Showing posts with label mediakita. Show all posts

Saturday, March 8, 2014

1

My Book: Galau 'Unrequited Love' Jamban Blogger

Posted in , , , , , ,

HALO!




Setelah melalui beberapa proses, kini tibalah saatnya buku yang ditulis oleh 15 penulis dan blogger dari forum Jamban Blogger 'Forum Blogger Indonesia', yang kemudian diberi judul Galau 'Unrequited Love' Jamban Blogger. Diterbitkan tahun 2014 oleh Mediakita, Jakarta. Untuk penampakannya, seperti ini;


Cover depan

 
Buku Jamban Blogger




Tuesday, February 18, 2014

12

Njamban, Yuk!

Posted in , , , , , , , ,
Menjadi seorang blogger, memang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin karena waktu itu aku membutuhkan suatu wadah untuk mencurahkan sebagian isi hati yang tak cukup untuk sekadar hanya sebatas lingkup sosial media seperti Facebook dan Twitter.

Awal aku membuat blog adalah tahun 2010 dengan memberinya nama Under the Rain. Entah mengapa kata-kata itu yang terbesit dalam benak untuk kujadikan judul header. Karena mungkin di balik hujan selalu tersimpan cerita—terlebih hujan di pelupuk mataku ini. Halah. Malah galau!

Ya, kali. Sedikit bocoran ini buat temen-temen blogger yang kusayangi terlebih buat yang seringnya kepoin tulisan yang kuposting dan isinya curhatan semua, bahwa aku pernah dinobatkan menjadi orang ter---[sensor] oleh temanku sendiri. Pada saat itu, acara menginap di villa bersama teman sekelasku dan di tengah malam diadakan sebuah award. Dan yang paling membuatku kaget, aku mendapat sebuah penghargaan yang sangat tinggi; sebuah piala dan tepuk tangan teman-teman yang jarang kudapatkan dari mereka. Ya, akulah orang tergalau tahun ini. [doc. 2013]. Untuk itu, sudah bukan menjadi ketabuan dari seorang perempuan bernama Atika Rahma F. ini seringnya memosting tulisan yaaa baca sendiri, deh. Tapi jangan salah, semua yang kutulis, belum tentu aku. Tapi sebagian besar iya! #jujurtegas.

Tuesday, February 12, 2013

0

Midnight Metropolis

Posted in , , , ,


Midnight Metropolis
28 Dec 2012

Matanya menyipit mendapati seberkas cahaya masuk melewati celah-celah ventilasi kamarnya, tentu saja itu sangat mengganggu tidur panjangnya malam ini. Dentuman keras detak jarum jam dinding yang tepat berada di atas telinganya membuatnya tak ingin lagi meneruskan mimpi yang entah apa; dia tak mau mengingatnya lagi.
            Ia berjalan sempoyongan keluar kamar, menuruni anak tangga, satu persatu. Jemarinya sibuk mengusap-usap matanya yang masih setengah membuka. Piyama biru bergoreskan warna monokromatik abu-abu terlihat begitu kusut. Rambutnya yang ikal tertata rapi, sekarang seolah tersihir menjadi rambut singa; sangat berantakan. Hal itu yang mengharuskan ia untuk mampir ke toilet.
            Perlahan-lahan, ia memutar kran air, dengan begitu air mengalir begitu berirama dengan percikan-percikannya yang menyentuh wastafel, kemudian memantul ke arah kulitnya yang sesekali menghadirkan kesegaran tersendiri baginya. Clarinta menengadahkan kedua tangannya di bawah semburan air lalu membasuhkan pada wajah kumelnya. Sesekali ia menatap pada kaca lonjong di hadapannya. Wajahnya yang setengah basah mengingatkannya pada pertengahan September lalu saat ia menghabiskan malamnya yang gerimis bersama Johan, di depan bangunan neo-gothic Eropa; Gereja Katedral.
            Gereja itu kembali mengingatkan pada perbedaan yang begitu menyeruak dalam kisahnya bersama Johan, kekasihnya. Ada yang berbeda dari caranya menyembah Tuhan. Ada yang berbeda dari caranya menyebut nama Tuhan. Ada perbedaan pada Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal sebagai peribadatan. Ada yang berkata mereka tak pantas dipersatukan. Namun Johan selalu meyakinkan Clarinta bahwa perbedaan bukanlah penghalang, perbedaan menjadi tidak berarti saat hati telah memilih. Clarinta percaya itu.
            Tangannya kembali memutar kran air; mematikannya. Lalu ia berjalan keluar dan kembali menuju kamarnya yang masih berantakan. Membuka lebar-lebar lemari kaca yang berdiri di samping kanan ranjangnya, lalu memilah-milah dari sekian banyak baju yang bergelantungan di dalamnya. Aha! Bolero rajut berwarna krem ini sedikit menyita pandangannya. Hadiah dari Auryn, sahabat Clarinta, saat ulang tahun ke tujuh belasnya.
            Cahaya matahari benar-benar menyilaukan. Tapi mau tak mau Clarinta harus pergi sekarang. Mobilnya sudah raib, tak ada di bagasinya. Pasti Reno. Sepagi ini kakak satu-satunya itu sudah saja melancong. Untuk apa coba? Selain ke pantai hura-hura bersama teman-teman wanitanya. Kebiasaan! Coba saja kalau bukan karena tinggal di kota metropolitan? Apa masih bisa Reno dengan membawa mobil sana-sini, gandeng cewek sana sini? Dan andai saja waktu itu ayahnya tak sepasrah itu menuruti keinginan Reno untuk membelikan mobil yang membutuhkan rupiah dalam jumlah yang tak sedikit itu. Clarinta menghela nafas panjang.
            Masih terbilang sedikit, toko-toko di bilangan Kemanggisan, Palmerah, yang sudah buka untuk waktu yang masih sepagi ini. Clarinta mendapati toko buah -yang memang dicarinya- sudah terbuka lebar. Ia lalu memarkirkan motor maticnya di depan toko itu. Terlihat warna-warni buah-buahan segar yang menggugah selera. Ia mengambil keranjang, lalu memasukkan beberapa buah jeruk Mandarin, sesikat pisang Ambon, butiran-butiran anggur merah dan beberapa biji mengkudu.
            “Berapa, Mbak?” tanyanya sembari mengeluarkan dompet dari sakunya.
            “Enam puluh sembilan ribu, Mbak.” Penjaga toko tersebut mengulurkan sebungkus plastik besar buah-buahan yang Clarinta beli.
            Clarinta mengulurkan dua lembar; lima puluh ribu dan dua puluh ribuan, lalu menerima bungkusan tersebut. Kemudian dengan perlahan membalikkan badannya.
            “Kembaliannya, Mbak..” Teriak penjaga toko itu.
            “Simpan aja.”
            “Terima kasih!” Suaranya terdengar begitu melengking dari dalam toko.
            Clarinta kembali meneruskan perjalanannya.      Tujuannya saat ini ke arah Jakarta Pusat, tepatnya di Kemayoran. Rumah Sakit Mitra Kemayoran. Saat ini memang Auryn untuk yang keempat kalinya melakukan check-up untuk penyakitnya. Penyakit Chronis Myleoid Leukemia yang dideritanya semenjak menduduki bangku kelas dua SMP. Tak ayal jika setiap kali dia selalu terlihat pucat dan seperti tidak bersemangat. Sel darah normalnya telah dihancurkan oleh sel-sel leukemia yang membuatnya terlihat lemah. Dan terkadang berhenti menunjukkan simpul manis senyumnya.
♥♥♥