Friday, July 25, 2014

0

Mata di Balik Setumpuk Nugget

Posted in , , ,

Untuk pria yang kutemui 37 menit yang lalu,


Saat itu aku sedang memilah-milah nugget yang berjajar begitu mengagumkan di dalam freezer bersama ibuku dalam suatu super market yang tak jauh dari rumahku. Aku dan ibuku masih mencocokkan antara harga dan kualitas, namun aku sudah menemukan mana yang pas.

            Dalam ruang kecil di depan freezer khusus nugget itu, hanya ada aku, ibuku, dan sesosok wanita berjilbab lain. Kuyakin ia memiliki tujuan yang sama seperti kami. Namun, ketika mataku tak sengaja bergeser pada tempat lain, aku menemukan sosok lain berdiri tepat di belakangku membawa sekeranjang belanjaan. Aku tak berani melihat matanya, karena pandanganku hanya menembus sampai dadanya. Iya, ia begitu tinggi.

            Ah, mungkin saja ia suami dari ibu itu. Atau anak? Ah mengapa hal itu mendadak menjadi hal penting yang menggerayangi pikiranku?

            Aku segera beranjak meninggalkan tempat itu. Dengan berbekal keranjang berisikan satu bungkus nugget chicken crispy, kami menuju ke lain bilik. Namun malang, rasa penasaranku membludak hingga mau tidak mau aku harus melihat bagaimana sosok yang kemudian berdiri menyebelahi paruh baya itu.

            Dan terjawab sudah pertanyaan itu. Aku harus malu kepada diriku sendiri karena pada akhirnya aku tak bisa mengenyahkan pandangan dari pria itu. Pria manis berjaket cokelat sedang mengantarkan ibunya berbelanja. Dalam sekejap matanya menjalari setiap inci ruangan, menamatkan pandangan ke arah anak-anak kecil yang saling berlarian. Dan ia tertawa. Begitu manisnya.
            Sungguh, kau sangat tampan.


            Hap! Dia memandang ke arahku. Rasanya aku seperti kebakaran jenggot kedapatan sedang memandanginya tanpa berkedip. Ah, sial! Aku buru-buru pergi menjauh. Sejauh mungkin. Menutupi wajah dengan baskom bila memungkinkan.

            Namun ketika aku berbalik arah, aku tidak bisa menyembunyikan senyumku barang sedikitpun. Jangan sampai Ibu mengetahui anaknya senyam-senyum sendiri dalam super market yang padat ini. Bisa-bisa ia tak lagi mau mengakui aku sebagai anaknya lagi.

            Setelahnya kami berjalan menuju stand mie instan. Padahal tempat itu masih berjarak beberapa langkah dari tempatnya. Aku berusaha untuk tak menampakkan diri. Tak menampakkan batang hidungku di hadapannya lagi. Beberapa saat setelah ibu memilih sepuluh mie goreng, kami akan melangkahkan kaki mencari cokelat seperti apa yang adikku pesan.

            Dengan susah payah aku mengangkat keranjang itu, dan berbalik badan. Dan sungguh, ini bagian yang paling sulit kulupakan. Andai saat itu aku bisa menghentikan waktu walau hanya lima menit saja, sehingga aku bisa menatapnya lebih lama.

            Darahku mengalir deras menuju ubun-ubun. Aku tak bisa menutupi merah di pipiku. Bagaimana tidak? Begitu aku berbalik, ia sudah berjalan ke arahku dengan mendorong keranjang belanjanya, sembari mengangkat kedua alisnya ke arahku tanpa menurunkannya lagi.

            Sialnya aku langsung berpaling dan tersenyum lagi seperti orang gila.

            Begini saja aku sudah suka. Benar-benar gila.

            Wanita di depanmu itu memang gila, Tuan Tampan.

            Pertemuan kami hanya berselang beberapa menit saja, namun ia sudah berhasil membuatku merasa bahwa ia salah satu anugerah yang Tuhan ingin tunjukkan untuk membuatku tersenyum, walau bukan dengan memilikinya. Melihat lengkung alisnya seperti tadi pun, rasanya sudah sangat bahagia.

            Tuan Tampan, saat ini kita memang sama. Aku dengan ibuku dan kau juga menemani ibumu berbelanja. Bagaimana jika kita pertemukan ibu kita, lalu kau berbicara bahwa mereka akan jadi teman, sehingga aku bisa lebih dalam mengenalmu.Atau bahkan memilikimu?

            Baiklah, aku benar-benar gila sekarang.

Bukankah manis jika seorang pria meluangkan waktunya demi menemani ibunya berbelanja? Padahal mereka tahu bahwa wanita seperti ibu-ibu pun membutuhkan waktu yang lama membanding-bandingkan kualitas dan harga. Namun kaulalui semua itu.

            Perjalananku telah sampai pada kasir. Dua keranjang segera dipindahkan dalam buntalan itu. Artinya setelah ini kita akan berpisah, kan, Tuan Tampan? Namun sampai saat ini aku masih tak melihatmu.

            Beberapa detik berlalu. Beberapa barang telah terkemas begitu rapi. Hampir saja saat ibuku mengeluarkan beberapa lembar uang, mataku menjalari setiap ruangan. Kuyakin kau ada di antara barisan panjang yang mengantri untuk membayar. Kuyakin, Tuan...

            Ah, dan benar, kau memang ada di sana. Dan kau… ah, aku menunduk. Kau begitu asik tertunduk memandangi ponselmu. Sangat lama. Apakah itu artinya kau sudah ada yang memiliki, Tuan?

            “Ayo…”

            Ibu sudah menarikku pergi. Namun langkahku terasa berat menyadari aku masih menginginkan di sini. Bagaimana aku bisa mengetahui namamu, Tuan? Kuyakin setelah inipun kau akan melupakan semua kejadian atau bahkan justru tak pernah menyadari keberadaanku yang terus mengawasimu?

            Baiklah, kurasa aku memang memuja sendirian.

            Aku berjalan sangat lambat. Mataku tak bisa berpindah ke lain sisi. Aku tak ingin kehilangan tatapan matanya yang meneduhkan itu. Aku tak ingin kehilangan waktu untuk sekadar menggambar garis wajahnya walau dalam ingatanku.

            Aku bergumam dalam hati, berpalinglah…berpalinglah…berpalinglah

            Dan lagi, ia memang membuat penutupan yang bagus. Aku tersenyum, dan kembali melangkahkan kaki. Mungkin memang ini hanya skenario singkat yang sengaja Tuhan ciptakan. Tak ada perkenalan. Tak ada hal lain kecuali kebersamaan yang bisu.

            Terima kasih telah menatapku dengan mata teduh itu, Tuan Tampan. Bagaimana jika suatu ketika bila pertemuan itu terjadi lagi, kau akan memberitahuku namamu? Nama depanmu pun sudah sangat cukup. Agar aku bisa menuliskannya pada relung hatiku paling dalam sebagai lelaki dalam ingatanku dengan mata teduhnya.


            Namun, kapan kita akan bertemu lagi, Tuan?


Giant Super Market, Friday, 25 July 2014.






Kira-kira wajahnya seperti ini. Jika ada yang bertemu, tolong ditangkap saja. Serahkan pada pihak berwajib; aku. :D


Kim Bum

0 comments: