak ngerti kapan pastinya bongkahan kata tak bertuan itu beredar bukan hanya
di dunia nyata tapi juga di dunia maya, yang pasti, mau tak mau gue harus
selalu dengar permasalahan dan polemik yang terjadi di sekitar gue sehingga
mereka lebih memilih berkata aku ora popo
daripada sesegera mungkin make a problem
solving.
Jika gue seorang
psikolog, mungkin gue akan langsung memberikan riset yang membuktikan bahwa
kata aku ora popo merupakan virus
kebohongan besar yang mulai merambah di hati orang-orang yang tertimpa masalah.
Apalagi pernah gue lihat temen gue bikin status dengan kata-kata tersebut
diiringi emoticon smile di akhir
kalimat. Mungkin yang bisa gue artikan adalah saking besarnya masalah itu,
sampai ia putus asa dan berpura-pura tegar di balik tiga kata dan emoticon tersebut.
Baiklah.
Gue nggak bisa berlama-lama. Gue pengin ceritain bagaimana asal-muasalnya
mengapa akhirnya gue turut mempermasalahkan aku
ora popo yang akhir-akhir ini sering berputar-putar di otak gue. Seandainya
memang semua itu tidak terjadi...
Setiap
orang pasti punya mimpi, kan? Nyokap gue percaya kalau gue punya mimpi, karena
hobi gue memang tidur. Namun bukan itu maksud gue. Mimpi yang gue bangun sejak
dulu, bagaimana jika harus terhenti begitu saja karena ulah tangan-tangan
jahil?
Ya.
Gue mutusin buat kuliah di politeknik ketimbang di universitas.Alasannya simple; karena gue ketolak di
universitasnya. Jarak rumah gue deket, jadi daripada harus ke luar kota atau
susah-susah melancong ke luar negeri seandainya waktu itu gue mutusin buat
daftar ke Oxford University, mengingat kemanjaan gue terhadap kedua orangtua
gue amatlah tinggi. Gue paling nggak betah kalau nggak pulang ke rumah.
Meskipun akhirnya, orangtua gue mutusin buat menitipkan gue di rumah nenek yang
bahkan belum gue temui sebelumnya untuk disatukan dalam kos-kosan cowok
miliknya—padahal gue cewek.
Gue
boleh bebas. Tapi ingat, nggak boleh jauh-jauh kalau main. Nggak boleh pulang
naik motor, harus naik taxi. Nggak boleh nahan lapar meskipun lagi nggak punya
duit. Alhasil, waktu itu dompet lagi kosong melompong, gue mutusin buat ngambil
sebagian nasi yang sudah dimasak sama nenek gue sendiri. Untungnya lagi, waktu
di kos sedang diadain hajatan buat lahiran anak kedua dari istri-anaknya-nenek
gue. Gue disuruh makan sepuasnya, cuy!
Tapi gengsi gue maksa buat bilang, udah,
Nek, segini aja udah cukup.
Rasain
sendiri, deh, waktu tidur cacing-cacing di perut sedang ngadain konser
besar-besaran.
Tapi
bukan itu permasalahan yang gue maksud. Dalam ruang petak seluas 3x5 meter, gue
habisin sebagian waktu buat nulis di atas laptop baru pemberian bokap. Bokap
minta gue buat jagain, saking patuhnya sampai gue lap terus monitor dan casing-nya sampai bisa dibuat ngaca.
Orang mau sentuh sedikit saja, gue suruh cuci tangan dulu pakai pembersih
lantai anti kuman—nggak, gue bercanda, santai aja.
Dalam
waktu lama, gue berhasil selesaikan satu naskah yang siap gue kirim ke penerbit
besar—itulah impian gue; pengin novel gue menjadi satu bagian dari sekian
banyak lainnya di toko buku nasional.
Ketika
hari Jumat, 27 September 2013, gue pulang naik angkot. Bayangin, a-n-g-k-o-t. Tujuan
gue cuma satu, mau pinjem modem adik gue karena boros untuk ke warnet—yang
pasti karena untuk mengirim naskah tersebut. Setelah sampai di tempat
pemberhentian, gue jalan kaki menuju rumah. Di jalan, awalnya gue nggak punya
firasat apa-apa. Setelah yakin nggak bakal terjadi apa-apa, tiba-tiba aja gue
merasa ada yang narik tas gue. Tas gue, cuy!
Isinya, satu set laptop baru yang masih kinclong plus charger-nya. Handphone
kesayangan gue meski sudah butut, dompet gue meskipun isinya cuma tiga ribu
perak, tapi ada ATM dan surat-surat penting lainnya, untung gue udah bakar foto
mantan yang sebelumnya nginep di sana berbulan-bulan. Tapi yang terpenting flashdisk gue! Naskah gue!
Kurang
mewek apa coba? Gue lari, kejar tuh maling. Ada yang bantuin, sih, tapi dia kakek-kakek,
itu aja sampai dia ngos-ngosan. Yang
lain ngelihatin doang, berasa lihat sinema seru di televisi. Gue nangis, sampai
heran dilihatin mantan gebetan gue.
Nggak
apa-apa. Bokap bilang, kalau itu memang punya gue, semua pasti bakal balik.
Sampai beberapa minggu kemudian, dua reserse datang ke kos gue. Untuk pertama
kalinya gue ditelepon polisi, gila gue kaget banget. Untung salah satu
polisinya ganteng. Yana namanya. Nama panjangnya, Yanamanya cowok memesona
pasti bisa mengubah benci menjadi benar-benar cinta.
Saking
groginya, gue jelasin sama polisi itu penuh rasa gemetar. Salah siapa si Yana
ngelihatin gue sampai begitu tajamnya. Mungkin karena grogi itu, kedatangan dua
reserse berbuah kehampaan. Mereka nggak dapat bukti apa-apa, dan gue nggak bisa
dapetin laptop gue balik ke tangan gue.
Masalah
satu ini nggak bakal gue kasih embel-embel aku
ora popo, karena gue udah nemuin problem
solving-nya. Itupun karena dukungan teman-teman dan keluarga gue.
Gue
kejar lagi menulis naskahnya. Hingga semua itu kelar beberapa bulan kemudian.
Saat ini sudah gue kirim dan gue masih harus nunggu berbulan-bulan lagi buat nunggu
jawaban yang nggak pasti. Antara ditolak, atau kebanjiran royalti. Tidak, ini
gue benar-benar serius. Gue lagi butuh duit buat ganti rugi semua yang udah
bokap kasih ke gue malah akhirnya gue sia-siain.
Sampai
ketika beberapa bulan berjalan. Lo pernah rasain kangen yang menggigit itu
seperti apa? Gue juga baru rasain.
Entah
apa yang membuat pikiran gue malayang sampai ke beberapa tahun lalu, tepatnya
dua belas tahun lalu. Saat itu gue masih imut-imut, menggendong tas merah muda
bergambar Barbie, memasuki pintu kelas, dan gue temuin sahabat di sana.
Ya,
empat minggu kemudian sahabat gue ulang tahun. Setelah tujuh tahun terakhir gue
cuma bisa kasih ucapan, sekarang gue punya inisiatif bikin kado. Kadonya adalah
hasil tulisan tangan tentang masa-masa indah yang akhirnya bisa kesampaian
terbentuk buku tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya, yang kemudian gue
putuskan untuk gue sebut itu buku kedua gue—kalau emang terbit. Dia kirim pesan
singkat malam-malam sekali, waktu itu gue lagi tidur pules sambil megangin handphone—yang kakak gue pinjemin. Takut
dijambret lagi.
Kerinduan
gue yang menggigit kepada teman-teman lama gue benar-benar sedang naik dari
biasanya, sampai-sampai gue cari-cari kabar walaupun mereka nggak sedang
nyariin gue seperti gue nyariin mereka.
Gue
sempat kepikiran buat kirim ucapan selamat kepada teman gue yang udah punya
pasangan—pacar maksud gue. Kira-kira kalau gue ucapin tepat satu detik di saat
pertambahan umurnya, pacarnya marah nggak? Kalau gue nggak ucapin, temen gue
marah nggak? Dua alasan yang bikin gue bingung setengah mati. Akhirnya, gue
bela-belain buat pasang alarm dan
ucapin di saat-saat terakhir—yang artinya gue adalah orang tertidakpenting yang
mendahulukan orang-orang penting buat kasih ucapan ke dia.
Finally, gue memang nggak penting.
Buktinya, setelah satu pesan terbalas, dia lalu menghilang begitu saja. Sampai
ketika bulan ketiga di tahun 2014 itu dimulai. Gue sadar betul, ini bulan
paling apes yang gue alami.
Pertama,
gue harus kehilangan salah satu keluarga gue yang meninggal dunia di saat
perayaan besar di kampus gue. Gue sedih nggak bisa lihat sosoknya lagi, gue
juga sedih nggak bisa seru-seruan sama temen-temen. Tapi sejujurnya, sedih yang
kedua takarannya hanya sebatas seperseratus dari yang pertama.
Kedua,
gue harus dicoret dari jam pertama pelajaran matematika. Asal lo tahu aja, gue paling
suka pelajaran satu ini. Meski dalam satu peristiwa gue pernah benci sama
dosennya karena nilai gue dikurangi setelah ketahuan kasih contekan, namun di
semester baru ini, gue coba lahir kembali, mencintai mata kuliah ini kembali.
Tapi, hanya karena gue terlambat dua menit—itupun karena salah ruang—gue harus
dicoret dan mendapat kompensasi dan itu artinya, di akhir semester gue bakal
dapat hukuman yang ditentukan oleh direktur!
Ketiga,
inilah saat-saat paling mengenaskan dalam hidup gue. Satu jam lagi hari
istimewa gue bakal selesai. Mungkin hanya gue yang bilang istimewa. Bahkan
orang yang gue tunggu-tunggu, gue optimisin bakal sekadar kirim ucapan, nggak
nongol-nongol juga di layar handphone.
Nggak ada roti ulang tahun seperti satu tahun lalu. Nggak ada nyanyian selamat
ulang tahun seperti tahun lalu. Nggak ada hadiah, atau kejutan. Bahkan gue
pikir, gue ulang tahun di hari yang salah—saat dimana teman-teman gue sedang
memiliki masalah.
Mungkin
saat ini memang gue harus ngaku. Gue lemah. Gue pengecut. Gue nggak bisa
dapetin problem solving untuk masalah
ini. Kalaupun gue maksa mereka buat kasih ucapan selamat dan roti ulang tahun
seperti tahun-tahun lalu, semua bakal percuma, ulang tahun gue udah lewat, cuy!
Namun,
satu yang buat gue bisa jadiin hari itu menjadi spesial. Untuk pertama kalinya
gue dapat ucapan selamat dari bokap. Barisan kata-kata di layar handphone itu bikin gue netesin air
mata. Gue ditantang buat raih cita-cita dan terus berdoa. Gue siap. Gue bakal
lakuin semua itu bila memang itu bisa lunasin utang-utang gue selama jadi anak
kurang ajar.
Well, gue ngerti sekarang.
Permasalahannya bukan ada pada aku ora
popo, namun bagaimana gue mengimplementasikan problem solving itu sebelum tangan gue usil menuliskan status #akuorapopo di timeline twitter gue. Gue sangat bersyukur sampai saat ini gue
nggak pernah tunjukin tiga patah kata itu pada semua followers gue, karena bisa-bisa gue langung diblacklist, dianggap orang lemah yang sukanya nyampah.
Bercanda
kok.
0 comments: