Saturday, August 2, 2014

0

JEDA [The Last]

Posted in , , ,
“Hei! Kau apakan aku!” aku tersentak. Tiba-tiba saja kurasakan timpukan hangat mendarat di pipiku. Dengan segera Lannie beringsut menuruni punggungku, dan berjalan mendahuluiku.
            “Kita diusir. Sudah kubilang, idemu semalam tidak akan berjalan baik. Satpam Citra Land itu mengusir kita! Coba saja kita menginap di rumah ibumu malam itu!”
            “Diam kamu!” Lannie memutar tubuhnya dan menatapku tajam. Aku salah lagi dalam berucap. Namun jika tak juga ia mendengarku, ia takkan membuatku malu ditonton beberapa manusia yang berlalu-lalang keluar masuk Citra Land dengan segala busananya yang ciamik, sedang kami hanya menumpang tidur dengan pakaian lusuh dan bau super tidak sedap.
            “Jika tidak ingin mengikutiku lagi, sebaiknya kamu pergi saja. Pulang ke kampung asalmu, Surabaya!”
Kali ini kurasakan amarahnya yang telah sampai pada puncaknya. Lannie bergerak begitu cepat meninggalkanku. Aku tak akan melepas jejaknya. Tak akan pernah. “Lannie!” Tubuh Lannie berlalu begitu cepat, hingga tak kusadar, kami telah berada dalam kendaraan berwarna oranye berplat H ini. Aku beringsut mendekatinya, “Lannie, kau akan ke mana?”
Mobil melesat begitu perlahan. Menyusuri sepanjang jalanan aspal yang ramai dengan kendaraan yang terkadang ugal-ugalan. Sesekali kondektur itu meneriakkan nama-nama setiap tikungan jalan, sembari dengan gembiranya mengipas-ngipas lembaran uang pada wajahnya yang basah.

            “Berhenti, Pak!” ucap Lannie setengah berteriak. Kuperhatikan ia menyodorkan beberapa lembar uang namun segera kutangkisnya, kuganti dengan beberapa lembar dariku. Lannie menatapku dengan wajah menyalahkan, aku hanya bisa meringis.
            Kaki Lannie mengentak begitu cepat, menyusuri jalanan sempit yang tak kukenali. Namun setelah melihat palang itu, aku mulai paham. Majapahit. Mungkin ia akan menunjukkan satu hal kepadaku, entah—mungkin kediamannya, atau kediaman ibunya.
            Tubuh kami telah sampai pada satu tempat yang sangat kukejuti. Aku tak percaya, “Lannie, untuk apa kau ke sini?”
            Ia tak menjawab, yang kuperhatikan justru ia semakin cepat melangkahkan kakinya masuk. Menembus ruang demi ruang. Hingga terasa, tubuhnya terhenti. Terdiam kaku. “Kaubilang, kau ingin bertemu dengan ibuku. Aku akan menunggumu di sini, ucapkanlah terima kasih seperti janjimu kala itu.”
            Aku tercengang. Tak dapat kupercaya. Kutelisik ke dalam mata indahnya. Ada hal lain yang kurasa ketika menatap lekat matanya. Kerling mata itu... Ah, ia menangis lagi. Namun kurasakan kali ini ia menangis bersama dengan rasa pahitnya.
            Tak kulihat tubuhnya yang merespons ucapanku. Kuperhatikan jengkal tubuh wanita paruh baya itu terdiam di atas kursinya, menatap hampa apa saja yang ada di hadapannya. Mengapa lantas kurasakan palung jiwaku seperti terparut menjadi kepingan-kepingan atas perasaan tabu itu? Perasaan yang tak kuketahui sejak awal pertemuan ini.
            Kudekati tubuh ringkihnya. Jemarinya terus-menerus mengarah pada satu arah yang abstrak, tanpa satu bentuk. Sesekali ia tertawa, hingga kemudian menjerit-jerit sesukanya. Ketika suster itu memberi senampan nasi, tak urung juga makanan itu terpental ditepisnya. Ia marah, sangat marah hingga napasnya tersengal-sengal. Lalu kembali termenung.
            Tubuhku melaju sangat lambat. Aku tak ingin bila kedatanganku akan menambah kecamuk dalam jiwanya. Berat langkahku hendak membawa mukaku berdiri kaku di hadapannya yang masih dirundung pilu. Siapalah aku hingga begitu berani muncul di hadapan wajah tua itu. Namun janjiku pada Lannie kala itu, membuatku tetap melangkah maju. “Ibu—”
            Wanita itu mengerjap. Matanya membeliak lebar, persis menumbuk tatap mataku yang nanar. Kurasakan tubuhnya yang beku mencengkeram kaku, membekaskan tancapan merah lewat kuku-kukunya yang tajam menusuk kulitku. Kudekatkan wajahku di samping telinganya. Kubisikkan kata-kata yang telah kurancang sejak keinginanku bertemu dengannya tercipta. Ucapan terima kasih mengalir begitu lembut, hingga kurasakan hangat bulir bening itu menyentuh bahuku. Ia memelukku, sembari menangis kalut. Ia memelukku, hangat peluknya kurasa begitu melekat.
            Kuperhatikan tubuh Lannie yang masih berdiri di balik dinding pembatas bilik ruangan kecil ini. Ia menangis, menatap tubuh kami.
Y
“Sudah lama aku tak mengunjungi tempat ini. Semenjak Ibu dipindahkan ke rumah sakit jiwa itu, aku harus dapat membagi waktu untuk menempatkan kapan akan bekerja, kapan akan menemuinya,” Lannie tersenyum, “Orang-orang berpikir, ia adalah orang gila. Namun, kuartikan merekalah yang gila. Ibu hanya rindu pada sosok Ayah, hanya itu. Bukankah memang cinta bisa menjadikan seseorang terombang-ambing dalam segala rasa? Itu yang sedang dirasakan Ibu. Ibu sangat mencintai Ayah.”
            Aku mengangguk. Bibirku dibuat kelu oleh ucapan itu. Tubuh Lannie perlahan luruh. Bersimpuh di samping gundukan tanah yang telah tercipta rumput di segala sisinya. Wajahnya tertangkup. Seketika lenyap rasa gundah itu. Ia tersenyum, ciuman hangat mendarat pada kerasnya batu nisan yang telah lapuk oleh waktu.
            “Cinta mereka begitu besar, sampai pada saat kematian memisahkan masing-masing jiwa, cinta mereka akan tetap terasa nyata.”
            “Kau menceritakan semua kepadaku, apa kautak mencurigaiku?”
            Lannie menolehkan kepala ke arahku, dalam hitungan detik kudapati lengkung bibirnya yang mencetak simpul senyum manis. Lannie tersenyum kepadaku, tanpa memberitahu apa makna di baliknya.
            “Lalu, lantas mengapa ibumu seketika memelukku ketika aku berhasil muncul di hadapannya?” kutanyakan sekali lagi, karena acapkali rasa penasaran ini ingin membunuhku, memaksaku untuk mencari tahu jawaban itu.
            “Itulah alasanku melarangmu menemuinya.”
            “Ragil!” Aku tersentak. Suara itu, desah napas yang sangat kukenali itu.
“Shakina?”
            Tubuh itu mendekat, berlari ke arahku, seakan selaksa peristiwa ketika perpisahan kami di bandara kala itu terulang kembali. Kurasakan lagi bagaimana napasku dibuatnya sesak karena pelukan hangat yang melekat erat membunuh jarak di antara kami berdua.
            “Ragil, kau baik-baik saja, hm? Tak ada yang terluka, bukan? Aku sangat cemas menanti kabarmu. Aku mencari-carimu di penjuru ibukota, namun ternyata kau berada di sini. Apa yang kaulakukan, Ragil?” ia menatap lekat bola mataku. Namun kudapati sorot matanya yang beringsut menjamahi satu sosok yang berdiri hampa di balik punggungku. Ia tersentak, sungguh, bahkan air wajahnya berubah menjadi sekelumat mendung dengan jutaan gelegar petir di dalamnya, “Melani?”
            Aku tercekat. Ucapan Shakina benar-benar membuatku tak percaya dan seketika detak jantungku berdebar begitu kencangnya. Kutatap bening mata keduanya yang lantas menatapku sayu. Kujamahi begitu lekat bola mata wanita itu. Kurasakan getaran hebat. Lannie— Melani?
            “Kau bertemu dengannya?” Ucapan Shakina lantas tak kuhiraukan. Bahkan ketika berkali-kali ia meminta jawaban atas pertanyaan retorikanya, mataku tak juga terenyak memaku pandangannya. Tatapan mata yang pernah melarung rindu di benakku. Tatapan mata yang pernah kumiliki.
            “Kita akan kembali ke Surabaya.” Shakina menarik tubuhku begitu beringas. Hingga kudapati jarak yang kembali memisahkan kami—antara aku dan Lannie—Melani masa laluku. Hingga sesal kembali terkuak karena ia tak juga berkata jujur atas pertemuan ini.
            Aku melonjak. Menepis segala cengkeraman yang membelit pada tubuhku. Dan tubuh Shakina sedikit terpental karena kekasaranku telah menangkisnya. Napasku terdengar begitu berat. Api di dalam bola mataku telah membelatik hebat. Aku perlu tahu jawaban ini.
            Kuberanjakkan tubuhku mendekati Lannie, kutatap matanya yang hanya membalasku dengan lengosan yang mengacuhkan keseriusanku. “Mengapa kaudiam, Melani? Kaumengetahui semuanya namun kau membiarkan aku bersikap bodoh seakan kita tak saling kenal! Mengapa, Melani?”
            “Kau yang memutuskan semuanya. Kau yang inginkan terlepas, Ragil. Kaubilang aku harus melupakanmu karena cinta yang kuberi hanya akan menambah sesal pada nganga luka di hatiku. Namun saat pertemuan itu, takdir kembali membawaku menatap indah mata yang tak mungkin bisa kumiliki. Aku masih tetap mengingatmu, namun kau yang begitu cepat melupakan semua kisah yang pernah terjadi di antara kita! Kaulah pengkhianat besar itu, Ragil. Kau! Satu sosok yang begitu kubanggakan, dulu.”
            Aku terdiam. Seakan waktu telah berhenti bergulir dan jantung berhenti meresonansikan setiap detak yang mengalir. Kini air matakulah yang luruh bersama dengan luka yang tepercik karena penyesalanku. “Maafkan aku, Melani.”
Y
Kusandarkan tubuhku pada kursi empuk di dalam bus ini. Mataku tiada berkutik memandangi setiap lesatan-lesatan pohon yang hanya berbekas fatamorgana. Malam telah melenyapkan senja-senja itu, yang terakhir kunikmati berdua dengan seseorang yang ternyata kekasih masa laluku sendiri.
            Shakina hanya terdiam. Kuyakin ia kecewa dengan apa yang didapatinya hari ini. Di balik kaca bening ini, kutamatkan pandanganku pada kilauan warna-warni lampu rumah yang tersebar merata di penghujung bukit. Bak mutiara yang tersebar memancar kilauan menakjubkan. Taman Tabanas, seperti yang tercetak pada sebuah papan di sisi jalan Gombel ini. Mengingatkanku akan hal teromantis yang pernah kulakukan enam tahun yang lalu.
            Aku pernah merasakan indahnya melarung kasih di bawah letupan kembang api di langit Surabaya, kini kembali kurasakan di tempat yang berbeda. Namun jika kuingat hal itu, perpisahan kami adalah awal kisah membangun bahteraku berdua dengan Shakina—wanita yang mereka pilihkan untukku dulu, hingga kudapati hati Melani yang terpatahkan karena keputusanku. Benar katanya, aku yang menginginkannya terlepas. Hingga saat pertemuan kembali itu, kurasakan sesal yang menghakimi perasaanku. Antara aku dengannya, hanyalah goresan kisah masa laluku.
            Kutitipkan lembar kenangan manis itu di sini—di Semarang. Walau tak dapat kupungkiri, Surabaya akan tetap mengusikku dengan ingatan lalu, meski garis takdir telah membawaku pergi bersama satu yang telah mengisi lubuk hati.

            Bersama Shakina.


the end.

thanks for reading.

0 comments: