Mata di Balik Setumpuk Nugget
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, first sight, karya Atika Rahma F
Untuk pria
yang kutemui 37 menit yang lalu,
Saat itu aku
sedang memilah-milah nugget yang
berjajar begitu mengagumkan di dalam freezer
bersama ibuku dalam suatu super market yang tak jauh dari rumahku. Aku dan ibuku masih mencocokkan
antara harga dan kualitas, namun aku sudah menemukan mana yang pas.
Dalam
ruang kecil di depan freezer khusus nugget itu, hanya ada aku, ibuku, dan
sesosok wanita berjilbab lain. Kuyakin ia memiliki tujuan yang sama seperti
kami. Namun, ketika mataku tak sengaja bergeser pada tempat lain, aku menemukan
sosok lain berdiri tepat di belakangku membawa sekeranjang belanjaan. Aku tak
berani melihat matanya, karena pandanganku hanya menembus sampai dadanya. Iya,
ia begitu tinggi.
Ah,
mungkin saja ia suami dari ibu itu. Atau anak? Ah mengapa hal itu mendadak
menjadi hal penting yang menggerayangi pikiranku?
Aku
segera beranjak meninggalkan tempat itu. Dengan berbekal keranjang berisikan
satu bungkus nugget chicken crispy,
kami menuju ke lain bilik. Namun malang, rasa penasaranku membludak hingga mau
tidak mau aku harus melihat bagaimana sosok yang kemudian berdiri menyebelahi
paruh baya itu.
Dan
terjawab sudah pertanyaan itu. Aku harus malu kepada diriku sendiri karena pada
akhirnya aku tak bisa mengenyahkan pandangan dari pria itu. Pria manis berjaket
cokelat sedang mengantarkan ibunya berbelanja. Dalam sekejap matanya menjalari
setiap inci ruangan, menamatkan pandangan ke arah anak-anak kecil yang saling
berlarian. Dan ia tertawa. Begitu manisnya.
Sungguh,
kau sangat tampan.
Hap! Dia memandang ke arahku. Rasanya aku
seperti kebakaran jenggot kedapatan sedang memandanginya tanpa berkedip. Ah,
sial! Aku buru-buru pergi menjauh. Sejauh mungkin. Menutupi wajah dengan baskom
bila memungkinkan.
Namun
ketika aku berbalik arah, aku tidak bisa menyembunyikan senyumku barang
sedikitpun. Jangan sampai Ibu mengetahui anaknya senyam-senyum sendiri dalam
super market yang padat ini. Bisa-bisa ia tak lagi mau mengakui aku sebagai
anaknya lagi.
Setelahnya
kami berjalan menuju stand mie instan. Padahal tempat itu masih berjarak
beberapa langkah dari tempatnya. Aku berusaha untuk tak menampakkan diri. Tak menampakkan
batang hidungku di hadapannya lagi. Beberapa saat setelah ibu memilih sepuluh
mie goreng, kami akan melangkahkan kaki mencari cokelat seperti apa yang adikku
pesan.
Dengan
susah payah aku mengangkat keranjang itu, dan berbalik badan. Dan sungguh, ini
bagian yang paling sulit kulupakan. Andai saat itu aku bisa menghentikan waktu
walau hanya lima menit saja, sehingga aku bisa menatapnya lebih lama.
Darahku
mengalir deras menuju ubun-ubun. Aku tak bisa menutupi merah di pipiku. Bagaimana
tidak? Begitu aku berbalik, ia sudah berjalan ke arahku dengan mendorong
keranjang belanjanya, sembari mengangkat kedua alisnya ke arahku tanpa
menurunkannya lagi.
Sialnya
aku langsung berpaling dan tersenyum lagi seperti orang gila.
Begini
saja aku sudah suka. Benar-benar gila.
Wanita di depanmu itu memang gila, Tuan Tampan.
Pertemuan
kami hanya berselang beberapa menit saja, namun ia sudah berhasil membuatku
merasa bahwa ia salah satu anugerah yang Tuhan ingin tunjukkan untuk membuatku
tersenyum, walau bukan dengan memilikinya. Melihat lengkung alisnya seperti
tadi pun, rasanya sudah sangat bahagia.
Tuan
Tampan, saat ini kita memang sama. Aku dengan ibuku dan kau juga menemani ibumu
berbelanja. Bagaimana jika kita pertemukan ibu kita, lalu kau berbicara bahwa
mereka akan jadi teman, sehingga aku bisa lebih dalam mengenalmu.Atau bahkan memilikimu?
Baiklah, aku benar-benar gila sekarang.
Bukankah
manis jika seorang pria meluangkan waktunya demi menemani ibunya berbelanja? Padahal
mereka tahu bahwa wanita seperti ibu-ibu pun membutuhkan waktu yang lama
membanding-bandingkan kualitas dan harga. Namun kaulalui semua itu.
Perjalananku
telah sampai pada kasir. Dua keranjang segera dipindahkan dalam buntalan itu. Artinya
setelah ini kita akan berpisah, kan, Tuan Tampan? Namun sampai saat ini aku
masih tak melihatmu.
Beberapa
detik berlalu. Beberapa barang telah terkemas begitu rapi. Hampir saja saat
ibuku mengeluarkan beberapa lembar uang, mataku menjalari setiap ruangan. Kuyakin
kau ada di antara barisan panjang yang mengantri untuk membayar. Kuyakin, Tuan...
Ah,
dan benar, kau memang ada di sana. Dan kau… ah, aku menunduk. Kau begitu asik
tertunduk memandangi ponselmu. Sangat lama. Apakah itu artinya kau sudah ada
yang memiliki, Tuan?
“Ayo…”
Ibu
sudah menarikku pergi. Namun langkahku terasa berat menyadari aku masih
menginginkan di sini. Bagaimana aku bisa mengetahui namamu, Tuan? Kuyakin setelah
inipun kau akan melupakan semua kejadian atau bahkan justru tak pernah
menyadari keberadaanku yang terus mengawasimu?
Baiklah,
kurasa aku memang memuja sendirian.
Aku
berjalan sangat lambat. Mataku tak bisa berpindah ke lain sisi. Aku tak ingin
kehilangan tatapan matanya yang meneduhkan itu. Aku tak ingin kehilangan waktu
untuk sekadar menggambar garis wajahnya walau dalam ingatanku.
Aku
bergumam dalam hati, berpalinglah…berpalinglah…berpalinglah…
Dan
lagi, ia memang membuat penutupan yang bagus. Aku tersenyum, dan kembali
melangkahkan kaki. Mungkin memang ini hanya skenario singkat yang sengaja Tuhan ciptakan. Tak ada perkenalan.
Tak ada hal lain kecuali kebersamaan yang bisu.
Terima
kasih telah menatapku dengan mata teduh itu, Tuan Tampan. Bagaimana jika suatu
ketika bila pertemuan itu terjadi lagi, kau akan memberitahuku namamu? Nama depanmu
pun sudah sangat cukup. Agar aku bisa menuliskannya pada relung hatiku paling
dalam sebagai lelaki dalam ingatanku dengan mata teduhnya.
Namun,
kapan kita akan bertemu lagi, Tuan?
Giant Super Market, Friday, 25 July 2014.
Kira-kira wajahnya seperti ini. Jika ada yang bertemu, tolong ditangkap saja. Serahkan pada pihak berwajib; aku. :D
Kim Bum |
0 comments: