Sunday, August 3, 2014

0

Jingga dalam Langit Senja

Posted in , , , ,
by Atika Rahma F.


Jika ada yang bertanya; siapa yang paling berbahagia hari ini, aku akan memaksa dunia agar menyudutkan namaku. Aku akan merayu angin agar hanya namaku yang terbisikkan begitu lembut dan merdu di penjuru dunia.
            Aku sangat bahagia. Hari ini adalah saat di mana hatiku telah merekah karena telah kutemui dermaga pada bahtera hidup yang telah lama kunanti hadirnya. Kuyakin dengan gaun ini, kelak kutemui sebuah cahaya menuju kehidupan baru yang akan kuarungi berdua dengan yang terkasih. Langit. Bagai naungan luas yang memberi atap kehidupan, Langit pun begitu—memberiku hidup yang begitu berarti. Orang-orang menyebutnya pria misterius lantaran acap kali mengunci mulut bila mereka bertanya tentang pertunangan kami. Ah, aku tak mampu menerjemah apa maksud orang-orang, aku hanya bisa mengartikan selaksa rasa ini adalah kebahagiaan yang selangkah lagi berhasil kujamah.
            Aku tersenyum, menatap postur menjulang di balik kaca rias itu. Wanita yang dahulu tak mengerti arah arus hidupnya bermuara, kini segalanya terarah karena kehadiran Langit. Lihatlah, aku begitu cantik dengan gaun ini, gumamku dalam hati. Namun, seketika ada yang membuatku berhenti menggurat senyum simpul, ketika mataku berhasil menjalari satu hal yang tiba-tiba membuatku mengerjapkan mata. Sesuatu yang menjadikan bibirku semakin merah. Kuyakin ini bukan lisptik, kuyakin bukan. Aku tidak pernah memakai lisptik berlebihan seperti saat ini, karena Langit tak akan menyukainya. Perlahan pula kurasakan dunia seolah berputar begitu cepat. Tak terkendali. Tuhan, kumohon jangan sekarang...
Y

“Jingga.”’
            Aku mendongak. Betapa cahaya putih itu telah membuatku menyipitkan mata. Seseorang datang di antara partikel-partikel cahaya tersebut menyebar. Tak kuketahui, siapa pemilik suara memesona itu, yang kutahu ia hanya menatapku nyalang dengan mata elangnya.
            “Jingga, apa kau baik-baik saja?”
            “Langit?” Tak kuduga, seseorang itu adalah Langit, kekasihku sendiri. Pria yang begitu beraninya memberikan separuh hatinya untukku. Pria yang memberiku arti cinta, suguhan-suguhan asmara yang tiada henti membuatku menyunggingkan senyum manis yang kupunya dan mungkin hanya akan kubagi dengannya.
            “Jingga, bukan saatnya kau ada di sini. Ikutlah bersamaku.” Tangan Langit terulur kepadaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengikuti ke mana langkahnya pergi. Aku tak ingin kehilangan Langit. Rasa kehilanganku sama besar dengan rasa cinta ketika kali pertama ia menambatkan hatinya padaku.
            “Kau akan membawaku ke manapun kau mau ‘kan? Aku akan tetap bersama denganmu, Langit?”
            Langit tak menjawab. Yang kutahu, wajahnya berubah beku. Kelu. Tak semanis saat kutatap pesonanya yang nyata. Tak sehangat senyum sapa dan desauan suara yang mengalir dari bibirnya. Langitku berubah mendung, berbadai dan bergelegar kilat di dalamnya. “Langit, kautak apa?”
            Kemudian Langit melepas genggaman erat tangannya. Ada yang membuat jantungku berdebar tak beraturan ketika mengetahui, perlahan-lahan ia membalik menatapku tajam. Wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Seringai yang tak semanis senyumannya. Apa yang terjadi dengan Langit?
            “Jangan pernah tanyakan apa kau akan selalu bersamaku karena itu tidak akan terjadi! Jangan pernah memanggilku Langit karena semua itu hanya kuperuntukkan kepada wanita yang telah lama mengisi hatiku ini! Kau, kau hanya kubawa pergi untuk menuju neraka bersama semua luka-lukamu yang seringnya membuatku risi!”
            Aku tersentak. Perlahan kudapati butir hangat mengalir pada pematang pipiku. Ia bukan Langit. Aku tak mengenalnya. Namun itu suara Langit, tubuh Langit, hanya saja raganya tak sedang di sana. Kuyakin langit mencintaiku, kuyakin Langit tak akan lupa dengan ikrar cintanya yang tertambat lekat di ulu hatiku dan hatinya. Kuyakin Langit akan selalu bersama senja, hingga jingganya mampu mengantarnya pada kegelapan malam. Dan kuyakin Langit akan menjadi milikku selamanya.
            Langit!
            “Langit... Langit!”
            “Jangan bergerak, Jingga. Tenang, tenang. Jangan banyak bergerak.” Suara itu sudah begitu kukenali. Ya, di saat napas masih tersengal-sengal dan keringat mengucur begitu derasnya, aku masih sempat mengingatnya—dokter spesialis organ dalam.
            “Aku ingin bertemu dengan Langit, calon tunanganku!” Aku menyergap. Membiarkan selang itu bergerak lincah hingga menghalangi laju Dokter Brian yang hendak membekapku dengan biusnya.
            “Dokter! Aku sudah lelah dengan semua peraturan yang kaubuat, biarkan aku mencari Langit!” Aku murka kepadanya. Mataku membulat sempurna, urat-urat amarah telah tercetak begitu kentara dalam bulat mataku.
            Seketika aku tergagap. Mulutku kembali terkatup-katup lantaran gaun putih itu tak lagi kukenakan. Siapa yang telah berani menggantinya dengan seragam pasien yang lusuh seperti ini? Warnanya biru, ah, semua ini mengingatkanku pada Langit!
            “Dokter! Mana gaunku! Apa kau tak lihat sebentar lagi aku akan bertunangan dengan Langit Baskara? Aku calon tunangannya, Dokter! Satu-satunya wanita yang ia cintai!”
            Aku tak mengerti mengapa Dokter hanya menimpali segala kalimatku dengan bekapan mulut belaka, tanpa sepatah kata. Ia pun kini tak lagi memaksaku untuk tak bergerak begitu beringas, yang kulihat justru ia terdiam terpaku. Seperti ada yang tersimpan di balik dua bola matanya yang lalu menatapku sayu. Ya, ia tak dapat membohongiku.
