Jingga dalam Langit Senja
Posted in @atikarahmaa, Cerpen, Jingga dalam Langit Senja, karya Atika Rahma F, romance story
by Atika Rahma F.
Jika ada yang bertanya; siapa yang
paling berbahagia hari ini, aku akan memaksa dunia agar menyudutkan namaku. Aku
akan merayu angin agar hanya namaku yang terbisikkan begitu lembut dan merdu di
penjuru dunia.
Aku
sangat bahagia. Hari ini adalah saat di mana hatiku telah merekah karena telah
kutemui dermaga pada bahtera hidup yang telah lama kunanti hadirnya. Kuyakin
dengan gaun ini, kelak kutemui sebuah cahaya menuju kehidupan baru yang akan
kuarungi berdua dengan yang terkasih. Langit. Bagai naungan luas yang memberi
atap kehidupan, Langit pun begitu—memberiku hidup yang begitu berarti. Orang-orang
menyebutnya pria misterius lantaran acap kali mengunci mulut bila mereka
bertanya tentang pertunangan kami. Ah, aku tak mampu menerjemah apa maksud
orang-orang, aku hanya bisa mengartikan selaksa rasa ini adalah kebahagiaan
yang selangkah lagi berhasil kujamah.
Aku
tersenyum, menatap postur menjulang di balik kaca rias itu. Wanita yang dahulu
tak mengerti arah arus hidupnya bermuara, kini segalanya terarah karena
kehadiran Langit. Lihatlah, aku begitu
cantik dengan gaun ini, gumamku dalam hati. Namun, seketika ada yang
membuatku berhenti menggurat senyum simpul, ketika mataku berhasil menjalari
satu hal yang tiba-tiba membuatku mengerjapkan mata. Sesuatu yang menjadikan
bibirku semakin merah. Kuyakin ini bukan lisptik, kuyakin bukan. Aku tidak pernah
memakai lisptik berlebihan seperti saat ini, karena Langit tak akan
menyukainya. Perlahan pula kurasakan dunia seolah berputar begitu cepat. Tak
terkendali. Tuhan, kumohon jangan sekarang...
Y
“Jingga.”’
Aku
mendongak. Betapa cahaya putih itu telah membuatku menyipitkan mata. Seseorang
datang di antara partikel-partikel cahaya tersebut menyebar. Tak kuketahui,
siapa pemilik suara memesona itu, yang kutahu ia hanya menatapku nyalang dengan
mata elangnya.
“Jingga,
apa kau baik-baik saja?”
“Langit?”
Tak kuduga, seseorang itu adalah Langit, kekasihku sendiri. Pria yang begitu
beraninya memberikan separuh hatinya untukku. Pria yang memberiku arti cinta,
suguhan-suguhan asmara yang tiada henti membuatku menyunggingkan senyum manis
yang kupunya dan mungkin hanya akan kubagi dengannya.
“Jingga,
bukan saatnya kau ada di sini. Ikutlah bersamaku.” Tangan Langit terulur
kepadaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengikuti ke mana
langkahnya pergi. Aku tak ingin kehilangan Langit. Rasa kehilanganku sama besar
dengan rasa cinta ketika kali pertama ia menambatkan hatinya padaku.
“Kau
akan membawaku ke manapun kau mau ‘kan? Aku akan tetap bersama denganmu,
Langit?”
Langit
tak menjawab. Yang kutahu, wajahnya berubah beku. Kelu. Tak semanis saat
kutatap pesonanya yang nyata. Tak sehangat senyum sapa dan desauan suara yang
mengalir dari bibirnya. Langitku berubah mendung, berbadai dan bergelegar kilat
di dalamnya. “Langit, kautak apa?”
Kemudian
Langit melepas genggaman erat tangannya. Ada yang membuat jantungku berdebar
tak beraturan ketika mengetahui, perlahan-lahan ia membalik menatapku tajam.
Wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Seringai yang tak semanis
senyumannya. Apa yang terjadi dengan Langit?
“Jangan
pernah tanyakan apa kau akan selalu bersamaku karena itu tidak akan terjadi!
Jangan pernah memanggilku Langit karena semua itu hanya kuperuntukkan kepada
wanita yang telah lama mengisi hatiku ini! Kau, kau hanya kubawa pergi untuk
menuju neraka bersama semua luka-lukamu yang seringnya membuatku risi!”
Aku
tersentak. Perlahan kudapati butir hangat mengalir pada pematang pipiku. Ia
bukan Langit. Aku tak mengenalnya. Namun itu suara Langit, tubuh Langit, hanya
saja raganya tak sedang di sana. Kuyakin langit mencintaiku, kuyakin Langit tak
akan lupa dengan ikrar cintanya yang tertambat lekat di ulu hatiku dan hatinya.
Kuyakin Langit akan selalu bersama senja, hingga jingganya mampu mengantarnya
pada kegelapan malam. Dan kuyakin Langit akan menjadi milikku selamanya.
Langit!
“Langit...
Langit!”
“Jangan
bergerak, Jingga. Tenang, tenang. Jangan banyak bergerak.” Suara itu sudah
begitu kukenali. Ya, di saat napas masih tersengal-sengal dan keringat mengucur
begitu derasnya, aku masih sempat mengingatnya—dokter spesialis organ dalam.
“Aku
ingin bertemu dengan Langit, calon tunanganku!” Aku menyergap. Membiarkan
selang itu bergerak lincah hingga menghalangi laju Dokter Brian yang hendak
membekapku dengan biusnya.
“Dokter!
Aku sudah lelah dengan semua peraturan yang kaubuat, biarkan aku mencari
Langit!” Aku murka kepadanya. Mataku membulat sempurna, urat-urat amarah telah
tercetak begitu kentara dalam bulat mataku.
Seketika
aku tergagap. Mulutku kembali terkatup-katup lantaran gaun putih itu tak lagi
kukenakan. Siapa yang telah berani menggantinya dengan seragam pasien yang
lusuh seperti ini? Warnanya biru, ah, semua ini mengingatkanku pada Langit!
“Dokter!
Mana gaunku! Apa kau tak lihat sebentar lagi aku akan bertunangan dengan Langit
Baskara? Aku calon tunangannya, Dokter! Satu-satunya wanita yang ia cintai!”
Aku
tak mengerti mengapa Dokter hanya menimpali segala kalimatku dengan bekapan
mulut belaka, tanpa sepatah kata. Ia pun kini tak lagi memaksaku untuk tak
bergerak begitu beringas, yang kulihat justru ia terdiam terpaku. Seperti ada
yang tersimpan di balik dua bola matanya yang lalu menatapku sayu. Ya, ia tak
dapat membohongiku.
“Jingga,
ada beberapa hal yang tidak kauketahui selama koma beberapa hari ini.”
Seperti
menghunjam jantung, kalimatnya begitu memecah kecemasan. Hancur
berkeping-keping. Akankah ini berita buruk untukku, atau setelah ini akan ada
air mata yang mengalir tiada batasnya? Ah, tidak, Langit sudah menungguku
begitu lama, itulah yang akan Dokter Brian katakan. “Langit sudah mempersiapkan
segalanya, benar begitu, Dok?” ucapku penuh dengan binar-binar di mataku.
Lagi
dan lagi, bukannya mengangguk, ia justru berbalik menjauhiku. Berjalan begitu
pelan menuju ambang pintu. Semakin aku tak mengerti dengan jalan pikirannya
saat ini. mengapa ia tak bisa jujur?
“Dokter!
Langit mencintaiku ‘kan? Semua orang tahu jika kami akan segera berlabuh
bersama!” Dan mengapa, ketika kukatakan kalimat membahagiakan ini justru yang
membuncah hanya derai air mata. Aku tak mengerti mengapa justru semua menjadi
siksa bagiku. Kucoba tertawa, bahkan yang ada hanya amarah jiwa. Segalanya
serba berkebalikan.
Y
Langit berbohong. Kutahu, ini
kebohongan pertama yang ialakukan terhadapku. Ia berbohong soal senja kala itu.
Pantai
Losari adalah saksi pertemuan kami yang pertama, hingga hari-hari berikutnya
kami selalu menyempatkan menikmati indahnya senja di langitnya yang memesona.
Langit berkata padaku, bahwa senja akan selalu setia kepada langit hingga
dengan semburat jingganya ia akan menggantinya dengan langit yang temaram. Aku
tak mengerti apa yang ia maksud, namun ia menambahkan dengan satu kalimat yang
mampu mengubah rasa ragu menjadi senyum mengembang. Langit berkata bahwa jingga
adalah hal terindah yang pernah dimiliki langit. Aku adalah hal terindah yang
pernah dimilikinya.
Langit
begitu bodoh. Langit sangat bodoh.
Kurasakan
dekap hangat sesosok yang lalu menangis di bahuku. Entah, kepercayaan itu tak
lagi ada. Dahulu, ialah tempatku meregang tawa bersama. Menjadi langit hanya
milik kami berdua. Namun ternyata kusalah, langit hanya miliknya saja.
Kuhempas
tubuhnya hingga ia terjatuh. Tak peduli seberapa berartinya ia dahulu. Tak
peduli bagaimana kehadirannya mampu mengisi sela hatiku yang tak terisi
siapapun, hingga persahabatan menjadikan segalanya yang abu-abu, menjadi
sememesona pelangi. Aku tak peduli semua itu. Yang kutahu, dunia sedang
mempecundangiku.
Simpang
siur Dokter Brian yang memberikan lembaran kertas—entah apa kepada wanita tua
yang tak lain adalah ibuku—wanita tua yang turut ambil andil dalam retaknya
hatiku yang sakitnya terasa nyata. Ialah, yang mengaku melahirkanku namun
akhirnya menyamakanku dengan binatang jalang yang siap dibuang.
Untuk penghormatanmu,
menikahlah dengan wanita lain yang lebih bisa membahagiakanmu, Nak Langit.
Berengsek. Kedua wanita itu memang
patut dijuluki semacam itu.
“Jingga,
maafkan aku. Maaf atas pengkhianatan ini. Maaf atas segala hal yang terjadi
padamu saat ini. Namun aku tak pernah bisa membohongi diri sendiri, aku juga
mencintainya Jingga. Telah lama hatiku terluka melihatmu berdua dengannya
sedangkan aku hanya bisa bermimpi mendapat cinta darinya meski hanya satu
bulir,”
“CUKUP!”
“Maafkan
aku, Jingga. Ikhlaskan semua ini,”
“DIAM!”
Kutatap
matanya geram, sehingga kudapati manusia-manusia itu memerhatikanku dengan
kecemasan yang tercetak pada raut mukanya. Aku tak peduli. Mereka semua iblis,
tak mengerti bagaimana hati yang perlahan tertoreh. Tak mengerti hati yang tak
mungkin bisa kembali utuh merasakan indahnya dicintai dan mencintai.
“Kau
bilang kau terluka melihatku berdua dengan Langit? Lalu dapatkah kau
mengartikan berapa besar rasa sakitku ketika mengetahui satu-satunya orang yang
kuberi hati yang utuh lebih memilih mencintai sahabatku daripada aku—yang hanya
seonggok daging yang sering keluar-masuk rumah sakit karena sekarat terserang
sirosis? Apa yang bisa kaulakukan ketika orang yang kausayang justru memberimu
pengkhianatan dengan caranya mencintai hati lain secara diam-diam?” Satu butir
mengalir pada pipiku. Rupanya aku tak handal untuk emnyimpan bendungan di
mataku yang sudah berancang akan mengalir deras. Aku tak bisa menahannya.
“Apa
yang kaulakukan ketika satu-satunya hati yang kaupercaya justru menjadi orang
yang paling memberimu luka?” imbuhku, dengan nada yang menurun. Meski getir tak
terkalahkan.
“Ke
mana lagi ‘kan kutemui hati bila bukan pada Langit, Senja?” Sudah. Aku tak
dapat lagi menahan gejolak di hati. Kurasakan tubuhku ringkih dan sesosok telah
merengkuhku dalam pelukannya. Pelukan yang kukenal. Pelukan yang pernah menjadi
milikku seutuhnya. Pelukan yang selalu kunanti kehangatannya.
“Ke
mana lagi ‘kan kutemui hati bila bukan padamu...,”
Y
“Sudah baikan, Mbak Jingga?”
Aku
tersentak. Seketika kuberanjak dari ranjang putih ini. Kudapati Mbak Vira sudah
berdiri di hadapanku dengan wajah penuh kecemasan. Ternyata aku pingsan.
“Aku
tidak kenapa-napa, Mbak,” jawabku lemas. Aku mencoba mengatur napas yang hampir
tak bisa kukendalikan. Rasanya sesak.
“Kira-kira
masih sanggup melaksanakan pernikahannya?”
Aku
terperangah. Pernikahan? Kutelisik tubuhku dalam-dalam, ternyata memang benar
aku masih mengenakan gaun putih ini. Aku ingat sesuatu, terakhir kali
kutamatkan pandanganku pada wanita berpostur menjulang di balik cermin. Aku
akan menikah. Aku akan mengarungi indahnya bahtera bersama sesosok yang Tuhan
pilihkan untukku.
“Sudah
menunggu lama, Mbak?”
Mbak
Vira menggeleng pelan, “Mempelai pria sudah hampir memasuki area. Mbak harus
sudah siap-siap.” Dengan sigap, ia memamahku untuk berjalan melewati permadani
merah panjang yang menjulang hingga menuju tempat yang benar-benar indah.
Aku
lupa memberitahukan pada dunia, bahwa hari ini akan tetap menjadi hari
bahagiaku. Aku sudah menjatuhkan hatiku pada pilihan yang tepat. Aku akan
berlabuh menuju dermaga dengan bahtera baru kami. Aku akan berlabuh bersama
Langit yang lain.
Aku
telah melumpuhkan ingatanku bila semua tentang Langit—pria yang menjadikanku
seseorang yang merasa paling bahagia sekaligus paling tersiksa. Kini aku
mengerti makna di balik perkataan ambigu yang tak kunjung kupahami kala itu; senja akan selalu setia kepada langit hingga
dengan semburat jingganya ia akan menggantinya dengan langit yang temaram. Iya,
betapa bodohnya aku.
Langit
mencintai Senja—sahabatku—bukan aku.
Memang,
saat itu langitku berubah temaram. Langit yang aku dan Senja miliki berdua,
kini menjadi milik Senja seutuhnya. Karena seperti kata Langit, langit dan
senja akan selalu bersama. Langit berbohong bila jingga adalah hal yang
terindah yang dimiliki langit, karena senjalah yang sebenarnya menjadikan
langit adalah hal terindah yang pernah ada.
Aku
tersenyum. Dalam getir itu aku masih sanggup mencoba menggurat senyum di
bibirku. Kuseka bebutiran yang sudah terlebih dulu hadir tanpa kuminta. Masih
saja kupikirkan tentang yang lalu ketika kucoba mengatakan aku sudah
melumpuhkan segala ingatan.
Kini,
di hadapanku, telah ada Langit yang lain yang menungguku mengarungi bahtera
bersamanya. Aku percaya, karena cinta akan hadir di saat yang tepat. Dan
mungkin inilah saatnya aku dengannya mencari bahtera kami sendiri. Menyusul
Langit dan Senja yang telah lama mengarungi tanpa terlibat setitik jingga yang
akan menjadikannya temaram.
Cukup,
aku merasa bahagia hari ini. Jingga dan Laut, kuyakin itu cukup buatku merasa
seakan akulah wanita paling bahagia yang akan menyisir kehidupan baru hanya
bersamanya yang telah kupilih sebagai pengisi hatiku yang kosong. Sebagai
pengganti Langitku yang hilang.
Laut, maukah kau menjadi tempatku meletakkan separuh hatiku yang tersisa?
Y
0 comments: