JEDA [Part 3]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, jeda, karya Atika Rahma F
Mataku terus terpaku memerhatikannya yang begitu
menikmati hidangannya di tempat ini. Langit telah berlumurkan tinta hitam.
Kelam. Namun tempat ini tak juga sepi, justru seperti sedang merayakan suatu
perayaan besar.
Hampir
beberapa kali mataku menangkap siluet klenteng di setiap rumah-rumah. Eksotika
budaya Tionghoa begitu kental terasa. Bebauannya juga kurasa sama ketika aku
menikmati studi tour di China Town ketika menghabiskan masa strata-satuku di Universitas
Airlangga. Lannie menyebutnya, ah, kucoba mengingat-ingat. Iya, Pecinan.
“Mengapa
tidak dimakan? Tidak suka Babat Gongso?” celetuk Lannie memudarkan lamunanku.
Aku menatap matanya yang telah memicing ke arahku.
Aku tersenyum. Kemudian, kusisihkan
sendok yang telah tersedia di atas piring tersebut. Kuganti dengan pemberian
Shakina, baru aku bisa memulai memakannya.
Lannie menggerutu, “Lelaki aneh.” Hingga
kemudian ia melanjutkan memakannya dengan lahap. Di atas meja kayu ini, masih
ada beberapa piring makanan yang belum tersentuh. Wedang ronde masih menguarkan
kepul hangat dan harumnya, Lunpia masih begitu hangat karena sehabis ditiris
dari dalam wajan panas, juga yang membuatku lantas heran seheran-herannya,
masih ada semangkuk es congkling! Entah, akupun tak tahu mengapa ini dinamakan
es congkling—padahal menurutku ini es kolang-kaling—yang kuherankan mengapa
juga wanita itu memesannya padahal sudah ada ronde di sampingnya. Buang-buang duit saja!
Malam ini aku tak akan melanjutkan
perjalananku, karena haripun telah larut malam. pikiranku membuyar, tak tahu
harus ke mana melangkahkan kaki. Kutatap Lannie yang masih saja menikmati
pemandangan sekitar. Ya, di sekitar Pasar Semawis yang sedang ramai oleh
khalayak karena ada acara menjelang pergantian tahun.
Seperti karnaval yang kutemui di
Surabaya, penari-penari itu mengenakan pakaian adat Jawa dan sesekali tereksplorasi
juga yang dari adat Tionghoa, di bawah pendar keemasan yang menjadikannya
semakin remang-remang mengesankan. Ah! semua ini justru mengingatkanku betapa
manisnya kulalui malam tahun baru tahun lalu, jika saja tak ada urusan
pekerjaan juga musibah tragis yang menimpaku ini, pasti malam ini tempatku
bukanlah di sini—bersama wanita yang bukan Shakina.
“Lannie,” ucapku begitu gagu.
“Iya?” ia menjawab, tanpa pernah
menggeser pandangannya demi menatapku.
“Bisakah kita mengunjungi rumah ibumu?
Aku ingin menginap satu malam saja, dan mungkin setelah pergantian tahun, aku
akan segera pergi dan tak merepotkanmu lagi.”
Lannie manatapku kemudian. Tatapannya
sayu, seperti mendengar hal yang tak seharusnya kubuncahkan. “Apa kau yakin?
Rumahnya sangat jauh, dan tak mungkin kita tembus malam ini juga.”
“Aku yakin, Lannie. Baiklah, yang pasti
aku ingin bertemu ibumu,”
“Untuk apa!” tandasnya.
Ah, mulai lagi sengketa ini. Kucoba
mengatur napas, hingga tak kudapati perkataanku yang mampu menyinggung
perasaannya, “Untuk bilang terima kasih.”
Kudapati Lannie yang menatapku heran,
“Untuk apa?”
Aku tak mampu menjawab cepat. Mataku
telah terlebih dulu menyelami danau di matanya yang bulat. Lekuk alisnya
melengkung, begitu manis. Lannie begitu
cantik... Ah! Aku tersentak, mencoba menepis pikiranku jauh-jauh.
Seharusnya aku tak melakukan ini. Seharusnya akupun tak berada di sini!
“Ah, lupakan. Jadi, malam ini kita akan
ke mana?”
Lannie terdiam, kemudian tersenyum.
Y
Gemerlap cahaya itu begitu indah, memendar di antara
temaramnya langit kota Atlas ini. Sorak-sorai remaja saling bersahutan di atas
udara dinginnya malam. Tiupan terompet sesekali menggema, mengetuk gendang
telinga. Juga derai percikan kembang api serta mercon yang mewarnai malam ini,
sungguh kunikmati tanpa suatu jeda.
“Tugu
Muda selalu ramai, apalagi jika ada perayaan besar seperti ini. Jadi, jangan
berharap, deh, jika ke sini hanya ingin menyepi. Apalagi untuk merenung
melaraskan patah hati!” Lannie terkekeh. Kuikuti dengan tawa renyahku.
“Kembang
api itu, mengingatkanku bagaimana cinta telah membuatku terambang rasa
fantasiku. Cinta memang konyol, menyakitkan. Semua hanya ada dalam
cerita-cerita pada novel yang pernah kubaca.” Sesaat tatapan mataku melesat,
menjamahi setiap jengkal tubuhnya yang masih saja memandang pendar bunga-bunga
api di atas langit.
“Cinta
itu nyata,” sergahku, tanpa kusadari aku telah berani merusak lamunannya.
Lannie
manatapku lekat. Kali ini aku tak pernah salah, ada bening yang mampu
merefleksikan pendar melalui bola matanya. Lannie
menangis?
Ia
tersenyum getir, “Jika cinta ada, mengapa aku tidak pernah bisa percaya? Jika
cinta mengapa lantas hatiku berubah menjadi kecamuk yang mampu merusak jiwa?”
Tatapan
matanya. Aku terpaku beberapa saat. Perlahan juga kudapati tetes bening itu
terjatuh dalam pematang pipinya. Tiba-tiba saja kurasakan kepedihan melalui
butir bening itu. Kepedihan dari air mata yang pernah mengalir juga dari balik
kelopak mataku. Jemariku bergerak, menyeka bebutiran bening di pipinya. Puas kamu merobek perasaanku, Ragil! Ketika
yang kuanggap satu-satunya cinta justru adalah pengkhianat besar atas semua
cinta-cinta itu!
Aku
tersentak. Ingatan lalu telah membuatku tak bisa menutup rasa bersalah itu.
Tiba-tiba kurasakan aku telah tak tahu diri menyeka bebutiran di mata wanita
yang mungkin tak berhak kujamahi. Juga memang aku tak berhak bersama dengan
siapapun, karena ada yang menungguku di peradaban. “Ah, maaf.”
Aku
menunduk dalam-dalam. Membiarkan gejolak di hatiku segenap hilang bersama
dengan waktu yang bergulir begitu cepat. Napasku tampak tak teratur, mengingat
betapa kesalahan itu masih saja terngiang-ngiang di benakku. Hal itu sudah
berlalu. Sangat lama. Mengapa ketika bertemu Lannie, ingatan itu tak juga
sirna?
Tiba-tiba,
suara mercon yang meledak-ledak itu begitu menghapus gulana di dalam kecamuk
hatiku. Langit berubah menjadi ribuan
pendar menyilaukan. Di atas Lawang Sewu yang berdiri di depan pelupuk mata
menjadi hal yang tak semengerikan yang pernah kudengar dari orang-orang, memendar
mercon terbesar malam ini. Bangunan Neo-Klasik Belanda itu telah tersulap
menjadi tempat yang kutakjubi. Ratusan orang bergumul di sekitarnya,
menyaksikan indahnya malam pergantian tahun dengan bahagia masing-masing.
Aku
tersenyum, “Happy new year, Lannie.”
Y
“Mas, Mbak, bangun! Malah enak-enakan tidur ning kene[1]. Kalau ingin
menginap itu ya di hotel, to, kok ning pelataran swalayan ngene.”
Aku
beranjak. Astaga, hari sudah sangat cerah. Membuatku lantas menyipitkan mata
karena cahaya yang begitu jemawa mencoba menelusup masuk. Seorang satpam telah
berdiri begitu tegas dengan muka garangnya.
“Lannie,
bangun.” Kugoyangkan tubuhnya yang masih begitu pulas tertidur. Namun tak juga
bergerak. Kudapati satpam itu semakin geram, dan memasang ancang-ancang akan
menendangku begitu jauh. Hingga kupaksakan diri untuk menggendong tubuh hangat
itu. Apakah Lannie sakit?
0 comments: