Sunday, March 16, 2014

0

Melukis Senyum di Bibir Mama

Posted in , ,
November 2013


Setiap orang memiliki mimpi, lalu apakah keterbatasan menjadi alasan seseorang tidak mampu mewujudkan impiannya?
    Hidup di dunia ini tak pernah terlepas dari sebuah keinginan. Saat kali pertama manusia berkenalan dengan dunia, saat itu mereka mulai merancang impiannya. Siapa yang tak punya mimpi? Setiap orang memiliki mimpi, dan setiap pemimpi pasti selalu ada hasrat untuk merealisasikannya. Namun, hanya sebagian saja yang bisa mewujudkan impiannya menjadi nyata.
    Alika punya mimpi. Dalam setiap rapalan doanya, ia selalu menyebut nama Mama. Dalam setiap kepalan tangannya, ia selalu bejuang demi satu nama yang menjadi alasan mengapa ia berani bermimpi dan berjanji mewujudkannya.
    Karena Mama adalah satu-satunya kebahagiaan yang iapunya.
    Semenjak peristiwa itu, hidup Alika kembali abu-abu. Keruh dengan segala pengkhianatan-pengkhianatan yang datang menusuk perasaan tak bersalahnya. Segalanya tampak seperti sedang mempencundanginya. Senyum yang iapunya, berubah menjadi getir yang tak tertahankan.
    Apakah ia salah, memiliki garis takdir yang tak sempurna layaknya teman-teman yang iabanggakan dulu? Ya, dulu. Dulu mereka adalah kekuatan yang dimiliki Alika setiap ia berada di titik terlemah sekalipun. Dulu mereka adalah peradaban tempatnya pulang. Tempatnya berderai tangis dan tawa bersama. Sebelum segalanya berubah menjadi hal yang bahkan tak pernah iatemui dalam kehidupannya.
    Alika selalu sendiri. Menyeka air mata dengan jemarinya sendiri. Betapa peradabannya tak lagi peduli dengan keadaannya saat ini. Ayah Alika menceraikan mamanya dengan alasan yang tak akan termaafkan olehnya. Rega, Satu-satunya orang yang dulu pernah menempatkannya pada tempat terindah di ruang hatinya yang kosong, meninggalkannya untuk selama-lamanya. Kekasihnya kecelakaan saat mengantarnya pulang, dan karena itu juga Alika harus kehilangan sebagian fungsi dari indera pendengarnya.
    Kini ia tak butuh apapun, karena ia tak percaya lagi dengan kesetiaan. Ia hanya ingin menggurat senyum pada bibir Mama, wanita paruh baya yang rela berkorban sampai tega mengerahkan seluruh dayanya. Alika tak ingin melihat Mama terpuruk dan hanya bisa mengantarkannya sampai pada ambang pintu setiap kali akan berangkat kuliah.
    Alika ingin membawa Mama ke suatu tempat.

 “Pasti udah ngerjain tugas matematika diskrit, kan? Pinjam, dong.”
    Alika tetap bergeming. Jemarinya terlalu asyik menggoreskan pena pada kertas kosong di hadapannya. Sesuatu sedang iatulis. Entah.
    “Begini, ya kalau punya temen budeg. Susah diajak ngomong!” ucapan Rinka begitu mengetuk gendang telinga Alika, hingga memecah keheningan yang ia rasakan. Dengan sekejap, matanya menumbuk tatapan tajam Rinka yang berdiri angkuh di sampingnya.
    Ia kebingungan, “Ada apa, Rin?”
    Rinka hanya berdehem panjang. Selalu, segala yang keluar dari mulutnya ia anggap apatis belaka. Karena baginya, berbicara dengannya bagai melatih kucing untuk bisa terbang. Rinka menempis segala perbincangan yang sempat terjadi. Kemudian bergerak menjauh, meninggalkan Alika yang masih tenggelam dalam rasa penasarannya.
Alika berjalan lamban melintasi jalan setapak yang penuh sampah sana-sini. Untuk yang pertama kalinya, setelah beberapa bulan terakhir, ia mengunjungi rumah itu bersama Rega, kini ia melakukannya sendirian.
    Rumah itu tak berubah. Tetap seperti saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di sini. Atapnya yang masih berkombinasi, antara merah dan hitam karena lumutan. Dindingnya yang masih bertembokkan kayu yang sesekali termakan oleh rayap-rayap nakal. Juga sapaan hangat yang selalu ia terima begitu batang tubuhnya sampai juga terlihat oleh anak-anak manis itu.
    “Kak, kok sendirian?” tanya Putri, yang dengan sigap meraih jemari Alika dengan manja. Alika hanya tersenyum, membiarkan jemari lentiknya membelai kerudung merah mudanya.
    “Kak, kenalin, ada teman baru di sana.” Rizky hadir dan menarik lengan Alika untuk membawanya menuju selasar panti yang tampak ramai dengan anak-anak. Ia tak melihat pemilik panti ada di sana, namun ia tahu, Pak Parto pasti sedang mengurus dagangannya di pasar yang tak jauh dengan panti asuhan ini.
    Alika semakin mendekat, hingga kemudian terlihat seseorang telah menantinya di sana, memandangnya dengan tatapan hangat. Gadis kecil itu tersenyum.
    Alika tak percaya. Dengan keraguan, ia mendekati tubuhnya yang melekat pada kursi roda. Dengan menelisik setiap jengkal tubuhnya, ia berbicara melalui binar matanya. Namun gadis itu selalu menyunggingkan senyum manisnya kepada Alika.
    “Nama kamu siapa?” tanya Alika kemudian.
    “Rani, Kak Alika.” Suaranya begitu ceria, nyaring seperti anak-anak lainnya.
    Alika tak menyangka. Rasanya ia tak kuat lagi membendung butiran bening yang dengan kasar ingin meretakkan pertahanan kelopak matanya. Mengapa gadis kecil ini masih sanggup tersenyum?
    “Rani di sini sejak kapan?”
    “Udah—seminggu ini, Kak,” gumamnya sembari dengan polos menghitung jemarinya yang kecil. Sesekali, ketika ia tertawa, gerahamnya yang berlubang begitu jelas terlihat. Alika tersenyum ketika melihatnya begitu bahagia meskipun ia tahu, tak mudah untuknya mengeja tawa.
    “Umur Rani berapa?”
    “Enam tahun, Kak.”
    Alika mengangguk. Anak-anak lainnya saling bergumul, membentuk suatu lingkaran memerhatikan perbincangan antara mereka berdua.
    “Cita-cita Rani, ingin menjadi apa?”
    Rani terdiam. Namun sekejap matanya berbinar. “Atlet, pelari!”
    Alika tersentak. Seperti menghunjam jantungnya. “Pelari?” ulangnya sekali lagi. Dahinya berkerut-kerut. Ia dapat menyadari suaranya yang mulai bergetar.
    Rani mengangguk penuh semangat. “Suatu saat, aku akan berlari dan berteriak histeris karena membawa piala kemenangan, Kak,” ujarnya menggebu-gebu. Dari sorot matanya, tampak optimisme yang begitu membara. Alika semakin tak percaya, Rani, gadis kecil yang memiliki disabilitas yang terlahir tanpa memiliki kaki, mempunyai mimpi yang begitu mustahil baginya. Apakah semua masih akan tetap mustahil bila keinginannya begitu kuat untuk bisa meraih mimpi tersebut?
    Tak sadar, kristal bening telah bergulir dari kelopak mata Alika sebelah kanan. Dengan cepat ia segera menyekanya. Dalam keharu-biruan, ia mencoba untuk tertawa mendengarnya.
    “Dan jika saat itu tiba, Kakak akan menjadi yang pertama yang mendengar Rani berteriak karena menang.”
    Rani tersenyum. Tubuhnya perlahan berlabuh dalam pelukan hangat Alika. Semakin airmata itu bergulir membasahi pipinya. Alika beruntung menemukan dunia baru yang mampu membuka mata hatinya. Mungkin, tanpa bertemu dengan mereka, hidupnya akan terus terjerat dalam lubang kebimbangan. Lubang kenistaan tanpa pernah ada yang menyelamatkannya.
    “Adik-adik, Kakak punya sesuatu nih.” Alika merogoh sesuatu dari dalam tas selempangnya yang telah penuh dengan jahitan sana-sini. Dengan kesusahan ia mengeluarkan berlembar-lembar buku yang terkemas rapi.
    Buku cerita anak. Ia sengaja menuliskannya untuk mereka. Dan dengan keberuntungan yang tak terduga, salah satu penerbit besar telah menerima hasil goresan penanya dengan senang hati.
    Anak-anak berteriak kegirangan. Terdengar samar, seseorang di antaranya menyebut dirinya hebat. Alika hanya bisa tersenyum. Melihatnya berderai tawa adalah bahagia untuknya.
Alika membuka kusen pintu perlahan. Terdengar suara engsel yang mendecit memecah keheningan dalam ruang tamu sempit dalam rumahnya. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Waktu yang terlalu larut untuknya kembali pulang.
    “Mama tidak pernah mengajari kamu untuk pulang terlalu malam.” Terdengar suara geram di sudut ruangan yang gelap.
    Alika tersentak. “Alika hanya bermain dengan anak-anak, Ma.”
    “Tapi setidaknya kamu tahu waktu!” Suaranya menanjak hebat.
    Alika beringsut mendekatinya. Memeluk lututnya yang mengeras. “Maafin Alika, Ma.”
    Mama bergeming. Rahangnya mengeras dan sesuatu terjadi di balik kelopak matanya. Tak seharusnya ia melakukan ini. namun segalanya terjadi karena ia tak ingin kehilangan untuk yang kedua kali.
    Dalam kelembutan, jemari Mama membelai halus rambutnya yang panjang. Betapa kebahagiaan selalu dirasakannya melalui sentuhan-sentuhan lembut yang lama tak ia rasakan semenjak peristiwa itu.
    “Mama yang meminta maaf, Alika. Mama yang salah.” Nada bicaranya berubah. Berbalik arah menjadi lemah dan seolah tak berdaya. Alika hanya terdiam. Sorot matanya memandangi Mama yang telah sembab oleh bebutiran airmata.
    “Mama tidak salah—,”
    “Mama salah pernah menilai kamu buruk, Alika,” Sergahnya sesegera.
    Alika semakin tak mengerti. Namun perkataan Mama mengingatkannya pada peristiwa ketika Ayah masih di sini bersama mereka, namun kasih sayangnya tak lagi terasa. Alika yang selalu menjadi kambing hitam karena terlalu egois dengan  pekerjaannya. Alika selalu menghabiskan waktu untuk menulis dan menulis. Sehingga Mama begitu kasat mata baginya.
    Namun dengan cepat Alika menepis pikiran itu. “Maksud Mama?”
    Mama tersenyum. Perlahan, tubuhnya yang renta mencoba meraih sesuatu yang terletak tak jauh dari jangkauannya. Sehelai amplop coklat muda, dari siapa?
    Mama mengulurkan amplop itu kepada Alika yang masih digelayuti tanda tanya. Perlahan, jemarinya mulai membukanya. Matanya mengeja satu per satu kata yang tercetak di dalamnya.
    “Mama!” teriaknya kemudian. Alika tak percaya.
    “Kenapa kamu tidak pernah cerita semua ini sama Mama, Alika?”
    “Mama!” teriaknya sekali lagi. Kali ini, ia butuh airmata untuk berteriak. Ia butuh dekapan hangat mamanya untuk berbagi bahagia yang iarasakan.
    Untuk pertama kalinya, kebahagiaan terasa begitu nyata. Perjuangannya tak sia-sia. Benar, segalanya memang butuh pengorbanan.
Seorang pemimpi yang berhasil adalah mereka yang mampu merealisasikan impiannya. Kekalahan bukanlah alasan untuk mencaci maki segala kemampuan yang mereka miliki. Karena menurutnya, lebih baik gagal setelah mencoba daripada gagal mencoba. Dan jatuh dari sebuah permasalahan adalah hal biasa, sebelum semua menjadi sangat sempurna ketika mereka bangkit dan mengerahkan segala kemampuan yang tersisa.
    Pejuang sejati tak kenal kata menyerah.
    Alika bukan lagi pemimpi. Mulai detik ini, ia adalah seorang penulis novel, bahkan skenario untuk film layar lebar. Karena karya yang iatulis sejak lama berhasil menyita perhatian masa.
    Dalam buku “Cinta Mama” yang iatulis. Menggurat senyum pada bibir tua Mama. Mimpi Alika menjadi nyata.
Satu tahun kemudian...
    “Ma! Ayo, foto dulu!” teriak Alika memekakkan telinga. Mama tertawa, dan berjalan penuh kesusahan menghampirinya.
    Dalam sekejap, kebahagiaan mereka tercetak dalam bingkai indah pada kameranya. Raganya telah jauh terdampar dalam sebuah tempat seperti apa yang telah Alika janjikan. Kicauan burung dirasakannya berbeda, juga retorika yang tak iatemui dalam kotanya.
    “Sekali lagi, Ma.” Dalam pose itu, Alika tersenyum. Juga Mamanya. Dengan berbalut ihram putih sucinya, mereka mencoba untuk selalu tersenyum kepada dunia.
    Karena mimpinya benar-benar nyata.
    Alika telah membawa Mama ke suatu tempat. Suatu tempat yang mengantarnya pada jalan menuju surga yang diimpinya. Kelak nanti.
    Karena berkat mimpi, segalanya terpenuhi. Alika ingin terus bermimpi bila pada akhirnya dapat menggurat senyum pada bibir keduanya. Alika ingin terus begini, asal bersama Mama.
    Itu saja cukup.


  

  “All your dreams can come true, if we have the courage to pursue them.” — Walt Disney.





0 comments: