Wednesday, July 16, 2014

0

Life is (Never) Flat

Posted in , , ,
@atikarahmaa


Aku ora popo[1]!
            Rasanya pengin garuk-garuk kuping. Akhir-akhir ini gue dibuat tuli dengan mendengar celotehan anak-anak yang selalu bilang tiga patah kata yang bikin gue pusing setengah mati.
            Gue nggak ngerti kapan pastinya bongkahan kata tak bertuan itu beredar bukan hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya, yang pasti, mau tak mau gue harus selalu dengar permasalahan dan polemik yang terjadi di sekitar gue sehingga mereka lebih memilih berkata aku ora popo daripada sesegera mungkin make a problem solving.
Jika gue seorang psikolog, mungkin gue akan langsung memberikan riset yang membuktikan bahwa kata aku ora popo merupakan virus kebohongan besar yang mulai merambah di hati orang-orang yang tertimpa masalah. Apalagi pernah gue lihat temen gue bikin status dengan kata-kata tersebut diiringi emoticon smile di akhir kalimat. Mungkin yang bisa gue artikan adalah saking besarnya masalah itu, sampai ia putus asa dan berpura-pura tegar di balik tiga kata dan emoticon tersebut.
            Baiklah. Gue nggak bisa berlama-lama. Gue pengin ceritain bagaimana asal-muasalnya mengapa akhirnya gue turut mempermasalahkan aku ora popo yang akhir-akhir ini sering berputar-putar di otak gue. Seandainya memang semua itu tidak terjadi...

            Setiap orang pasti punya mimpi, kan? Nyokap gue percaya kalau gue punya mimpi, karena hobi gue memang tidur. Namun bukan itu maksud gue. Mimpi yang gue bangun sejak dulu, bagaimana jika harus terhenti begitu saja karena ulah tangan-tangan jahil?
            Ya. Gue mutusin buat kuliah di politeknik ketimbang di universitas.Alasannya simple; karena gue ketolak di universitasnya. Jarak rumah gue deket, jadi daripada harus ke luar kota atau susah-susah melancong ke luar negeri seandainya waktu itu gue mutusin buat daftar ke Oxford University, mengingat kemanjaan gue terhadap kedua orangtua gue amatlah tinggi. Gue paling nggak betah kalau nggak pulang ke rumah. Meskipun akhirnya, orangtua gue mutusin buat menitipkan gue di rumah nenek yang bahkan belum gue temui sebelumnya untuk disatukan dalam kos-kosan cowok miliknya—padahal gue cewek.
            Gue boleh bebas. Tapi ingat, nggak boleh jauh-jauh kalau main. Nggak boleh pulang naik motor, harus naik taxi. Nggak boleh nahan lapar meskipun lagi nggak punya duit. Alhasil, waktu itu dompet lagi kosong melompong, gue mutusin buat ngambil sebagian nasi yang sudah dimasak sama nenek gue sendiri. Untungnya lagi, waktu di kos sedang diadain hajatan buat lahiran anak kedua dari istri-anaknya-nenek gue. Gue disuruh makan sepuasnya, cuy! Tapi gengsi gue maksa buat bilang, udah, Nek, segini aja udah cukup.
            Rasain sendiri, deh, waktu tidur cacing-cacing di perut sedang ngadain konser besar-besaran.
            Tapi bukan itu permasalahan yang gue maksud. Dalam ruang petak seluas 3x5 meter, gue habisin sebagian waktu buat nulis di atas laptop baru pemberian bokap. Bokap minta gue buat jagain, saking patuhnya sampai gue lap terus monitor dan casing-nya sampai bisa dibuat ngaca. Orang mau sentuh sedikit saja, gue suruh cuci tangan dulu pakai pembersih lantai anti kuman—nggak, gue bercanda, santai aja.
            Dalam waktu lama, gue berhasil selesaikan satu naskah yang siap gue kirim ke penerbit besar—itulah impian gue; pengin novel gue menjadi satu bagian dari sekian banyak lainnya di toko buku nasional.
            Ketika hari Jumat, 27 September 2013, gue pulang naik angkot. Bayangin, a-n-g-k-o-t. Tujuan gue cuma satu, mau pinjem modem adik gue karena boros untuk ke warnet—yang pasti karena untuk mengirim naskah tersebut. Setelah sampai di tempat pemberhentian, gue jalan kaki menuju rumah. Di jalan, awalnya gue nggak punya firasat apa-apa. Setelah yakin nggak bakal terjadi apa-apa, tiba-tiba aja gue merasa ada yang narik tas gue. Tas gue, cuy! Isinya, satu set laptop baru yang masih kinclong plus charger-nya. Handphone kesayangan gue meski sudah butut, dompet gue meskipun isinya cuma tiga ribu perak, tapi ada ATM dan surat-surat penting lainnya, untung gue udah bakar foto mantan yang sebelumnya nginep di sana berbulan-bulan. Tapi yang terpenting flashdisk gue! Naskah gue!
            Kurang mewek apa coba? Gue lari, kejar tuh maling. Ada yang bantuin, sih, tapi dia kakek-kakek, itu aja sampai dia ngos-ngosan. Yang lain ngelihatin doang, berasa lihat sinema seru di televisi. Gue nangis, sampai heran dilihatin mantan gebetan gue.
            Nggak apa-apa. Bokap bilang, kalau itu memang punya gue, semua pasti bakal balik. Sampai beberapa minggu kemudian, dua reserse datang ke kos gue. Untuk pertama kalinya gue ditelepon polisi, gila gue kaget banget. Untung salah satu polisinya ganteng. Yana namanya. Nama panjangnya, Yanamanya cowok memesona pasti bisa mengubah benci menjadi benar-benar cinta.
            Saking groginya, gue jelasin sama polisi itu penuh rasa gemetar. Salah siapa si Yana ngelihatin gue sampai begitu tajamnya. Mungkin karena grogi itu, kedatangan dua reserse berbuah kehampaan. Mereka nggak dapat bukti apa-apa, dan gue nggak bisa dapetin laptop gue balik ke tangan gue.
            Masalah satu ini nggak bakal gue kasih embel-embel aku ora popo, karena gue udah nemuin problem solving-nya. Itupun karena dukungan teman-teman dan keluarga gue.
            Gue kejar lagi menulis naskahnya. Hingga semua itu kelar beberapa bulan kemudian. Saat ini sudah gue kirim dan gue masih harus nunggu berbulan-bulan lagi buat nunggu jawaban yang nggak pasti. Antara ditolak, atau kebanjiran royalti. Tidak, ini gue benar-benar serius. Gue lagi butuh duit buat ganti rugi semua yang udah bokap kasih ke gue malah akhirnya gue sia-siain.
