Saturday, August 2, 2014

0

JEDA [Part 3]

Posted in , , ,
Mataku terus terpaku memerhatikannya yang begitu menikmati hidangannya di tempat ini. Langit telah berlumurkan tinta hitam. Kelam. Namun tempat ini tak juga sepi, justru seperti sedang merayakan suatu perayaan besar.
            Hampir beberapa kali mataku menangkap siluet klenteng di setiap rumah-rumah. Eksotika budaya Tionghoa begitu kental terasa. Bebauannya juga kurasa sama ketika aku menikmati studi tour di China Town ketika menghabiskan masa strata-satuku di Universitas Airlangga. Lannie menyebutnya, ah, kucoba mengingat-ingat. Iya, Pecinan.
            “Mengapa tidak dimakan? Tidak suka Babat Gongso?” celetuk Lannie memudarkan lamunanku. Aku menatap matanya yang telah memicing ke arahku.
Aku tersenyum. Kemudian, kusisihkan sendok yang telah tersedia di atas piring tersebut. Kuganti dengan pemberian Shakina, baru aku bisa memulai memakannya.
Lannie menggerutu, “Lelaki aneh.” Hingga kemudian ia melanjutkan memakannya dengan lahap. Di atas meja kayu ini, masih ada beberapa piring makanan yang belum tersentuh. Wedang ronde masih menguarkan kepul hangat dan harumnya, Lunpia masih begitu hangat karena sehabis ditiris dari dalam wajan panas, juga yang membuatku lantas heran seheran-herannya, masih ada semangkuk es congkling! Entah, akupun tak tahu mengapa ini dinamakan es congkling—padahal menurutku ini es kolang-kaling—yang kuherankan mengapa juga wanita itu memesannya padahal sudah ada ronde di sampingnya. Buang-buang duit saja!
Malam ini aku tak akan melanjutkan perjalananku, karena haripun telah larut malam. pikiranku membuyar, tak tahu harus ke mana melangkahkan kaki. Kutatap Lannie yang masih saja menikmati pemandangan sekitar. Ya, di sekitar Pasar Semawis yang sedang ramai oleh khalayak karena ada acara menjelang pergantian tahun.

Seperti karnaval yang kutemui di Surabaya, penari-penari itu mengenakan pakaian adat Jawa dan sesekali tereksplorasi juga yang dari adat Tionghoa, di bawah pendar keemasan yang menjadikannya semakin remang-remang mengesankan. Ah! semua ini justru mengingatkanku betapa manisnya kulalui malam tahun baru tahun lalu, jika saja tak ada urusan pekerjaan juga musibah tragis yang menimpaku ini, pasti malam ini tempatku bukanlah di sini—bersama wanita yang bukan Shakina.
“Lannie,” ucapku begitu gagu.
“Iya?” ia menjawab, tanpa pernah menggeser pandangannya demi menatapku.
“Bisakah kita mengunjungi rumah ibumu? Aku ingin menginap satu malam saja, dan mungkin setelah pergantian tahun, aku akan segera pergi dan tak merepotkanmu lagi.”
Lannie manatapku kemudian. Tatapannya sayu, seperti mendengar hal yang tak seharusnya kubuncahkan. “Apa kau yakin? Rumahnya sangat jauh, dan tak mungkin kita tembus malam ini juga.”
“Aku yakin, Lannie. Baiklah, yang pasti aku ingin bertemu ibumu,”
“Untuk apa!” tandasnya.
Ah, mulai lagi sengketa ini. Kucoba mengatur napas, hingga tak kudapati perkataanku yang mampu menyinggung perasaannya, “Untuk bilang terima kasih.”
Kudapati Lannie yang menatapku heran, “Untuk apa?”
Aku tak mampu menjawab cepat. Mataku telah terlebih dulu menyelami danau di matanya yang bulat. Lekuk alisnya melengkung, begitu manis. Lannie begitu cantik... Ah! Aku tersentak, mencoba menepis pikiranku jauh-jauh. Seharusnya aku tak melakukan ini. Seharusnya akupun tak berada di sini!
“Ah, lupakan. Jadi, malam ini kita akan ke mana?”
Lannie terdiam, kemudian tersenyum.
Y
Gemerlap cahaya itu begitu indah, memendar di antara temaramnya langit kota Atlas ini. Sorak-sorai remaja saling bersahutan di atas udara dinginnya malam. Tiupan terompet sesekali menggema, mengetuk gendang telinga. Juga derai percikan kembang api serta mercon yang mewarnai malam ini, sungguh kunikmati tanpa suatu jeda.
            “Tugu Muda selalu ramai, apalagi jika ada perayaan besar seperti ini. Jadi, jangan berharap, deh, jika ke sini hanya ingin menyepi. Apalagi untuk merenung melaraskan patah hati!” Lannie terkekeh. Kuikuti dengan tawa renyahku.
            “Kembang api itu, mengingatkanku bagaimana cinta telah membuatku terambang rasa fantasiku. Cinta memang konyol, menyakitkan. Semua hanya ada dalam cerita-cerita pada novel yang pernah kubaca.” Sesaat tatapan mataku melesat, menjamahi setiap jengkal tubuhnya yang masih saja memandang pendar bunga-bunga api di atas langit.
            “Cinta itu nyata,” sergahku, tanpa kusadari aku telah berani merusak lamunannya.
            Lannie manatapku lekat. Kali ini aku tak pernah salah, ada bening yang mampu merefleksikan pendar melalui bola matanya. Lannie menangis?
            Ia tersenyum getir, “Jika cinta ada, mengapa aku tidak pernah bisa percaya? Jika cinta mengapa lantas hatiku berubah menjadi kecamuk yang mampu merusak jiwa?”
            Tatapan matanya. Aku terpaku beberapa saat. Perlahan juga kudapati tetes bening itu terjatuh dalam pematang pipinya. Tiba-tiba saja kurasakan kepedihan melalui butir bening itu. Kepedihan dari air mata yang pernah mengalir juga dari balik kelopak mataku. Jemariku bergerak, menyeka bebutiran bening di pipinya. Puas kamu merobek perasaanku, Ragil! Ketika yang kuanggap satu-satunya cinta justru adalah pengkhianat besar atas semua cinta-cinta itu!
            Aku tersentak. Ingatan lalu telah membuatku tak bisa menutup rasa bersalah itu. Tiba-tiba kurasakan aku telah tak tahu diri menyeka bebutiran di mata wanita yang mungkin tak berhak kujamahi. Juga memang aku tak berhak bersama dengan siapapun, karena ada yang menungguku di peradaban. “Ah, maaf.”
            Aku menunduk dalam-dalam. Membiarkan gejolak di hatiku segenap hilang bersama dengan waktu yang bergulir begitu cepat. Napasku tampak tak teratur, mengingat betapa kesalahan itu masih saja terngiang-ngiang di benakku. Hal itu sudah berlalu. Sangat lama. Mengapa ketika bertemu Lannie, ingatan itu tak juga sirna?
            Tiba-tiba, suara mercon yang meledak-ledak itu begitu menghapus gulana di dalam kecamuk hatiku. Langit  berubah menjadi ribuan pendar menyilaukan. Di atas Lawang Sewu yang berdiri di depan pelupuk mata menjadi hal yang tak semengerikan yang pernah kudengar dari orang-orang, memendar mercon terbesar malam ini. Bangunan Neo-Klasik Belanda itu telah tersulap menjadi tempat yang kutakjubi. Ratusan orang bergumul di sekitarnya, menyaksikan indahnya malam pergantian tahun dengan bahagia masing-masing.
            Aku tersenyum, “Happy new year, Lannie.

Y
“Mas, Mbak, bangun! Malah enak-enakan tidur ning kene[1]. Kalau ingin menginap itu ya di hotel, to, kok ning pelataran swalayan ngene.
            Aku beranjak. Astaga, hari sudah sangat cerah. Membuatku lantas menyipitkan mata karena cahaya yang begitu jemawa mencoba menelusup masuk. Seorang satpam telah berdiri begitu tegas dengan muka garangnya.
            “Lannie, bangun.” Kugoyangkan tubuhnya yang masih begitu pulas tertidur. Namun tak juga bergerak. Kudapati satpam itu semakin geram, dan memasang ancang-ancang akan menendangku begitu jauh. Hingga kupaksakan diri untuk menggendong tubuh hangat itu. Apakah Lannie sakit?



[1] Jawa dari: di sini.



to be continued... [The Last]
back to [2]

0 comments: