Let the Apples Show You
Posted in @atikarahmaa, #JCDD2, apel emas, apel malang, festival rujak uleg, karya Atika Rahma F, kisah masa lalu, klub cerita dwita, pentas tradisional putri salju, perang troya, plotpoint, sejarah surabaya, teaterKompetisi menulis #JCDD2 |
Let the Apples Show You
By Atika Rahma F.
Terkadang, buah apel tak selalu
melambangkan kecantikan seperti paras dewi-dewi dalam mitos yang sering kutemui.
Aku yakin, kini apel-apel itu sedang gundah karena menunggu seseorang untuk
memetiknya. Meraba-raba jawaban, akankah penantiannya berujung baik atau harapannya akan luruh dan hatinya menangis sedih karena tak ada yang peduli.
Aku
tersenyum penuh keraguan. Semilir angin menyentuh bahuku lembut. Menerbangkan
bendera plastik yang tersemat indah di sepanjang rangka becak milik seorang
paruh baya. Menghadirkan gemerisik yang merdu, menggelitik telingaku.
“Kembang Jepun, ya,
Pak?”
Paruh baya itu sedikit membungkuk
ketika aku menoleh padanya, sehingga ia dapat dengan jelas memandangi raut
wajah yang berusaha mengajaknya bicara. Ia tersenyum, menunjukkan barisan
giginya yang tak lagi utuh. Dan menjawab dengan lantang, penuh semangat
berapi-api, tak tanggung-tanggung kelima jarinya ia letakkan tegak sejajar kening, “Siap, Mbak'e!”
Sudut bibirku terangkat
lagi. Dari dalam becak, kupandangi hiruk-pikuk manusia dengan guratan bahagia
yang terlukis dari garis wajah masing-masing. Beberapa motif kapal pada batik
yang bersembunyi di balik juntaian lembut kebaya putih tulang pada wanita itu,
mengingatkanku pada seseorang yang pernah bercerita tentang peperangan Raden
Wijaya melawan tentara Tar-Tar di sungai Kali Mas yang bermuara di Ujung Galuh,
yang merupakan cikal bakal berdirinya kota ini.
Sosok
itu, membuatku kembali menyelami lautan pedih yang bisa saja menghanyutkan, tanpa pernah ada alasan untuk memperbaiki segala yang terlanjur
porak-poranda. Aku menunduk. Berusaha agar tak terbuai dalam kenangan pahit
itu. Mencoba untuk kembali menyadari, bahwa aku tak memiliki peran apapun saat
ini di sini.
Dengan halus, jemariku
meraba isi dalam tasku. Kemudian mengangkatnya dengan penuh hati-hati. Lihatlah
benda ini, kecantikannya bahkan nyaris tak terlihat. Tak meyakinkanku bahwa ini
adalah simbol kecantikan para dewi. Setiap sisinya telah berkerut. Kubiarkan ia
termakan oleh sang waktu. Namun bukankah kenyataannya demikian? Kecantikan akan
pudar seiring berjalannya waktu. Seperti kisahku, yang mungkin akan lenyap ditelan
zaman. Namun bagaimana jika yang perlahan hilang justru semakin tak ingin
untuk kutinggalkan?
Jemariku
memutar permukaan apel yang tak bertekstur itu hingga seluruh sisinya
tertangkap jelas oleh mata. Seketika aku terhenti pada satu titik. Senyumku
mengembang lagi. Inilah yang membuatku bertahan untuk tak membenci pertemuan
kami.
Kota Pahlawan, 14 Februari 2014
“Nes, kamu bawa script-nya, kan? Aku udah ingetin kamu
lho sebelum berangkat ke sini tadi pagi. Karena kalau nggak, kamu tahu sendiri
‘kan, Mas Nungky bakal—”
Kubungkam
mulutnya dengan potongan apel sehingga dengan sekejap ia berhenti meracau
sendiri. Ariska selalu menjadi korban kejahilanku, karena dia satu-satunya
teman yang selalu panik dalam segala hal sekecil apa pun itu. Aku tertawa, ketika ia
menunjukkan air muka yang penuh kekesalan.
“Iya,
aku tahu. Kamu nggak usah panik gitu lah. Tahu sendiri ‘kan kalau Anesya ini
orang yang bisa diandalkan?” celetukku.
Ia
menarik potongan apel itu dari mulutnya, kemudian merengut. Lambat laun ia
memakannya juga. Namun tiba-tiba,
“Nes!” seringainya, begitu menyeramkan. “Ini apel buat pertunjukan ntar malem, kan? Kok
kamu abisin, sih!”
“Santai
kali, Ris. Kita masih bawa banyak. Sekarung tuh kalau kamu mau lihat!” bentakku
sembari menohok ke arah karung berisikan apel-apel di bagasi mobil ini.
Apel-apel Malang itu menyiratkan warna kehijauan dengan semburat merah merona, kupetik langsung di perkebunan apel tak jauh dari kawasan rumahku. Beberapa di antaranya, warna merah cerah pada apel Fuji membuat mata menyala, ini yang kujadikan sebagai piranti pentas nanti malam. Aku sengaja membawanya banyak, karena pasti lidahku akan terasa gatal
bila tak memakan satu buah apel pun selama perjalanan menuju Surabaya.
Kepergian
kami ke Kota Pahlawan ini tak lain karena kami ingin menunjukkan eksistensi di
bidang teater dalam festival teater tahunan yang diadakan oleh salah satu
perguruan tinggi di Surabaya dan melibatkan banyak grup teater di perguruan
tinggi lain se-Indonesia. Ini untuk yang pertama kalinya, Teater Sadewa akan
unjuk kebolehan.
“Lagian,
pertunjukan kita cuma butuh beberapa apel aja, kan?” cetusku, dilanjut menghela
napas panjang. Ia mengangguk menyesali perkataannya. Beberapa saat antara kami
hening, namun aku terus menyibukkan diri dengan mengupas apel-apel itu.
Ariska
menyentuh bahuku pelan. Aku hanya menanggapinya dengan dehaman.
“Kamu
tahu alasan mengapa harus buah apel yang menjadi obyek cerita itu?”
Aku
mengangkat kedua alisku, “Karena buah apel melambangkan kecantikan. Akan kuceritakan mitos Yunani kuno tentang pernikahan Peleus dan Thetis. Saat itu, tiga dewi
memperebutkan apel emas yang terukirkan kalimat ‘untuk yang tercantik’ dari
sang mempelai. Tiga dewi itu –Aphrodite, Hera, dan Athena— berebut pengakuan sebagai dewi tercantik meski harus dengan menghalalkan segala cara.
Kekacauan itu kemudian memicu terjadinya perang Troya.” Jelasku
panjang lebar.
Ariska
mengangguk paham. “Kamu suka apel, ya? Kamu udah habis empat buah.”
Mendengar
kalimatnya, aku mengangguk begitu mantap. Tanpa memberi alasan lebih jauh
mengapa aku menyukai apel ini.
“Karena
kamu terobsesi dengan kisah tiga dewi itu?” Ia terpingkal-pingkal. Aku memicingkan mata ke arahnya. Tanpa ia mempertanyakan alasannya, ia sudah terlebih dulu
menuduhku dengan hal seperti itu.
Aku tersenyum kecut, “Karena apel pernah menjadi saksi bisu suatu peristiwa.”
Ariska
mengernyitkan dahi, “Peristiwa? Ini pasti tentang laki-laki itu. Mulai deh,
pasti secret admirer syndrom-nya
mulai kambuh lagi. Pensiun kenapa, sih!”
“Setelah sekian waktu berlalu, aku baru menyadarinya sekarang. Bersamanya, itu yang selalu kuharapkan. Jika takdir kembali mempertemukan, aku akan sangat bahagia, Ris, meskipun rasanya sudah sangat terlambat. Kalau benar aku dipertemukan lagi, lalu aku mengatakan semua rahasia itu kepadanya, menurutmu apa dia akan menganggap semua ini hanya guyonan? Cinta ini apa salah?”
Iya, tentang laki-laki
itu. Sosok yang memenuhi setiap foto dalam album kenanganku. Aku tidak akan
mampu melupakan apa yang pernah membuatku lupa dengan rasa takutku, dengan sang pemberi kisah semanis apel Fuji. Mungkin
kini jarak sedang menguji kesabaran kami.
Ariska
tak langsung menjawab dan lebih memilih untuk mencerna begitu dalam perkataanku.
Mungkin ia agak kecewa juga karena aku telah mengabaikan perintahnya
mentah-mentah. Namun, sekian detik kemudian ia tersenyum. Memandangku dengan
bening matanya yang meneduhkan. “Aku nggak bisa menyalahkan apa yang menjadi
keputusanmu, Nes. Namun satu hal yang aku tahu tentang cinta,” ia menjeda sejenak,
“segalanya akan bekerja baik, bila kamu tahu cara memegang kendalinya.”
☻
“Teman-teman, untuk sementara, kita
semua bakal menginap di sini. Hanya dua hari satu malam, setelah pentas kita
siap-siap untuk kembali ke Malang. Nah, sekarang tempatkan diri kalian untuk
istirahat sejenak, setelah itu kita latihan lagi nanti sore. Yang cowok nanti
ikut aku, yang cewek ikut Anesya, oke?”
Seluruh
anggota grup Teater Sadewa mengangguk paham oleh penjelasan Alfredo. Sesaat
tubuh kami saling bergerak menuju tempat masing-masing. Aku sebagai penunjuk
arah sudah mulai terantuk-antuk. Namun cengkeraman Alfredo yang melekat erat
pada lenganku membuatku terenyak.
“Kalau
udah selesai penempatannya, aku tunggu di depan ruangan kamu,” bisiknya.
“Mau
apa, sih?”
Ia
terdiam sesaat, “Kita harus melihat suasana panggung sebelum pentas.”
“Harus,
ya?” ucapku tak bergairah.
“Anesya,
tolong. Ini demi kemenangan kita.” Matanya sungguh berbicara, seolah memohon
agar aku mau menuruti permintaannya. Mengingat begitu banyak mata yang
memperhatikanku, aku segera menepis cengkeramannya dan beranjak meninggalkannya
tanpa berucap sepatah kata lagi.
☻
“Jadi, aku minta selama kamu
berperan sama aku, kamu yang total ya, Nes?” pintanya.
Aku
menghela napas panjang, “Al, bukan cuma saat segmen kita aja ya aku bersikap
totalnya. Dari awal sampai akhir aku memang harus total. Aku ini pemeran utama,
Al, kamu inget itu.”
“Bu-bukan
gitu maksud aku, Nes. Maksudku, kamu tahu ‘kan adegan apa aja yang bakal kamu
mainkan saat aku—pangeran itu— datang
lalu meminta menikahi putri?” sergahnya mencoba menjelaskan sesuatu yang
abstrak bagiku.
“Menciumku
maksudmu? Itu ‘kan cuma adegan. Lagian ini juga nggak beneran, kelabuhi
penonton apa susahnya? Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, kalau hanya itu aku
mudah melewatinya.”
Alfredo
tak lagi berkutik. Ia mengalihkan pandangannya ke depan. Kutahu, ia lebih
memilih menyudahi percakapan panas kami daripada harus memancing emosiku
keluar. Sesaat di dalam mobil hanya diselimuti oleh kebisuan mendalam, sampai
pada saat kami telah dihadapkan pada sebuah gedung besar yang menjulang tinggi.
Beberapa mahasiswa terlihat memenuhi pintu masuk graha. Alfredo terburu-buru mendekati
sekumpulan orang-orang itu. Punggungnya yang telah sampai terlebih dulu
membuatku cepat-cepat menyusulnya.
“Iya,
jadi untuk acara puncaknya akan diadakan mulai jam delapan malam, dan jadwal
Teater Sadewa sendiri jam.... Tunggu sebentar,” ucap lelaki yang menjadi lawan
bicara Alfredo. Aku tak sempat melihat wajahnya karena tubuh itu terlebih dulu
menunduk untuk melihat kertas berisikan jadwal pentas masing-masing grup.
Aku
mencoba menelisik tubuh jangkung itu. Dari beberapa badge yang terpasang di bagian lengan jas almamaternya, kuyakin
pria itu adalah aktivis kampus, dan kuyakin ia pasti tak punya banyak waktu
untuk menyempatkan mandi karena separuh hidupnya ia habiskan untuk mengurusi
organisasi. Aku terkekeh dalam hati. Namun sepersekian detik setelah
pandanganku menjalari bagian lain dari jas laki-laki itu, aku dibuatnya tersentak tak percaya.
“Jam
sepul—”
“Royyan?”
sergahku memotong perkataannya. Mengeja namanya begitu fasih.
Dua
lelaki itu memandangiku secara bergantian. Terutama lelaki itu. Pandangannya
begitu tajam menelisik lekuk wajahku yang sedang berusaha meyakinkannya. Apa
mungkin ia sudah tak mengenaliku karena sekian lama waktu telah mencipta jarak
di antara kami?
“Anesya.
Teman SD kamu. Kita sering bermain tantangan spontan dan aku yang sering
kalah, dan kamu sering memaksaku memakan satu kilo buah andalanmu dalam tiga
hari padahal kamu sendiri tahu, aku phobia
dengan buah itu karena pertama kali memakannya aku menemukan ada belatung di
dalamnya. Dan sekalinya aku menang, aku memaksamu membelikanku apel emas, sampai kamu meminta ayahmu untuk import. Lucu sekali, ketika kukatakan semua hanya ada di negeri dongeng. Kamu masih ingat?” ucapku menggebu-gebu. Rasanya lega ketika semua terucap jelas.
Sangat
lama jika harus menunggunya mengatakan ‘iya’. Apalagi dengan wajahnya yang
seakan mendapati keledai lepas sedang bermain sirkus di hadapannya, membuatku ragu segala
yang kuinginkan benar-benar terjadi saat ini. Senyumku memudar, ketakutanku
merasuk hingga mengalir bersama aliran darah dalam vena. Aku takut jika
kenyataan ini ternyata hanya mimpi indah yang tak bisa kuselami. Aku takut.
“Aku
tidak pernah lupa, Anesya.”
☻
Aku tidak pernah membayangkan
pertemuan ini kembali terjadi. Setelah sekian lama aku hanya bisa memimpikannya
tanpa pernah tahu ke mana harapan itu akan berujung. Aku merindukannya. Aku
merindukan apa yang menjadi kebiasaan kita dahulu. Mungkin benar jika apa yang
pernah disatukan akhirnya terpisahkan selama bertahun-tahun tak bisa untuk tak
saling merindukan. Dia pun merindukanku, itu yang ia bilang sejak pertemuan
kedua kami kala itu.
“Ssst,
Anesya!”
Aku
menoleh, mencari-cari sumber suara. Di antara lalu-lalang manusia pada seantero
graha ini, aku menemukannya di balik pintu keluar arena. Ia dengan senyum
manisnya, membawaku berlari ke arahnya.
Aku
sedikit kesusahan berlari dengan mengenakan dress
batik yang menjuntai lembut menyentuh sepatu selopku. Namun senyum itu kembali
mengundang rasa semangat yang telah lama patah. Lelaki itu menggamit jemariku
lembut, seperti apa yang menjadi retorika
kami dahulu. Dan seperti biasanya, membiarkan tawa melingkupi keberadaan
kami berdua. Meskipun kurasakan ada setitik perbedaan. Aku tak bisa
menjelaskannya sekarang.
☻
“Tempat ini bagus. Jujur, ini
pertama kalinya aku datang ke sini.” Aku terperangah memandang lampu-lampu yang
memendar begitu indah di sepanjang jembatan Suramadu ini.
Debur
ombak Selat Madura mengirama, seakan lagu cinta yang membawa ketenangan bagi
siapa saja yang mendengarnya. Cahaya bulan purnama membelah hamparan air tenang
hingga membentuk garis lurus yang tegas, merefleksikan pancarannya pada
manik-manik mata yang tak kalah menarik dengan lampu ratusan watt itu. Aku tak ingat, kapan terakhir
kali aku menikmati malam tanpa ada kebisingan seperti malam ini. Aku tak ingat
bagaimana rasanya memandangi taburan bintang tanpa ada satupun yang
menghalangi.
Royyan
tertawa renyah, begitu manisnya. Dalam bulat bola matanya, kusaksikan kemerlap
cahaya keemasan yang terpantul dari kilauan cahaya di atas selat itu. Seakan
menarik perhatianku, membuatku ingin memandangnya lebih dalam. Aku memang tak
ingat kapan terakhir kali kebahagiaan berpihak kepadaku, yang terpenting saat
ini adalah: aku ada di sini bersamanya.
Berdua saja.
“Jadi
kamu jauh-jauh dari Malang cuma ingin berpartisipasi di festival teater tahunan ini?”
tanyanya, menyentak lamunanku. Seketika aku mengalihkan perhatian pada hamparan
air yang sedikit bergoyang ketika diterpa semilir angin malam.
Aku
tersenyum, “Bukan hanya itu. Aku jauh-jauh datang ke sini ingin
bawa nama baik Teater Sadewa. Kami ingin menang.”
“Untuk
itu, kamu harus berjuang mati-matian.”
Aku
kembali menatap matanya, “Jangan mati-matian, aku belum siap.”
Royyan
tertawa kencang. Entah mengapa rasanya aku ingin menghentikan waktu dalam sekejap, sehingga aku dapat bersama dengannya lebih lama. Rasa canggung terasa
menggebu-gebu di ulu hati. Aku takut menyentuhnya, takut berlabuh di bahunya.
Apakah waktu telah membawa kami masuk ke dalam dunia yang bukan lagi penuh fantasi layaknya kebahagiaan seorang
gadis kecil yang mengetahui dalam loker meja kelasnya terdapat satu kantung
apel merah? Atau kedewasaan membuat kami tidak bisa leluasa saling
menatap satu sama lain?
“Kamu
nggak banyak berubah, ya. Masih seperti yang dulu, suka bikin aku ketawa.”
Aku
hanya tersenyum. Dan kau juga tak
berubah, selalu membuatku nyaman jika berada di dekatmu.
“Ngomong-ngomong,
pentas nanti, grupmu akan memerankan apa?” tanyanya kemudian.
“Aku
nggak mau kasih tahu sekarang. Aku mau kamu melihatnya dari awal. Intinya, sih,
aku menggabungkan budaya luar dengan tradisional, karena aku ingin anak-anak
muda yang notabene diwanti-wanti menjadi penerus bangsa yang sudah terlanjur
terjerat dalam budaya asing itu, tidak melupakan apa yang sebenarnya menjadi kekuatan
negaranya sendiri.”
“Jadi
ini rahasia?” sinisnya. “Oke, kalau kamu
nggak mau kasih tahu rahasia itu, aku tawarkan satu tantangan.”
Aku
terbelalak kaget, “Tantangan?”
Royyan tersenyum kecut. Sesaat ia menghirup aroma laut yang menguar
sebelum angkat bicara. “Tanggal 31 Mei 1293, Kubilai Khan mengutus kerajaan Mongol untuk datang
menyerang pasukan Raden Wijaya. Kerajaan Mongol dianalogikan sebagai ikan hiu
yang datang dari laut, atau sering disebut Sura, sedangkan pasukan Raden Wijaya
dianalogikan sebagai bahaya atau Baya. Makanya, saat Raden Wijaya menang dalam peperangan itu, 31 Mei
dipercayai menjadi hari jadi Kota Surabaya.”
Aku
semakin terbelalak lebar, “Tantangannya sebelah mana?”
Royyan
memaku pandangan tepat ke dalam mataku. “Jika kamu menang dalam kompetisi teater
itu, kamu boleh meminta apa pun yang kamu mau dariku. Tetapi kalau kamu kalah, tepat 721 tahun setelah
kemenangan Raden Wijaya, aku ingin kamu menemuiku di Festival Rujak Uleg di
Kembang Jepun.”
“Mei
depan? Kembang Jepun? Tapi, Roy, aku—”
“Aku
akan membelikanmu satu karung apel, dan aku nggak ingin di antara kita ada yang
jadi pecundang. Aku akan mengawasimu dari tribun paling depan.” Tandasnya tanpa
pernah memberiku kesempatan bicara.
Tantangan
pertama pada pertemuan kedua kami. Aku tersenyum tegas. “OK, deal!”
Tawa kami mengembang di
antara deburan ombak yang tak berhenti bersenandung merdu. Ada satu hal yang
menyita perhatianku di ujung sana. Monumen Jalesveva Jayamahe. Royyan mulai bercerita tentang Perwira TNI Angkatan Laut. “Sejak era Sriwijaya sampai Majapahit, Indonesia terkenal sebagai negeri yang kuat secara maritim.”
Dalam setiap penggal
kalimatnya kuperhatikan dengan saksama. Aku menyukai cara berbicaranya yang
lugas dan tegas, dan mengalir seiring kebersamaan ini. Membuatku lupa bahwa detik masih terus
berjalan, dan sesaat lagi aku akan berperan utama demi membuktikan kemampuanku
kepada Royyan. Agar aku bisa meminta apapun yang kumau darinya.
Ah, Royyan, bila suatu
waktu kuungkap rahasia itu, akankah kamu bisa menerima? Bukan rahasia tentang
apa peranku di atas panggung nanti, namun tentang hati yang telah lama terkunci
ini. Bagaimana jika kunci itu kuberikan kepadamu, sehingga hanya kamu yang mampu
membukanya. Tanpa ada sosok lain, selain dirimu. Dan kamu akan tetap tinggal di
sana selama apapun itu.
Karena hanya itu
satu-satunya yang kuinginkan darimu.
“Royyan, bagaimana
dengan hidupmu yang sekarang?”
☻
Aku terduduk di balik tormentor panggung, menyaksikan Ariska berdiri
begitu anggun dengan busana batik Malang di atas apron—membacakan narasi pada
segmen selanjutnya. Inilah yang kumaksud menggabungkan budaya luar dengan
tradisional. Berbagai macam artistik batik tersebar di atas panggung. Dan irama
musik tradisional yang mengisi setiap segmen pergantian pemeran, begitu
meneduhkan hati penonton.
Sudut
mataku tak pernah enyah memandangi Royyan yang menanti-nanti kehadiran Putri
Salju di atas panggung, terlihat dari pergerakan hitam indah matanya.
Seharusnya
aku tak menanyakan bagaimana kehidupannya sekarang. Aku tak pernah tahu
jawabannya akan menyakitkanku. Melihat kebersamaannya, yang bukan denganku,
meyakinkanku bahwa selamanya aku tak akan pernah bisa mendapati balasan atas
perasaanku. Jatuh cinta sendirian. Memendam rasa sendirian.
“Anesya!
Apa yang kamu lakukan! Ini giliranmu!” gertak Mas Nungky dari balik tiser, mengejutkanku. Aku tersentak,
segera menempatkan diri di balik properti rerumahan milik tujuh kurcaci.
Sembari menunggu Mbak Liana sebagai Penyihir, yang menyamar menjadi wanita tua,
datang membawa satu keranjang apel.
“Tidak,
aku tidak akan menerima apapun dari orang asing!” gertak Putri Salju ketika mendapati wanita
tua itu menawarinya satu buah apel.
“Apakah
kau takut racun?” tanya wanita tua. “Dengar, aku akan memotong apel menjadi dua. Kau makan
setengah dan aku akan makan setengah yang lain.”
Kuulurkan
jemariku mencoba meraih satu apel merah dalam keranjang itu. Mataku memaku satu arah. Menyaksikan sesuatu berbeda dalam keranjang apel itu. Apel yang tak berwarna merah. Segera kuraih dan aku memutarnya perlahan. Barisan kalimat
membuatku menarik sudut bibirku ke atas.
Golden Delicious from West Virginia. Try to act like it's not a fairytale. I’m waiting for your promise.
Aku tersenyum. Dengan
cepat wajahku melesat mencari satu sosok yang membuatku menggurat senyum
kembali. Satu sosok itu, ah, aku dibuatnya terpuruk lagi. Kulihat wanita itu memberikan
sebentuk kado yang manis kepada Royyan, tertawa di antara ratusan orang yang
menyaksikan aksiku di atas panggung. Kurasakan seperti valentine milik mereka
berdua. Aku tahu, wanita itu kemudian mencium pipinya lembut. Aku tahu; ini begitu menyakitkan. Namun Royyan memberiku arti tatapan lain. Sayang, mungkin aku tak lagi akan menatapnya.
“Nes!
Kamu kenapa diam aja? Ayo ambil apelnya!” bisik Mbak Liana membentakku.
Dengan
pelan, aku kembali meletakkan apel itu ke keranjang, dan memilih untuk
meraih satu buah lainnya. Putri Salju memberikannya kepada wanita tua itu,
hingga beberapa detik kemudian, satu potong apel berhasil ia gigit. Putri Salju
tidak pernah tahu bahwa wanita tua itu meracuni apel pada bagian yang iagigit,
sehingga ia terkulai begitu lemas di atas tanah. Begitu lama, ia menunggu
seseorang untuk menyelamatkannya.
Alunan musik tradisional dan
modern terdengar merdu dari ruang orchestra.
Gesekan biola serupa suling bambu yang dipadu dengan kendang bertalu, ditimpali
rancaknya nada pentatonic gamelan di keyboard modern menyiratkan kesan
misteri namun irama piano dan gaya musik impresionis mengubahnya menjadi
suasana penuh rasa sedih dan kecewa.
Putri Salju masih memejamkan mata. Berharap seseorang
dapat membukanya.
Dan aku berharap,
hanya wajahmu yang kulihat ketika aku membuka mata, Royyan, mengapa justru
kebahagiaan kalian yang tercetak jelas di retinaku?
“Buka matamu, Anesya,” bisik
seseorang tepat di depan telingaku.
Aku membuka mata, dan kudapati wajah Alfredo tengah
memandangiku begitu dalam, bukan Royyan. “Ah, aku sedang berada di mana?”
“Kau denganku.” Pangeran menceritakan apa yang terjadi
dengan Putri Salju, kemudian ia berkata, “Aku lebih memilih kamu dibanding apa
yang ditawarkan oleh dunia. Ikutlah ke istana dan menikahlah denganku.”
Pentas diakhiri dengan tepuk tangan yang begitu keras,
dan aku menyaksikan sosok itu tersenyum kepadaku, begitu antusias memberiku
tepukan sebagai penghargaan untukku. Namun aku terlanjur tak bergairah. Aku
menuruni panggung dan berlari ke luar ruangan. Menunggu Ariska atau Alfredo
yang mungkin bisa membawaku jauh dari tempat ini.
Ketika semua telah berkumpul di tempat penginapan, kami
merayakan keberhasilan kami mementaskan drama ini meskipun ini bukanlah
kemenangan. Ya, Teater Sadewa hanya menduduki sebagai juara harapan dua
festival teater tahun ini. Mas Nungky berjalan ke arahku, ia menepuk bahuku lembut,
mengatakan hal yang tak pernah kudengar darinya, “Kamu sudah berusaha dengan
baik, Anesya. Jadikanlah semua ini kemenangan bagi kita sendiri. Terima kasih
atas kerjasamanya selama ini.”
Di balik tubuh besarnya, kuperhatikan sesosok telah
menyunggingkan senyum ke arahku. Seorang penyelamatku di atas panggung tadi.
Aku sangat tahu arti senyum itu—atas semua usahaku yang tak dinilai sia-sia
olehnya.
Aku berbalas tersenyum. Ia benar, aku sudah berusaha.
☻
Kembang Jepun, 31 Mei 2014
Mungkin benar jika tak ada cara lain
untuk bertahan mencintai dalam diam, merelakan adalah satu-satunya jalan.
Ariska benar, cinta akan berjalan dengan baik bila aku tahu bagaimana cara
memegang kendalinya. Ya, hanya dengan melepaskan. Membiarkan orang yang
kucintai memilih jalannya sendiri.
Aku
berjalan melewati ribuan orang yang bergumul menjadi satu, tumpah ruah di
sepanjang jalanan kota tua demi menyaksikan ajang rujak uleg terbesar yang
diadakan setiap tahun saban hari jadi kota Surabaya.
Festival
Rujak Uleg ini akan kujadikan moment
terpenting dalam hidupku. Menepati janji untuk menemui seseorang di sini. Sosok
itu telah berdiri di sana, bersandar di pagar Jembatan Merah. Bergumul dengan
semua harapannya bahwa aku akan hadir di depannya saat ini. Aku tertawa dalam
hati. Mendekatinya dengan penuh hati-hati.
“Apa
yang kamu tunggu?”
Ia
tersentak, sedikit terbelalak. “Kamu datang?”
Aku
meraih sesuatu di dalam tasku, kemudian mengulurkan ke arahnya. Royyan
mengernyitkan dahinya ketika ia tahu apa yang kuberikan padanya. Mungkin ia
bertanya-tanya apa maksudku. Melihat senyumku, ia tahu apa yang
harus ia lakukan. Mengamati benda itu begitu teliti. Hingga beberapa saat
senyumnya mengembang.
No, everything just like a fairytale, as simple as we meet again. So, here I am, for you, Friend.
Aku
menuliskan jawaban atas kalimatnya yang terukir begitu manis pada apel emas itu. Royyan sudah tahu jika hari itu aku akan datang, karena ia yang mencatat data-data mahasiswa yang menjadi peserta pentas di festival yang iatangani. Dan apel emas itu sengaja ia persiapkan sebagai bukti ia dapat menuntaskan tantangan masa lalu. Malam itu kuputuskan untuk tak lagi bertemu dengan Royyan, karena kuyakin bila
tanpa berucap pisah, suatu hari pertemuan itu akan terjadi lagi. Tak perlu cemas dengan cinta yang tanpa ucap, karena sesuatu yang tak pernah bermulai ini, tak perlu kukhawatirkan akan berakhir pula.
“Aku
udah menepati janjiku, berarti tantanganku berhasil. Sekarang giliranku.”
Royyan
memandangiku dengan tatapan ragu. Mungkin ia takut aku akan mengatakan hal yang
dapat membuat jantungnya rontok seketika. Jemariku menari pada permukaan
daguku, membiarkannya berpikir lebih lama lagi.
“Jika
aku kalah, kamu boleh memperlakukanku apapun yang ingin kamu lakukan. Tetapi
jika aku menang, kamu harus memberiku satu karung apel yang kamu petik langsung
dari kebun apel di kawasan rumahku, di Malang, dan menuliskan kalimat ‘Anesya
selalu menang dan Royyan selalu kalah’ pada setiap permukaan apel.”
Ia
melongo.
“Tantangannya
adalah…” Aku mendekatkan mulutku pada telingnya. Ini rahasia, dan aku tak ingin
seseorang pun mendengar rahasia kami. Karena ini dunia kami berdua.
“Hanya
itu? OK, deal!” semburnya, begitu
mantap. Sesaat jemarinya menggamit jemariku lembut. Lagi-lagi ia membawaku
berlari dengan semua kebahagiaan ini.
Rasa
ini akan berujung pada kebersamaan tanpa saling merasa memiliki cinta satu sama
lain. Yang kami tahu, kami saling melengkapi. Itu saja. Tak ada cinta seperti
apa yang kuinginkan. Dan aku akan tetap menyimpannya untukku sendiri, selama
apapun, asal aku masih bisa merasakan bahagia berada di sampingnya.
Ah,
baiklah, kurasa aku harus membagi rahasia itu kepada kalian. Rahasia kami
berdua. Agar dunia tahu kebahagiaan seperti apa yang kurasakan bersama Royyan.
Ya, aku dan Royyan akan berlomba memakan
rujak uleg yang paling pedas dari yang terpedas di Festival Rujak Uleg tahun
ini.
☻
Salut! Bagus bgt dari alur cerita, sudut pandang, plus pendeskripsian suasana ataupun tempatnya. Sukses terus :)
ReplyDeleteThanks, you too. :)
Delete