            Sampai ketika beberapa bulan berjalan. Lo pernah rasain kangen yang menggigit itu seperti apa? Gue juga baru rasain.
            Entah apa yang membuat pikiran gue malayang sampai ke beberapa tahun lalu, tepatnya dua belas tahun lalu. Saat itu gue masih imut-imut, menggendong tas merah muda bergambar Barbie, memasuki pintu kelas, dan gue temuin sahabat di sana.
            Ya, empat minggu kemudian sahabat gue ulang tahun. Setelah tujuh tahun terakhir gue cuma bisa kasih ucapan, sekarang gue punya inisiatif bikin kado. Kadonya adalah hasil tulisan tangan tentang masa-masa indah yang akhirnya bisa kesampaian terbentuk buku tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya, yang kemudian gue putuskan untuk gue sebut itu buku kedua gue—kalau emang terbit. Dia kirim pesan singkat malam-malam sekali, waktu itu gue lagi tidur pules sambil megangin handphone—yang kakak gue pinjemin. Takut dijambret lagi.
            Kerinduan gue yang menggigit kepada teman-teman lama gue benar-benar sedang naik dari biasanya, sampai-sampai gue cari-cari kabar walaupun mereka nggak sedang nyariin gue seperti gue nyariin mereka.
            Gue sempat kepikiran buat kirim ucapan selamat kepada teman gue yang udah punya pasangan—pacar maksud gue. Kira-kira kalau gue ucapin tepat satu detik di saat pertambahan umurnya, pacarnya marah nggak? Kalau gue nggak ucapin, temen gue marah nggak? Dua alasan yang bikin gue bingung setengah mati. Akhirnya, gue bela-belain buat pasang alarm dan ucapin di saat-saat terakhir—yang artinya gue adalah orang tertidakpenting yang mendahulukan orang-orang penting buat kasih ucapan ke dia.
            Finally, gue memang nggak penting. Buktinya, setelah satu pesan terbalas, dia lalu menghilang begitu saja. Sampai ketika bulan ketiga di tahun 2014 itu dimulai. Gue sadar betul, ini bulan paling apes yang gue alami.
            Pertama, gue harus kehilangan salah satu keluarga gue yang meninggal dunia di saat perayaan besar di kampus gue. Gue sedih nggak bisa lihat sosoknya lagi, gue juga sedih nggak bisa seru-seruan sama temen-temen. Tapi sejujurnya, sedih yang kedua takarannya hanya sebatas seperseratus dari yang pertama.
            Kedua, gue harus dicoret dari jam pertama pelajaran matematika. Asal lo tahu aja, gue paling suka pelajaran satu ini. Meski dalam satu peristiwa gue pernah benci sama dosennya karena nilai gue dikurangi setelah ketahuan kasih contekan, namun di semester baru ini, gue coba lahir kembali, mencintai mata kuliah ini kembali. Tapi, hanya karena gue terlambat dua menit—itupun karena salah ruang—gue harus dicoret dan mendapat kompensasi dan itu artinya, di akhir semester gue bakal dapat hukuman yang ditentukan oleh direktur!
            Ketiga, inilah saat-saat paling mengenaskan dalam hidup gue. Satu jam lagi hari istimewa gue bakal selesai. Mungkin hanya gue yang bilang istimewa. Bahkan orang yang gue tunggu-tunggu, gue optimisin bakal sekadar kirim ucapan, nggak nongol-nongol juga di layar handphone. Nggak ada roti ulang tahun seperti satu tahun lalu. Nggak ada nyanyian selamat ulang tahun seperti tahun lalu. Nggak ada hadiah, atau kejutan. Bahkan gue pikir, gue ulang tahun di hari yang salah—saat dimana teman-teman gue sedang memiliki masalah.
            Mungkin saat ini memang gue harus ngaku. Gue lemah. Gue pengecut. Gue nggak bisa dapetin problem solving untuk masalah ini. Kalaupun gue maksa mereka buat kasih ucapan selamat dan roti ulang tahun seperti tahun-tahun lalu, semua bakal percuma, ulang tahun gue udah lewat, cuy!
            Namun, satu yang buat gue bisa jadiin hari itu menjadi spesial. Untuk pertama kalinya gue dapat ucapan selamat dari bokap. Barisan kata-kata di layar handphone itu bikin gue netesin air mata. Gue ditantang buat raih cita-cita dan terus berdoa. Gue siap. Gue bakal lakuin semua itu bila memang itu bisa lunasin utang-utang gue selama jadi anak kurang ajar.
            Well, gue ngerti sekarang. Permasalahannya bukan ada pada aku ora popo, namun bagaimana gue mengimplementasikan problem solving itu sebelum tangan gue usil menuliskan status #akuorapopo di timeline twitter gue. Gue sangat bersyukur sampai saat ini gue nggak pernah tunjukin tiga patah kata itu pada semua followers gue, karena bisa-bisa gue langung diblacklist, dianggap orang lemah yang sukanya nyampah.
...
            Bercanda kok.




[1] Aku tidak apa-apa.

0 comments: