Tuesday, July 29, 2014

2

Let the Apples Show You

Posted in , , , , , , , , , , , ,
Kompetisi menulis #JCDD2



Let the Apples Show You

By Atika Rahma F.



Terkadang, buah apel tak selalu melambangkan kecantikan seperti paras dewi-dewi dalam mitos yang sering kutemui. Aku yakin, kini apel-apel itu sedang gundah karena menunggu seseorang untuk memetiknya. Meraba-raba jawaban, akankah penantiannya berujung baik atau harapannya akan luruh dan hatinya menangis sedih karena tak ada yang peduli.
            Aku tersenyum penuh keraguan. Semilir angin menyentuh bahuku lembut. Menerbangkan bendera plastik yang tersemat indah di sepanjang rangka becak milik seorang paruh baya. Menghadirkan gemerisik yang merdu, menggelitik telingaku.
“Kembang Jepun, ya, Pak?”
Paruh baya itu sedikit membungkuk ketika aku menoleh padanya, sehingga ia dapat dengan jelas memandangi raut wajah yang berusaha mengajaknya bicara. Ia tersenyum, menunjukkan barisan giginya yang tak lagi utuh. Dan menjawab dengan lantang, penuh semangat berapi-api, tak tanggung-tanggung kelima jarinya ia letakkan tegak sejajar kening, “Siap, Mbak'e!”
Sudut bibirku terangkat lagi. Dari dalam becak, kupandangi hiruk-pikuk manusia dengan guratan bahagia yang terlukis dari garis wajah masing-masing. Beberapa motif kapal pada batik yang bersembunyi di balik juntaian lembut kebaya putih tulang pada wanita itu, mengingatkanku pada seseorang yang pernah bercerita tentang peperangan Raden Wijaya melawan tentara Tar-Tar di sungai Kali Mas yang bermuara di Ujung Galuh, yang merupakan cikal bakal berdirinya kota ini.
            Sosok itu, membuatku kembali menyelami lautan pedih yang bisa saja menghanyutkan, tanpa pernah ada alasan untuk memperbaiki segala yang terlanjur porak-poranda. Aku menunduk. Berusaha agar tak terbuai dalam kenangan pahit itu. Mencoba untuk kembali menyadari, bahwa aku tak memiliki peran apapun saat ini di sini.
Dengan halus, jemariku meraba isi dalam tasku. Kemudian mengangkatnya dengan penuh hati-hati. Lihatlah benda ini, kecantikannya bahkan nyaris tak terlihat. Tak meyakinkanku bahwa ini adalah simbol kecantikan para dewi. Setiap sisinya telah berkerut. Kubiarkan ia termakan oleh sang waktu. Namun bukankah kenyataannya demikian? Kecantikan akan pudar seiring berjalannya waktu. Seperti kisahku, yang mungkin akan lenyap ditelan zaman. Namun bagaimana jika yang perlahan hilang justru semakin tak ingin untuk kutinggalkan?
            Jemariku memutar permukaan apel yang tak bertekstur itu hingga seluruh sisinya tertangkap jelas oleh mata. Seketika aku terhenti pada satu titik. Senyumku mengembang lagi. Inilah yang membuatku bertahan untuk tak membenci pertemuan kami.


Kota Pahlawan, 14 Februari 2014

“Nes, kamu bawa script-nya, kan? Aku udah ingetin kamu lho sebelum berangkat ke sini tadi pagi. Karena kalau nggak, kamu tahu sendiri ‘kan, Mas Nungky bakal—
            Kubungkam mulutnya dengan potongan apel sehingga dengan sekejap ia berhenti meracau sendiri. Ariska selalu menjadi korban kejahilanku, karena dia satu-satunya teman yang selalu panik dalam segala hal sekecil apa pun itu. Aku tertawa, ketika ia menunjukkan air muka yang penuh kekesalan.
            “Iya, aku tahu. Kamu nggak usah panik gitu lah. Tahu sendiri ‘kan kalau Anesya ini orang yang bisa diandalkan?” celetukku.
            Ia menarik potongan apel itu dari mulutnya, kemudian merengut. Lambat laun ia memakannya juga. Namun tiba-tiba, “Nes!” seringainya, begitu menyeramkan. “Ini apel buat pertunjukan ntar malem, kan? Kok kamu abisin, sih!”
            “Santai kali, Ris. Kita masih bawa banyak. Sekarung tuh kalau kamu mau lihat!” bentakku sembari menohok ke arah karung berisikan apel-apel di bagasi mobil ini. Apel-apel Malang itu menyiratkan warna kehijauan dengan semburat merah merona, kupetik langsung di perkebunan apel tak jauh dari kawasan rumahku. Beberapa di antaranya, warna merah cerah pada apel Fuji membuat mata menyala, ini yang kujadikan sebagai piranti pentas nanti malam. Aku sengaja membawanya banyak, karena pasti lidahku akan terasa gatal bila tak memakan satu buah apel pun selama perjalanan menuju Surabaya.
            Kepergian kami ke Kota Pahlawan ini tak lain karena kami ingin menunjukkan eksistensi di bidang teater dalam festival teater tahunan yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi di Surabaya dan melibatkan banyak grup teater di perguruan tinggi lain se-Indonesia. Ini untuk yang pertama kalinya, Teater Sadewa akan unjuk kebolehan.
            “Lagian, pertunjukan kita cuma butuh beberapa apel aja, kan?” cetusku, dilanjut menghela napas panjang. Ia mengangguk menyesali perkataannya. Beberapa saat antara kami hening, namun aku terus menyibukkan diri dengan mengupas apel-apel itu.
            Ariska menyentuh bahuku pelan. Aku hanya menanggapinya dengan dehaman.
            “Kamu tahu alasan mengapa harus buah apel yang menjadi obyek cerita itu?”
            Aku mengangkat kedua alisku, “Karena buah apel melambangkan kecantikan. Akan kuceritakan mitos Yunani kuno tentang pernikahan Peleus dan Thetis. Saat itu, tiga dewi memperebutkan apel emas yang terukirkan kalimat ‘untuk yang tercantik’ dari sang mempelai. Tiga dewi itu –Aphrodite, Hera, dan Athena— berebut pengakuan sebagai dewi tercantik meski harus dengan menghalalkan segala cara. Kekacauan itu kemudian memicu terjadinya perang Troya.” Jelasku panjang lebar.
            Ariska mengangguk paham. “Kamu suka apel, ya? Kamu udah habis empat buah.”
            Mendengar kalimatnya, aku mengangguk begitu mantap. Tanpa memberi alasan lebih jauh mengapa aku menyukai apel ini.
            “Karena kamu terobsesi dengan kisah tiga dewi itu?” Ia terpingkal-pingkal. Aku memicingkan mata ke arahnya. Tanpa ia mempertanyakan alasannya, ia sudah terlebih dulu menuduhku dengan hal seperti itu.
            Aku tersenyum kecut, “Karena apel pernah menjadi saksi bisu suatu peristiwa.”
            Ariska mengernyitkan dahi, “Peristiwa? Ini pasti tentang laki-laki itu. Mulai deh, pasti secret admirer syndrom-nya mulai kambuh lagi. Pensiun kenapa, sih!”
            “Setelah sekian waktu berlalu, aku baru menyadarinya sekarang. Bersamanya, itu yang selalu kuharapkan. Jika takdir kembali mempertemukan, aku akan sangat bahagia, Ris, meskipun rasanya sudah sangat terlambat. Kalau benar aku dipertemukan lagi, lalu aku mengatakan semua rahasia itu kepadanya, menurutmu apa dia akan menganggap semua ini hanya guyonan? Cinta ini apa salah?”
            Iya, tentang laki-laki itu. Sosok yang memenuhi setiap foto dalam album kenanganku. Aku tidak akan mampu melupakan apa yang pernah membuatku lupa dengan rasa takutku, dengan sang pemberi kisah semanis apel Fuji. Mungkin kini jarak sedang menguji kesabaran kami.
            Ariska tak langsung menjawab dan lebih memilih untuk mencerna begitu dalam perkataanku. Mungkin ia agak kecewa juga karena aku telah mengabaikan perintahnya mentah-mentah. Namun, sekian detik kemudian ia tersenyum. Memandangku dengan bening matanya yang meneduhkan. “Aku nggak bisa menyalahkan apa yang menjadi keputusanmu, Nes. Namun satu hal yang aku tahu tentang cinta,” ia menjeda sejenak, “segalanya akan bekerja baik, bila kamu tahu cara memegang kendalinya.”
           
“Teman-teman, untuk sementara, kita semua bakal menginap di sini. Hanya dua hari satu malam, setelah pentas kita siap-siap untuk kembali ke Malang. Nah, sekarang tempatkan diri kalian untuk istirahat sejenak, setelah itu kita latihan lagi nanti sore. Yang cowok nanti ikut aku, yang cewek ikut Anesya, oke?”
            Seluruh anggota grup Teater Sadewa mengangguk paham oleh penjelasan Alfredo. Sesaat tubuh kami saling bergerak menuju tempat masing-masing. Aku sebagai penunjuk arah sudah mulai terantuk-antuk. Namun cengkeraman Alfredo yang melekat erat pada lenganku membuatku terenyak.
            “Kalau udah selesai penempatannya, aku tunggu di depan ruangan kamu,” bisiknya.
            “Mau apa, sih?”
            Ia terdiam sesaat, “Kita harus melihat suasana panggung sebelum pentas.”
            “Harus, ya?” ucapku tak bergairah.
            “Anesya, tolong. Ini demi kemenangan kita.” Matanya sungguh berbicara, seolah memohon agar aku mau menuruti permintaannya. Mengingat begitu banyak mata yang memperhatikanku, aku segera menepis cengkeramannya dan beranjak meninggalkannya tanpa berucap sepatah kata lagi.
“Jadi, aku minta selama kamu berperan sama aku, kamu yang total ya, Nes?” pintanya.
            Aku menghela napas panjang, “Al, bukan cuma saat segmen kita aja ya aku bersikap totalnya. Dari awal sampai akhir aku memang harus total. Aku ini pemeran utama, Al, kamu inget itu.”
            “Bu-bukan gitu maksud aku, Nes. Maksudku, kamu tahu ‘kan adegan apa aja yang bakal kamu mainkan saat aku—pangeran itu— datang  lalu meminta menikahi putri?” sergahnya mencoba menjelaskan sesuatu yang abstrak bagiku.
            “Menciumku maksudmu? Itu ‘kan cuma adegan. Lagian ini juga nggak beneran, kelabuhi penonton apa susahnya? Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, kalau hanya itu aku mudah melewatinya.”
            Alfredo tak lagi berkutik. Ia mengalihkan pandangannya ke depan. Kutahu, ia lebih memilih menyudahi percakapan panas kami daripada harus memancing emosiku keluar. Sesaat di dalam mobil hanya diselimuti oleh kebisuan mendalam, sampai pada saat kami telah dihadapkan pada sebuah gedung besar yang menjulang tinggi.
            Beberapa mahasiswa terlihat memenuhi pintu masuk graha. Alfredo terburu-buru mendekati sekumpulan orang-orang itu. Punggungnya yang telah sampai terlebih dulu membuatku cepat-cepat menyusulnya.
            “Iya, jadi untuk acara puncaknya akan diadakan mulai jam delapan malam, dan jadwal Teater Sadewa sendiri jam.... Tunggu sebentar,” ucap lelaki yang menjadi lawan bicara Alfredo. Aku tak sempat melihat wajahnya karena tubuh itu terlebih dulu menunduk untuk melihat kertas berisikan jadwal pentas masing-masing grup.
            Aku mencoba menelisik tubuh jangkung itu. Dari beberapa badge yang terpasang di bagian lengan jas almamaternya, kuyakin pria itu adalah aktivis kampus, dan kuyakin ia pasti tak punya banyak waktu untuk menyempatkan mandi karena separuh hidupnya ia habiskan untuk mengurusi organisasi. Aku terkekeh dalam hati. Namun sepersekian detik setelah pandanganku menjalari bagian lain dari jas laki-laki itu, aku dibuatnya tersentak tak percaya.
            “Jam sepul—”
            “Royyan?” sergahku memotong perkataannya. Mengeja namanya begitu fasih.
            Dua lelaki itu memandangiku secara bergantian. Terutama lelaki itu. Pandangannya begitu tajam menelisik lekuk wajahku yang sedang berusaha meyakinkannya. Apa mungkin ia sudah tak mengenaliku karena sekian lama waktu telah mencipta jarak di antara kami?
            “Anesya. Teman SD kamu. Kita sering bermain tantangan spontan dan aku yang sering kalah, dan kamu sering memaksaku memakan satu kilo buah andalanmu dalam tiga hari padahal kamu sendiri tahu, aku phobia dengan buah itu karena pertama kali memakannya aku menemukan ada belatung di dalamnya. Dan sekalinya aku menang, aku memaksamu membelikanku apel emas, sampai kamu meminta ayahmu untuk import. Lucu sekali, ketika kukatakan semua hanya ada di negeri dongeng. Kamu masih ingat?” ucapku menggebu-gebu. Rasanya lega ketika semua terucap jelas.
            Sangat lama jika harus menunggunya mengatakan ‘iya’. Apalagi dengan wajahnya yang seakan mendapati keledai lepas sedang bermain sirkus di hadapannya, membuatku ragu segala yang kuinginkan benar-benar terjadi saat ini. Senyumku memudar, ketakutanku merasuk hingga mengalir bersama aliran darah dalam vena. Aku takut jika kenyataan ini ternyata hanya mimpi indah yang tak bisa kuselami. Aku takut.
            “Aku tidak pernah lupa, Anesya.”
Aku tidak pernah membayangkan pertemuan ini kembali terjadi. Setelah sekian lama aku hanya bisa memimpikannya tanpa pernah tahu ke mana harapan itu akan berujung. Aku merindukannya. Aku merindukan apa yang menjadi kebiasaan kita dahulu. Mungkin benar jika apa yang pernah disatukan akhirnya terpisahkan selama bertahun-tahun tak bisa untuk tak saling merindukan. Dia pun merindukanku, itu yang ia bilang sejak pertemuan kedua kami kala itu.
            “Ssst, Anesya!”
            Aku menoleh, mencari-cari sumber suara. Di antara lalu-lalang manusia pada seantero graha ini, aku menemukannya di balik pintu keluar arena. Ia dengan senyum manisnya, membawaku berlari ke arahnya.
            Aku sedikit kesusahan berlari dengan mengenakan dress batik yang menjuntai lembut menyentuh sepatu selopku. Namun senyum itu kembali mengundang rasa semangat yang telah lama patah. Lelaki itu menggamit jemariku lembut, seperti apa yang menjadi retorika kami dahulu. Dan seperti biasanya, membiarkan tawa melingkupi keberadaan kami berdua. Meskipun kurasakan ada setitik perbedaan. Aku tak bisa menjelaskannya sekarang.
“Tempat ini bagus. Jujur, ini pertama kalinya aku datang ke sini.” Aku terperangah memandang lampu-lampu yang memendar begitu indah di sepanjang jembatan Suramadu ini.
            Debur ombak Selat Madura mengirama, seakan lagu cinta yang membawa ketenangan bagi siapa saja yang mendengarnya. Cahaya bulan purnama membelah hamparan air tenang hingga membentuk garis lurus yang tegas, merefleksikan pancarannya pada manik-manik mata yang tak kalah menarik dengan lampu ratusan watt itu. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku menikmati malam tanpa ada kebisingan seperti malam ini. Aku tak ingat bagaimana rasanya memandangi taburan bintang tanpa ada satupun yang menghalangi.
            Royyan tertawa renyah, begitu manisnya. Dalam bulat bola matanya, kusaksikan kemerlap cahaya keemasan yang terpantul dari kilauan cahaya di atas selat itu. Seakan menarik perhatianku, membuatku ingin memandangnya lebih dalam. Aku memang tak ingat kapan terakhir kali kebahagiaan berpihak kepadaku, yang terpenting saat ini adalah: aku ada di sini bersamanya. Berdua saja.
            “Jadi kamu jauh-jauh dari Malang cuma ingin berpartisipasi di festival teater tahunan ini?” tanyanya, menyentak lamunanku. Seketika aku mengalihkan perhatian pada hamparan air yang sedikit bergoyang ketika diterpa semilir angin malam.
            Aku tersenyum, “Bukan hanya itu. Aku jauh-jauh datang ke sini ingin bawa nama baik Teater Sadewa. Kami ingin menang.”
            “Untuk itu, kamu harus berjuang mati-matian.”
            Aku kembali menatap matanya, “Jangan mati-matian, aku belum siap.”
            Royyan tertawa kencang. Entah mengapa rasanya aku ingin menghentikan waktu dalam sekejap, sehingga aku dapat bersama dengannya lebih lama. Rasa canggung terasa menggebu-gebu di ulu hati. Aku takut menyentuhnya, takut berlabuh di bahunya. Apakah waktu telah membawa kami masuk ke dalam dunia yang bukan lagi penuh fantasi layaknya kebahagiaan seorang gadis kecil yang mengetahui dalam loker meja kelasnya terdapat satu kantung apel merah? Atau kedewasaan membuat kami tidak bisa leluasa saling menatap satu sama lain?
            “Kamu nggak banyak berubah, ya. Masih seperti yang dulu, suka bikin aku ketawa.”
            Aku hanya tersenyum. Dan kau juga tak berubah, selalu membuatku nyaman jika berada di dekatmu.
            “Ngomong-ngomong, pentas nanti, grupmu akan memerankan apa?” tanyanya kemudian.
            “Aku nggak mau kasih tahu sekarang. Aku mau kamu melihatnya dari awal. Intinya, sih, aku menggabungkan budaya luar dengan tradisional, karena aku ingin anak-anak muda yang notabene diwanti-wanti menjadi penerus bangsa yang sudah terlanjur terjerat dalam budaya asing itu, tidak melupakan apa yang sebenarnya menjadi kekuatan negaranya sendiri.”
            “Jadi ini rahasia?” sinisnya. “Oke, kalau kamu nggak mau kasih tahu rahasia itu, aku tawarkan satu tantangan.
            Aku terbelalak kaget, “Tantangan?”
            Royyan tersenyum kecut. Sesaat ia menghirup aroma laut yang menguar sebelum angkat bicara. “Tanggal 31 Mei 1293, Kubilai Khan mengutus kerajaan Mongol untuk datang menyerang pasukan Raden Wijaya. Kerajaan Mongol dianalogikan sebagai ikan hiu yang datang dari laut, atau sering disebut Sura, sedangkan pasukan Raden Wijaya dianalogikan sebagai bahaya atau Baya. Makanya, saat Raden Wijaya menang dalam peperangan itu, 31 Mei dipercayai menjadi hari jadi Kota Surabaya.”
            Aku semakin terbelalak lebar, “Tantangannya sebelah mana?”
            Royyan memaku pandangan tepat ke dalam mataku. “Jika kamu menang dalam kompetisi teater itu, kamu boleh meminta apa pun yang kamu mau dariku. Tetapi kalau kamu kalah, tepat 721 tahun setelah kemenangan Raden Wijaya, aku ingin kamu menemuiku di Festival Rujak Uleg di Kembang Jepun.”
            “Mei depan? Kembang Jepun? Tapi, Roy, aku—”
            “Aku akan membelikanmu satu karung apel, dan aku nggak ingin di antara kita ada yang jadi pecundang. Aku akan mengawasimu dari tribun paling depan.” Tandasnya tanpa pernah memberiku kesempatan bicara.
