JEDA [The Last]
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, jeda, karya Atika Rahma F
“Hei! Kau apakan aku!” aku tersentak. Tiba-tiba saja
kurasakan timpukan hangat mendarat di pipiku. Dengan segera Lannie beringsut
menuruni punggungku, dan berjalan mendahuluiku.
“Kita
diusir. Sudah kubilang, idemu semalam tidak akan berjalan baik. Satpam Citra
Land itu mengusir kita! Coba saja kita menginap di rumah ibumu malam itu!”
“Diam
kamu!” Lannie memutar tubuhnya dan menatapku tajam. Aku salah lagi dalam
berucap. Namun jika tak juga ia mendengarku, ia takkan membuatku malu ditonton
beberapa manusia yang berlalu-lalang keluar masuk Citra Land dengan segala
busananya yang ciamik, sedang kami hanya menumpang tidur dengan pakaian lusuh
dan bau super tidak sedap.
“Jika
tidak ingin mengikutiku lagi, sebaiknya kamu pergi saja. Pulang ke kampung
asalmu, Surabaya!”
Kali ini kurasakan amarahnya yang telah
sampai pada puncaknya. Lannie bergerak begitu cepat meninggalkanku. Aku tak
akan melepas jejaknya. Tak akan pernah. “Lannie!” Tubuh Lannie berlalu begitu
cepat, hingga tak kusadar, kami telah berada dalam kendaraan berwarna oranye
berplat H ini. Aku beringsut mendekatinya, “Lannie, kau akan ke mana?”
Mobil melesat begitu perlahan. Menyusuri
sepanjang jalanan aspal yang ramai dengan kendaraan yang terkadang ugal-ugalan.
Sesekali kondektur itu meneriakkan nama-nama setiap tikungan jalan, sembari
dengan gembiranya mengipas-ngipas lembaran uang pada wajahnya yang basah.
“Berhenti,
Pak!” ucap Lannie setengah berteriak. Kuperhatikan ia menyodorkan beberapa
lembar uang namun segera kutangkisnya, kuganti dengan beberapa lembar dariku. Lannie
menatapku dengan wajah menyalahkan, aku hanya bisa meringis.
Kaki
Lannie mengentak begitu cepat, menyusuri jalanan sempit yang tak kukenali.
Namun setelah melihat palang itu, aku mulai paham. Majapahit. Mungkin ia akan
menunjukkan satu hal kepadaku, entah—mungkin kediamannya, atau kediaman ibunya.
Tubuh
kami telah sampai pada satu tempat yang sangat kukejuti. Aku tak percaya, “Lannie,
untuk apa kau ke sini?”
Ia
tak menjawab, yang kuperhatikan justru ia semakin cepat melangkahkan kakinya
masuk. Menembus ruang demi ruang. Hingga terasa, tubuhnya terhenti. Terdiam
kaku. “Kaubilang, kau ingin bertemu dengan ibuku. Aku akan menunggumu di sini,
ucapkanlah terima kasih seperti janjimu kala itu.”
Aku
tercengang. Tak dapat kupercaya. Kutelisik ke dalam mata indahnya. Ada hal lain
yang kurasa ketika menatap lekat matanya. Kerling mata itu... Ah, ia menangis
lagi. Namun kurasakan kali ini ia menangis bersama dengan rasa pahitnya.
Tak
kulihat tubuhnya yang merespons ucapanku. Kuperhatikan jengkal tubuh wanita
paruh baya itu terdiam di atas kursinya, menatap hampa apa saja yang ada di
hadapannya. Mengapa lantas kurasakan palung jiwaku seperti terparut menjadi
kepingan-kepingan atas perasaan tabu itu? Perasaan yang tak kuketahui sejak
awal pertemuan ini.
Kudekati
tubuh ringkihnya. Jemarinya terus-menerus mengarah pada satu arah yang abstrak,
tanpa satu bentuk. Sesekali ia tertawa, hingga kemudian menjerit-jerit
sesukanya. Ketika suster itu memberi senampan nasi, tak urung juga makanan itu
terpental ditepisnya. Ia marah, sangat marah hingga napasnya tersengal-sengal.
Lalu kembali termenung.
Tubuhku
melaju sangat lambat. Aku tak ingin bila kedatanganku akan menambah kecamuk
dalam jiwanya. Berat langkahku hendak membawa mukaku berdiri kaku di hadapannya
yang masih dirundung pilu. Siapalah aku hingga begitu berani muncul di hadapan
wajah tua itu. Namun janjiku pada Lannie kala itu, membuatku tetap melangkah
maju. “Ibu—”
Wanita
itu mengerjap. Matanya membeliak lebar, persis menumbuk tatap mataku yang
nanar. Kurasakan tubuhnya yang beku mencengkeram kaku, membekaskan tancapan
merah lewat kuku-kukunya yang tajam menusuk kulitku. Kudekatkan wajahku di samping
telinganya. Kubisikkan kata-kata yang telah kurancang sejak keinginanku bertemu
dengannya tercipta. Ucapan terima kasih mengalir begitu lembut, hingga
kurasakan hangat bulir bening itu menyentuh bahuku. Ia memelukku, sembari
menangis kalut. Ia memelukku, hangat peluknya kurasa begitu melekat.
Kuperhatikan
tubuh Lannie yang masih berdiri di balik dinding pembatas bilik ruangan kecil
ini. Ia menangis, menatap tubuh kami.
Y
“Sudah lama aku tak mengunjungi tempat ini. Semenjak
Ibu dipindahkan ke rumah sakit jiwa itu, aku harus dapat membagi waktu untuk
menempatkan kapan akan bekerja, kapan akan menemuinya,” Lannie tersenyum,
“Orang-orang berpikir, ia adalah orang gila. Namun, kuartikan merekalah yang
gila. Ibu hanya rindu pada sosok Ayah, hanya itu. Bukankah memang cinta bisa
menjadikan seseorang terombang-ambing dalam segala rasa? Itu yang sedang
dirasakan Ibu. Ibu sangat mencintai Ayah.”
Aku
mengangguk. Bibirku dibuat kelu oleh ucapan itu. Tubuh Lannie perlahan luruh.
Bersimpuh di samping gundukan tanah yang telah tercipta rumput di segala
sisinya. Wajahnya tertangkup. Seketika lenyap rasa gundah itu. Ia tersenyum,
ciuman hangat mendarat pada kerasnya batu nisan yang telah lapuk oleh waktu.
“Cinta
mereka begitu besar, sampai pada saat kematian memisahkan masing-masing jiwa,
cinta mereka akan tetap terasa nyata.”
“Kau
menceritakan semua kepadaku, apa kautak mencurigaiku?”
Lannie
menolehkan kepala ke arahku, dalam hitungan detik kudapati lengkung bibirnya
yang mencetak simpul senyum manis. Lannie tersenyum kepadaku, tanpa memberitahu
apa makna di baliknya.
“Lalu,
lantas mengapa ibumu seketika memelukku ketika aku berhasil muncul di
hadapannya?” kutanyakan sekali lagi, karena acapkali rasa penasaran ini ingin
membunuhku, memaksaku untuk mencari tahu jawaban itu.
“Itulah
alasanku melarangmu menemuinya.”
“Ragil!”
Aku tersentak. Suara itu, desah napas yang sangat kukenali itu.
“Shakina?”
Tubuh
itu mendekat, berlari ke arahku, seakan selaksa peristiwa ketika perpisahan
kami di bandara kala itu terulang kembali. Kurasakan lagi bagaimana napasku
dibuatnya sesak karena pelukan hangat yang melekat erat membunuh jarak di
antara kami berdua.
“Ragil,
kau baik-baik saja, hm? Tak ada yang terluka, bukan? Aku sangat cemas menanti
kabarmu. Aku mencari-carimu di penjuru ibukota, namun ternyata kau berada di
sini. Apa yang kaulakukan, Ragil?” ia menatap lekat bola mataku. Namun kudapati
sorot matanya yang beringsut menjamahi satu sosok yang berdiri hampa di balik
punggungku. Ia tersentak, sungguh, bahkan air wajahnya berubah menjadi
sekelumat mendung dengan jutaan gelegar petir di dalamnya, “Melani?”
Aku
tercekat. Ucapan Shakina benar-benar membuatku tak percaya dan seketika detak
jantungku berdebar begitu kencangnya. Kutatap bening mata keduanya yang lantas
menatapku sayu. Kujamahi begitu lekat bola mata wanita itu. Kurasakan getaran
hebat. Lannie— Melani?
“Kau
bertemu dengannya?” Ucapan Shakina lantas tak kuhiraukan. Bahkan ketika
berkali-kali ia meminta jawaban atas pertanyaan retorikanya, mataku tak juga
terenyak memaku pandangannya. Tatapan mata yang pernah melarung rindu di
benakku. Tatapan mata yang pernah kumiliki.
“Kita
akan kembali ke Surabaya.” Shakina menarik tubuhku begitu beringas. Hingga
kudapati jarak yang kembali memisahkan kami—antara aku dan Lannie—Melani masa
laluku. Hingga sesal kembali terkuak karena ia tak juga berkata jujur atas
pertemuan ini.
Aku
melonjak. Menepis segala cengkeraman yang membelit pada tubuhku. Dan tubuh
Shakina sedikit terpental karena kekasaranku telah menangkisnya. Napasku
terdengar begitu berat. Api di dalam bola mataku telah membelatik hebat. Aku
perlu tahu jawaban ini.
Kuberanjakkan
tubuhku mendekati Lannie, kutatap matanya yang hanya membalasku dengan lengosan
yang mengacuhkan keseriusanku. “Mengapa kaudiam, Melani? Kaumengetahui semuanya
namun kau membiarkan aku bersikap bodoh seakan kita tak saling kenal! Mengapa,
Melani?”
“Kau
yang memutuskan semuanya. Kau yang inginkan terlepas, Ragil. Kaubilang aku
harus melupakanmu karena cinta yang kuberi hanya akan menambah sesal pada
nganga luka di hatiku. Namun saat pertemuan itu, takdir kembali membawaku
menatap indah mata yang tak mungkin bisa kumiliki. Aku masih tetap mengingatmu,
namun kau yang begitu cepat melupakan semua kisah yang pernah terjadi di antara
kita! Kaulah pengkhianat besar itu, Ragil. Kau! Satu sosok yang begitu
kubanggakan, dulu.”
Aku
terdiam. Seakan waktu telah berhenti bergulir dan jantung berhenti
meresonansikan setiap detak yang mengalir. Kini air matakulah yang luruh
bersama dengan luka yang tepercik karena penyesalanku. “Maafkan aku, Melani.”
Y
Kusandarkan tubuhku pada kursi empuk di dalam bus
ini. Mataku tiada berkutik memandangi setiap lesatan-lesatan pohon yang hanya
berbekas fatamorgana. Malam telah melenyapkan senja-senja itu, yang terakhir
kunikmati berdua dengan seseorang yang ternyata kekasih masa laluku sendiri.
Shakina
hanya terdiam. Kuyakin ia kecewa dengan apa yang didapatinya hari ini. Di balik
kaca bening ini, kutamatkan pandanganku pada kilauan warna-warni lampu rumah
yang tersebar merata di penghujung bukit. Bak mutiara yang tersebar memancar
kilauan menakjubkan. Taman Tabanas, seperti yang tercetak pada sebuah papan di
sisi jalan Gombel ini. Mengingatkanku akan hal teromantis yang pernah kulakukan
enam tahun yang lalu.
Aku
pernah merasakan indahnya melarung kasih di bawah letupan kembang api di langit
Surabaya, kini kembali kurasakan di tempat yang berbeda. Namun jika kuingat hal
itu, perpisahan kami adalah awal kisah membangun bahteraku berdua dengan
Shakina—wanita yang mereka pilihkan untukku dulu, hingga kudapati hati Melani
yang terpatahkan karena keputusanku. Benar katanya, aku yang menginginkannya
terlepas. Hingga saat pertemuan kembali itu, kurasakan sesal yang menghakimi
perasaanku. Antara aku dengannya, hanyalah goresan kisah masa laluku.
Kutitipkan
lembar kenangan manis itu di sini—di Semarang. Walau tak dapat kupungkiri,
Surabaya akan tetap mengusikku dengan ingatan lalu, meski garis takdir telah membawaku
pergi bersama satu yang telah mengisi lubuk hati.
Bersama
Shakina.
the end.
thanks for reading.
0 comments: