Showing posts with label cerita inspirtif. Show all posts

Friday, May 16, 2014

0

Roda Kehidupan

Posted in , , , ,
@atikarahmaa

Dahulu, aku pernah berada pada titik paling bawah dalam roda kehidupan. Segalanya tampak seperti mencoba menendangku dari lingkaran kebahagiaan yang selalu ingin kudapatkan selama aku hidup. Kala itu aku selalu lekat dengan derita. Didera kecaman dan hinaan atas kehidupanku yang muram. Menukar keringat dengan cucuran air mata sendiri. Dari mana aku bisa jauh dari kata nelangsa bila hidup seolah sudah mengalami stagnansi?
            Ah, namun itu dulu, jauh sebelum kukenal kata pantang menyerah. Dahulu hanyalah sepenggal masa silam dengan segala ketidakpastian. Memang, kala itu garis kehidupanku masih jauh di bawah angka nol dan tak ada sedikitpun usaha agar dapat menjejakinya sehingga roda hidup akan perlahan berubah, yang ada hanyalah stagnan yang tak ingin enyah. Bagaimana tidak? Mung trimo diam dan berdoa kepada Tuhan, sejuta abadpun tak akan kudapati gelegar durian monthong yang jatuh tepat di hadapanku.
            To be a hero, we must do something right.
            Perlahan-lahan, selaksa peristiwa membawaku menjauh dari kata menyerah. Hidup akan kosong bila hanya menghabiskan waktu untuk berdiam diri tanpa suatu tindakan. Meski seringnya aku melawan jeritan hati kecil yang selalu menggerutu; bahwa keterbatasan adalah penghalang pencapaian keberhasilan.
Tiba-tiba saja, aku seperti mendapat tamparan yang sangat hebat. Begitu ganas. Melesat cepat melewati desir darah, hingga dengan sekejap mampu merontokkan segala keraguan yang bergumul dalam hati kecil yang selalu gagal memberangus kata cela.
Lebih baik aku diam daripada harus mendapat tamparan yang kedua. Plas!! Kali ini lebih dahsyat. Kurasa kusalah telah mengatakannya. Tamparan ini membuatku lantas mengubah cara berpikirku yang masih saja tertinggal jaman. Diam tak akan mengubah keadaan. Apalagi jika menyerah sebelum mencoba, perlahan juga akan kutemui dunia semakin menjauhiku. Melemparku menuju ke lain planet dan tak kutemui kehidupan lain seperti di bumi.

Sunday, March 16, 2014

0

Melukis Senyum di Bibir Mama

Posted in , ,
November 2013


Setiap orang memiliki mimpi, lalu apakah keterbatasan menjadi alasan seseorang tidak mampu mewujudkan impiannya?
    Hidup di dunia ini tak pernah terlepas dari sebuah keinginan. Saat kali pertama manusia berkenalan dengan dunia, saat itu mereka mulai merancang impiannya. Siapa yang tak punya mimpi? Setiap orang memiliki mimpi, dan setiap pemimpi pasti selalu ada hasrat untuk merealisasikannya. Namun, hanya sebagian saja yang bisa mewujudkan impiannya menjadi nyata.
    Alika punya mimpi. Dalam setiap rapalan doanya, ia selalu menyebut nama Mama. Dalam setiap kepalan tangannya, ia selalu bejuang demi satu nama yang menjadi alasan mengapa ia berani bermimpi dan berjanji mewujudkannya.
    Karena Mama adalah satu-satunya kebahagiaan yang iapunya.
    Semenjak peristiwa itu, hidup Alika kembali abu-abu. Keruh dengan segala pengkhianatan-pengkhianatan yang datang menusuk perasaan tak bersalahnya. Segalanya tampak seperti sedang mempencundanginya. Senyum yang iapunya, berubah menjadi getir yang tak tertahankan.
    Apakah ia salah, memiliki garis takdir yang tak sempurna layaknya teman-teman yang iabanggakan dulu? Ya, dulu. Dulu mereka adalah kekuatan yang dimiliki Alika setiap ia berada di titik terlemah sekalipun. Dulu mereka adalah peradaban tempatnya pulang. Tempatnya berderai tangis dan tawa bersama. Sebelum segalanya berubah menjadi hal yang bahkan tak pernah iatemui dalam kehidupannya.
    Alika selalu sendiri. Menyeka air mata dengan jemarinya sendiri. Betapa peradabannya tak lagi peduli dengan keadaannya saat ini. Ayah Alika menceraikan mamanya dengan alasan yang tak akan termaafkan olehnya. Rega, Satu-satunya orang yang dulu pernah menempatkannya pada tempat terindah di ruang hatinya yang kosong, meninggalkannya untuk selama-lamanya. Kekasihnya kecelakaan saat mengantarnya pulang, dan karena itu juga Alika harus kehilangan sebagian fungsi dari indera pendengarnya.
    Kini ia tak butuh apapun, karena ia tak percaya lagi dengan kesetiaan. Ia hanya ingin menggurat senyum pada bibir Mama, wanita paruh baya yang rela berkorban sampai tega mengerahkan seluruh dayanya. Alika tak ingin melihat Mama terpuruk dan hanya bisa mengantarkannya sampai pada ambang pintu setiap kali akan berangkat kuliah.
    Alika ingin membawa Mama ke suatu tempat.