            Tantangan pertama pada pertemuan kedua kami. Aku tersenyum tegas. “OK, deal!
Tawa kami mengembang di antara deburan ombak yang tak berhenti bersenandung merdu. Ada satu hal yang menyita perhatianku di ujung sana. Monumen Jalesveva Jayamahe. Royyan mulai bercerita tentang Perwira TNI Angkatan Laut. Sejak era Sriwijaya sampai Majapahit, Indonesia terkenal sebagai negeri yang kuat secara maritim.
Dalam setiap penggal kalimatnya kuperhatikan dengan saksama. Aku menyukai cara berbicaranya yang lugas dan tegas, dan mengalir seiring kebersamaan ini. Membuatku lupa bahwa detik masih terus berjalan, dan sesaat lagi aku akan berperan utama demi membuktikan kemampuanku kepada Royyan. Agar aku bisa meminta apapun yang kumau darinya.
Ah, Royyan, bila suatu waktu kuungkap rahasia itu, akankah kamu bisa menerima? Bukan rahasia tentang apa peranku di atas panggung nanti, namun tentang hati yang telah lama terkunci ini. Bagaimana jika kunci itu kuberikan kepadamu, sehingga hanya kamu yang mampu membukanya. Tanpa ada sosok lain, selain dirimu. Dan kamu akan tetap tinggal di sana selama apapun itu.
Karena hanya itu satu-satunya yang kuinginkan darimu.
“Royyan, bagaimana dengan hidupmu yang sekarang?”
Aku terduduk di balik tormentor panggung, menyaksikan Ariska berdiri begitu anggun dengan busana batik Malang di atas apron—membacakan narasi pada segmen selanjutnya. Inilah yang kumaksud menggabungkan budaya luar dengan tradisional. Berbagai macam artistik batik tersebar di atas panggung. Dan irama musik tradisional yang mengisi setiap segmen pergantian pemeran, begitu meneduhkan hati penonton.
            Sudut mataku tak pernah enyah memandangi Royyan yang menanti-nanti kehadiran Putri Salju di atas panggung, terlihat dari pergerakan hitam indah matanya.
            Seharusnya aku tak menanyakan bagaimana kehidupannya sekarang. Aku tak pernah tahu jawabannya akan menyakitkanku. Melihat kebersamaannya, yang bukan denganku, meyakinkanku bahwa selamanya aku tak akan pernah bisa mendapati balasan atas perasaanku. Jatuh cinta sendirian. Memendam rasa sendirian.
            “Anesya! Apa yang kamu lakukan! Ini giliranmu!” gertak Mas Nungky dari balik tiser, mengejutkanku. Aku tersentak, segera menempatkan diri di balik properti rerumahan milik tujuh kurcaci. Sembari menunggu Mbak Liana sebagai Penyihir, yang menyamar menjadi wanita tua, datang membawa satu keranjang apel.
            “Tidak, aku tidak akan menerima apapun dari orang asing!gertak Putri Salju ketika mendapati wanita tua itu menawarinya satu buah apel.
            Apakah kau takut racun? tanya wanita tua. Dengar, aku akan memotong apel menjadi dua. Kau makan setengah dan aku akan makan setengah yang lain.
            Kuulurkan jemariku mencoba meraih satu apel merah dalam keranjang itu. Mataku memaku satu arah. Menyaksikan sesuatu berbeda dalam keranjang apel itu. Apel yang tak berwarna merah. Segera kuraih dan aku memutarnya perlahan. Barisan kalimat membuatku menarik sudut bibirku ke atas.
Golden Delicious from West Virginia. Try to act like it's not a fairytale. I’m waiting for your promise.
Aku tersenyum. Dengan cepat wajahku melesat mencari satu sosok yang membuatku menggurat senyum kembali. Satu sosok itu, ah, aku dibuatnya terpuruk lagi. Kulihat wanita itu memberikan sebentuk kado yang manis kepada Royyan, tertawa di antara ratusan orang yang menyaksikan aksiku di atas panggung. Kurasakan seperti valentine milik mereka berdua. Aku tahu, wanita itu kemudian mencium pipinya lembut. Aku tahu; ini begitu menyakitkan. Namun Royyan memberiku arti tatapan lain. Sayang, mungkin aku tak lagi akan menatapnya.
            “Nes! Kamu kenapa diam aja? Ayo ambil apelnya!” bisik Mbak Liana membentakku.
            Dengan pelan, aku kembali meletakkan apel itu ke keranjang, dan memilih untuk meraih satu buah lainnya. Putri Salju memberikannya kepada wanita tua itu, hingga beberapa detik kemudian, satu potong apel berhasil ia gigit. Putri Salju tidak pernah tahu bahwa wanita tua itu meracuni apel pada bagian yang iagigit, sehingga ia terkulai begitu lemas di atas tanah. Begitu lama, ia menunggu seseorang untuk menyelamatkannya.
        Alunan musik tradisional dan modern terdengar merdu dari ruang orchestra. Gesekan biola serupa suling bambu yang dipadu dengan kendang bertalu, ditimpali rancaknya nada pentatonic gamelan di keyboard modern menyiratkan kesan misteri namun irama piano dan gaya musik impresionis mengubahnya menjadi suasana penuh rasa sedih dan kecewa.
            Putri Salju masih memejamkan mata. Berharap seseorang dapat membukanya.
            Dan aku berharap, hanya wajahmu yang kulihat ketika aku membuka mata, Royyan, mengapa justru kebahagiaan kalian yang tercetak jelas di retinaku?
            “Buka matamu, Anesya,” bisik seseorang tepat di depan telingaku.
            Aku membuka mata, dan kudapati wajah Alfredo tengah memandangiku begitu dalam, bukan Royyan. “Ah, aku sedang berada di mana?”
            “Kau denganku.” Pangeran menceritakan apa yang terjadi dengan Putri Salju, kemudian ia berkata, “Aku lebih memilih kamu dibanding apa yang ditawarkan oleh dunia. Ikutlah ke istana dan menikahlah denganku.”
            Pentas diakhiri dengan tepuk tangan yang begitu keras, dan aku menyaksikan sosok itu tersenyum kepadaku, begitu antusias memberiku tepukan sebagai penghargaan untukku. Namun aku terlanjur tak bergairah. Aku menuruni panggung dan berlari ke luar ruangan. Menunggu Ariska atau Alfredo yang mungkin bisa membawaku jauh dari tempat ini.
            Ketika semua telah berkumpul di tempat penginapan, kami merayakan keberhasilan kami mementaskan drama ini meskipun ini bukanlah kemenangan. Ya, Teater Sadewa hanya menduduki sebagai juara harapan dua festival teater tahun ini. Mas Nungky berjalan ke arahku, ia menepuk bahuku lembut, mengatakan hal yang tak pernah kudengar darinya, “Kamu sudah berusaha dengan baik, Anesya. Jadikanlah semua ini kemenangan bagi kita sendiri. Terima kasih atas kerjasamanya selama ini.”
            Di balik tubuh besarnya, kuperhatikan sesosok telah menyunggingkan senyum ke arahku. Seorang penyelamatku di atas panggung tadi. Aku sangat tahu arti senyum itu—atas semua usahaku yang tak dinilai sia-sia olehnya.
            Aku berbalas tersenyum. Ia benar, aku sudah berusaha.

Kembang Jepun, 31 Mei 2014

Mungkin benar jika tak ada cara lain untuk bertahan mencintai dalam diam, merelakan adalah satu-satunya jalan. Ariska benar, cinta akan berjalan dengan baik bila aku tahu bagaimana cara memegang kendalinya. Ya, hanya dengan melepaskan. Membiarkan orang yang kucintai memilih jalannya sendiri.
            Aku berjalan melewati ribuan orang yang bergumul menjadi satu, tumpah ruah di sepanjang jalanan kota tua demi menyaksikan ajang rujak uleg terbesar yang diadakan setiap tahun saban hari jadi kota Surabaya.
            Festival Rujak Uleg ini akan kujadikan moment terpenting dalam hidupku. Menepati janji untuk menemui seseorang di sini. Sosok itu telah berdiri di sana, bersandar di pagar Jembatan Merah. Bergumul dengan semua harapannya bahwa aku akan hadir di depannya saat ini. Aku tertawa dalam hati. Mendekatinya dengan penuh hati-hati.
            “Apa yang kamu tunggu?”
            Ia tersentak, sedikit terbelalak. “Kamu datang?”
            Aku meraih sesuatu di dalam tasku, kemudian mengulurkan ke arahnya. Royyan mengernyitkan dahinya ketika ia tahu apa yang kuberikan padanya. Mungkin ia bertanya-tanya apa maksudku. Melihat senyumku, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Mengamati benda itu begitu teliti. Hingga beberapa saat senyumnya mengembang.
            No, everything just like a fairytale, as simple as we meet again. So, here I am, for you, Friend.
            Aku menuliskan jawaban atas kalimatnya yang terukir begitu manis pada apel emas itu. Royyan sudah tahu jika hari itu aku akan datang, karena ia yang mencatat data-data mahasiswa yang menjadi peserta pentas di festival yang iatangani. Dan apel emas itu sengaja ia persiapkan sebagai bukti ia dapat menuntaskan tantangan masa lalu. Malam itu kuputuskan untuk tak lagi bertemu dengan Royyan, karena kuyakin bila tanpa berucap pisah, suatu hari pertemuan itu akan terjadi lagi. Tak perlu cemas dengan cinta yang tanpa ucap, karena sesuatu yang tak pernah bermulai ini, tak perlu kukhawatirkan akan berakhir pula.
            “Aku udah menepati janjiku, berarti tantanganku berhasil. Sekarang giliranku.”
            Royyan memandangiku dengan tatapan ragu. Mungkin ia takut aku akan mengatakan hal yang dapat membuat jantungnya rontok seketika. Jemariku menari pada permukaan daguku, membiarkannya berpikir lebih lama lagi.
            “Jika aku kalah, kamu boleh memperlakukanku apapun yang ingin kamu lakukan. Tetapi jika aku menang, kamu harus memberiku satu karung apel yang kamu petik langsung dari kebun apel di kawasan rumahku, di Malang, dan menuliskan kalimat ‘Anesya selalu menang dan Royyan selalu kalah’ pada setiap permukaan apel.”
            Ia melongo.
            “Tantangannya adalah…” Aku mendekatkan mulutku pada telingnya. Ini rahasia, dan aku tak ingin seseorang pun mendengar rahasia kami. Karena ini dunia kami berdua.
            “Hanya itu? OK, deal!” semburnya, begitu mantap. Sesaat jemarinya menggamit jemariku lembut. Lagi-lagi ia membawaku berlari dengan semua kebahagiaan ini. 
            Rasa ini akan berujung pada kebersamaan tanpa saling merasa memiliki cinta satu sama lain. Yang kami tahu, kami saling melengkapi. Itu saja. Tak ada cinta seperti apa yang kuinginkan. Dan aku akan tetap menyimpannya untukku sendiri, selama apapun, asal aku masih bisa merasakan bahagia berada di sampingnya.
            Ah, baiklah, kurasa aku harus membagi rahasia itu kepada kalian. Rahasia kami berdua. Agar dunia tahu kebahagiaan seperti apa yang kurasakan bersama Royyan. Ya, aku dan Royyan akan berlomba memakan rujak uleg yang paling pedas dari yang terpedas di Festival Rujak Uleg tahun ini.

2 comments:

  1. Salut! Bagus bgt dari alur cerita, sudut pandang, plus pendeskripsian suasana ataupun tempatnya. Sukses terus :)

    ReplyDelete