            “Jingga, ada beberapa hal yang tidak kauketahui selama koma beberapa hari ini.”
            Seperti menghunjam jantung, kalimatnya begitu memecah kecemasan. Hancur berkeping-keping. Akankah ini berita buruk untukku, atau setelah ini akan ada air mata yang mengalir tiada batasnya? Ah, tidak, Langit sudah menungguku begitu lama, itulah yang akan Dokter Brian katakan. “Langit sudah mempersiapkan segalanya, benar begitu, Dok?” ucapku penuh dengan binar-binar di mataku.
            Lagi dan lagi, bukannya mengangguk, ia justru berbalik menjauhiku. Berjalan begitu pelan menuju ambang pintu. Semakin aku tak mengerti dengan jalan pikirannya saat ini. mengapa ia tak bisa jujur?
            “Dokter! Langit mencintaiku ‘kan? Semua orang tahu jika kami akan segera berlabuh bersama!” Dan mengapa, ketika kukatakan kalimat membahagiakan ini justru yang membuncah hanya derai air mata. Aku tak mengerti mengapa justru semua menjadi siksa bagiku. Kucoba tertawa, bahkan yang ada hanya amarah jiwa. Segalanya serba berkebalikan.
            Y
Langit berbohong. Kutahu, ini kebohongan pertama yang ialakukan terhadapku. Ia berbohong soal senja kala itu.
            Pantai Losari adalah saksi pertemuan kami yang pertama, hingga hari-hari berikutnya kami selalu menyempatkan menikmati indahnya senja di langitnya yang memesona. Langit berkata padaku, bahwa senja akan selalu setia kepada langit hingga dengan semburat jingganya ia akan menggantinya dengan langit yang temaram. Aku tak mengerti apa yang ia maksud, namun ia menambahkan dengan satu kalimat yang mampu mengubah rasa ragu menjadi senyum mengembang. Langit berkata bahwa jingga adalah hal terindah yang pernah dimiliki langit. Aku adalah hal terindah yang pernah dimilikinya.
            Langit begitu bodoh. Langit sangat bodoh.
            Kurasakan dekap hangat sesosok yang lalu menangis di bahuku. Entah, kepercayaan itu tak lagi ada. Dahulu, ialah tempatku meregang tawa bersama. Menjadi langit hanya milik kami berdua. Namun ternyata kusalah, langit hanya miliknya saja.
            Kuhempas tubuhnya hingga ia terjatuh. Tak peduli seberapa berartinya ia dahulu. Tak peduli bagaimana kehadirannya mampu mengisi sela hatiku yang tak terisi siapapun, hingga persahabatan menjadikan segalanya yang abu-abu, menjadi sememesona pelangi. Aku tak peduli semua itu. Yang kutahu, dunia sedang mempecundangiku.
            Simpang siur Dokter Brian yang memberikan lembaran kertas—entah apa kepada wanita tua yang tak lain adalah ibuku—wanita tua yang turut ambil andil dalam retaknya hatiku yang sakitnya terasa nyata. Ialah, yang mengaku melahirkanku namun akhirnya menyamakanku dengan binatang jalang yang siap dibuang.
            Untuk penghormatanmu, menikahlah dengan wanita lain yang lebih bisa membahagiakanmu, Nak Langit.
            Berengsek. Kedua wanita itu memang patut dijuluki semacam itu.
            “Jingga, maafkan aku. Maaf atas pengkhianatan ini. Maaf atas segala hal yang terjadi padamu saat ini. Namun aku tak pernah bisa membohongi diri sendiri, aku juga mencintainya Jingga. Telah lama hatiku terluka melihatmu berdua dengannya sedangkan aku hanya bisa bermimpi mendapat cinta darinya meski hanya satu bulir,”
            “CUKUP!”
            “Maafkan aku, Jingga. Ikhlaskan semua ini,”
            “DIAM!”
            Kutatap matanya geram, sehingga kudapati manusia-manusia itu memerhatikanku dengan kecemasan yang tercetak pada raut mukanya. Aku tak peduli. Mereka semua iblis, tak mengerti bagaimana hati yang perlahan tertoreh. Tak mengerti hati yang tak mungkin bisa kembali utuh merasakan indahnya dicintai dan mencintai.
            “Kau bilang kau terluka melihatku berdua dengan Langit? Lalu dapatkah kau mengartikan berapa besar rasa sakitku ketika mengetahui satu-satunya orang yang kuberi hati yang utuh lebih memilih mencintai sahabatku daripada aku—yang hanya seonggok daging yang sering keluar-masuk rumah sakit karena sekarat terserang sirosis? Apa yang bisa kaulakukan ketika orang yang kausayang justru memberimu pengkhianatan dengan caranya mencintai hati lain secara diam-diam?” Satu butir mengalir pada pipiku. Rupanya aku tak handal untuk emnyimpan bendungan di mataku yang sudah berancang akan mengalir deras. Aku tak bisa menahannya.
            “Apa yang kaulakukan ketika satu-satunya hati yang kaupercaya justru menjadi orang yang paling memberimu luka?” imbuhku, dengan nada yang menurun. Meski getir tak terkalahkan.
            “Ke mana lagi ‘kan kutemui hati bila bukan pada Langit, Senja?” Sudah. Aku tak dapat lagi menahan gejolak di hati. Kurasakan tubuhku ringkih dan sesosok telah merengkuhku dalam pelukannya. Pelukan yang kukenal. Pelukan yang pernah menjadi milikku seutuhnya. Pelukan yang selalu kunanti kehangatannya.
            “Ke mana lagi ‘kan kutemui hati bila bukan padamu...,”
Y
“Sudah baikan, Mbak Jingga?”
            Aku tersentak. Seketika kuberanjak dari ranjang putih ini. Kudapati Mbak Vira sudah berdiri di hadapanku dengan wajah penuh kecemasan. Ternyata aku pingsan.
            “Aku tidak kenapa-napa, Mbak,” jawabku lemas. Aku mencoba mengatur napas yang hampir tak bisa kukendalikan. Rasanya sesak.
            “Kira-kira masih sanggup melaksanakan pernikahannya?”
            Aku terperangah. Pernikahan? Kutelisik tubuhku dalam-dalam, ternyata memang benar aku masih mengenakan gaun putih ini. Aku ingat sesuatu, terakhir kali kutamatkan pandanganku pada wanita berpostur menjulang di balik cermin. Aku akan menikah. Aku akan mengarungi indahnya bahtera bersama sesosok yang Tuhan pilihkan untukku.
            “Sudah menunggu lama, Mbak?”
            Mbak Vira menggeleng pelan, “Mempelai pria sudah hampir memasuki area. Mbak harus sudah siap-siap.” Dengan sigap, ia memamahku untuk berjalan melewati permadani merah panjang yang menjulang hingga menuju tempat yang benar-benar indah.
            Aku lupa memberitahukan pada dunia, bahwa hari ini akan tetap menjadi hari bahagiaku. Aku sudah menjatuhkan hatiku pada pilihan yang tepat. Aku akan berlabuh menuju dermaga dengan bahtera baru kami. Aku akan berlabuh bersama Langit yang lain.
            Aku telah melumpuhkan ingatanku bila semua tentang Langit—pria yang menjadikanku seseorang yang merasa paling bahagia sekaligus paling tersiksa. Kini aku mengerti makna di balik perkataan ambigu yang tak kunjung kupahami kala itu; senja akan selalu setia kepada langit hingga dengan semburat jingganya ia akan menggantinya dengan langit yang temaram. Iya, betapa bodohnya aku.
            Langit mencintai Senja—sahabatku—bukan aku.
            Memang, saat itu langitku berubah temaram. Langit yang aku dan Senja miliki berdua, kini menjadi milik Senja seutuhnya. Karena seperti kata Langit, langit dan senja akan selalu bersama. Langit berbohong bila jingga adalah hal yang terindah yang dimiliki langit, karena senjalah yang sebenarnya menjadikan langit adalah hal terindah yang pernah ada.
            Aku tersenyum. Dalam getir itu aku masih sanggup mencoba menggurat senyum di bibirku. Kuseka bebutiran yang sudah terlebih dulu hadir tanpa kuminta. Masih saja kupikirkan tentang yang lalu ketika kucoba mengatakan aku sudah melumpuhkan segala ingatan.
            Kini, di hadapanku, telah ada Langit yang lain yang menungguku mengarungi bahtera bersamanya. Aku percaya, karena cinta akan hadir di saat yang tepat. Dan mungkin inilah saatnya aku dengannya mencari bahtera kami sendiri. Menyusul Langit dan Senja yang telah lama mengarungi tanpa terlibat setitik jingga yang akan menjadikannya temaram.
            Cukup, aku merasa bahagia hari ini. Jingga dan Laut, kuyakin itu cukup buatku merasa seakan akulah wanita paling bahagia yang akan menyisir kehidupan baru hanya bersamanya yang telah kupilih sebagai pengisi hatiku yang kosong. Sebagai pengganti Langitku yang hilang.
Laut, maukah kau menjadi tempatku meletakkan separuh hatiku yang tersisa?

Y

0 comments: