Roda Kehidupan
Posted in cerita inspirtif, Flash Fiction, From Zero to Hero, roda kehidupan, to be a hero
@atikarahmaa
Dahulu, aku
pernah berada pada titik paling bawah dalam roda kehidupan. Segalanya tampak
seperti mencoba menendangku dari lingkaran kebahagiaan yang selalu ingin
kudapatkan selama aku hidup. Kala itu aku selalu lekat dengan derita. Didera
kecaman dan hinaan atas kehidupanku yang muram. Menukar keringat dengan cucuran
air mata sendiri. Dari mana aku bisa jauh dari kata nelangsa bila hidup seolah
sudah mengalami stagnansi?
Ah, namun itu dulu, jauh sebelum
kukenal kata pantang menyerah. Dahulu hanyalah sepenggal masa silam dengan
segala ketidakpastian. Memang, kala itu garis kehidupanku masih jauh di bawah
angka nol dan tak ada sedikitpun usaha agar dapat menjejakinya sehingga roda
hidup akan perlahan berubah, yang ada hanyalah stagnan yang tak ingin enyah. Bagaimana
tidak? Mung trimo diam dan berdoa
kepada Tuhan, sejuta abadpun tak akan kudapati gelegar durian monthong yang
jatuh tepat di hadapanku.
To
be a hero, we must do something right.
Perlahan-lahan, selaksa peristiwa
membawaku menjauh dari kata menyerah. Hidup akan kosong bila hanya menghabiskan
waktu untuk berdiam diri tanpa suatu tindakan. Meski seringnya aku melawan jeritan
hati kecil yang selalu menggerutu; bahwa keterbatasan adalah penghalang
pencapaian keberhasilan.
Tiba-tiba
saja, aku seperti mendapat tamparan yang sangat hebat. Begitu ganas. Melesat
cepat melewati desir darah, hingga dengan sekejap mampu merontokkan segala
keraguan yang bergumul dalam hati kecil yang selalu gagal memberangus kata
cela.
Lebih baik aku diam daripada harus
mendapat tamparan yang kedua.
Plas!! Kali ini lebih dahsyat. Kurasa kusalah telah mengatakannya. Tamparan ini
membuatku lantas mengubah cara berpikirku yang masih saja tertinggal jaman.
Diam tak akan mengubah keadaan. Apalagi jika menyerah sebelum mencoba, perlahan
juga akan kutemui dunia semakin menjauhiku. Melemparku menuju ke lain planet
dan tak kutemui kehidupan lain seperti di bumi.
Ah,
aku memang harus bergerak. Untuk menjadi pemenang, aku hanya butuh suatu kegagalan,
bahkan rentetan kegagalan. Dengan kegagalan itu aku akan tahu arti pengorbanan
adalah satu syarat untuk dapat menyentuh kemenangan. Dengan kegagalan itu aku
akan begitu tegap menyelaraskan segala kemampuan hingga dengan suatu
pembuktian, hidup bukan hanya untuk merenungkan keterbatasan.
Aku ingin tahu bagaimana roda
kehidupan itu berputar. Terkadang kutemui hal yang tak sepadan dengan hukum
alam yang telah ditetapkan. Dan terkadang hidup memang tak adil. Ada pernyataan
yang mengatakan: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Apakah itu
termasuk cara kerja roda kehidupan? Ataukah takdir seperti teori evolusi
Darwis; yang menang akan tetap hidup dan yang kalah akan mati? Aku masih tak
paham itu.
Perlahan kucoba membuka tabir yang
membentang menutup mata hati. Rupanya aku tak pernah berusaha untuk mencari
celah agar aku dapat memahami. Itulah alasan mengapa aku selalu gagal dalam
berusaha. Lagi lagi ini tentang keterbatasan—yang menjadi alasan mengapa tak
juga kutemui bahagia yang ada justru hanya derai air mata.
Mengingatkanku akan masa itu. Masa
yang masih kuragukan telah membuat hatiku bergetarkan oleh rasa yang tak pernah
kurasakan. Mungkinkah aku telah menemukan titik terang itu? Atau mungkin
penyesalan telah datang demi menyisihkan rasa egoku?
Ini tentang dua paruh baya yang
berjuang di atas keterbatasannya. Dahulu, ketika aku masih duduk di bangku
kelas tiga SMA, seringkali kutemuinya melintas di sepanjang jalan raya di depan
sekolahku. Apa yang kupikirkan saat itu, melihat sepasang suami istri yang tak
menunjukkan adanya euforia dan canda tawa layaknya pasangan lain yang mungkin
bepergian menaiki mobil barunya yang masih mengkilap. Mereka memilih menaiki
gerobak dengan tumpukan sampah yang menimbulkan bau tak sedap. Seorang suami
yang menarik gerobak tersebut dengan tali tambang yang melilit di bahunya dan
istri yang menumpang karena disabilitas itu justru tersenyum karenanya.
Ketika aku dan satu temanku—Linda,
melangkahkan kaki seinci demi seinci, hingga kemudian paruh baya itu seketika
memelankan laju kakinya ketika kami mencoba menahannya untuk berhenti sejenak.
Suami itu menatap kami dengan penuh keraguan, juga istrinya yang menumbuk
tatapan mata kami dengan dua matanya yang tak menunjukkan adanya kenormalan.
Kami mengulurkan sepucuk amplop
kepadanya yang masih dipenuhi jutaan ragu, hingga dengan senyum kami katakan
bahwa itu adalah hadiah atas perjuangannya selama ini. Sang istri menerimanya
dengan tangan gemetar, kedua manik matanya menatap mata suaminya sayu, meski
begitu suaminya sedikit kesusahan untuk menunjukkan gigi-giginya yang nyaris
tak tersisa.
“Alhamdulillah, matur suwun nggih, Nduk. Mugi-mugi
Allah paring rejeki ingkang kathah,”[1]
ucapnya penuh kegetiran. Kutahu itu getir bahagia dan kutahu segalanya pantas
untuk mereka terima—untuk perjuangannya yang tiada batas. Untuk segala peluh
yang menetes membasahi pakaian coreng-moreng mereka. Untuk segala bau tak sedap
itu, juga kendaraan yang tak mungkin dikenakan oleh pasangan suami istri
lainnya— adalah kehidupan bagi mereka.
Perlahan, dengan otot-otot rentanya
dan tubuh yang hanya berselimut kulit, sang suami paruh baya itu menarik
gerobaknya melintasi pinggiran jalan raya. Sesekali mereka terhenti ketika
lesatan bus menjadikannya penuh debu dan angin seakan ingin menerbangkannya.
Kali ini kusaksikan mereka tersenyum bahagia atas segala yang mereka dapatkan.
Meski kutahu, hal kecil yang kami beri tak juga akan mengubah hidupnya.
“Selalu berusaha meski keterbatasan
ada pada mereka,” ucap Linda lirih, menyentuh hati. Secara tak langsung telah
begitu mengutuk perbuatanku.
Aku mengangguk. Sejenak kuhukum apa
kata hati yang selalu menyalahkan keterbatasan. Aku memiliki apa yang tak
dimiliki dua paruh baya tersebut, masih sanggup menyalahkan takdir. Aku
merunduk menyesali kesalahan terbesarku—yang menjadikan hidup semakin temaram.
Sejak
itu aku mulai mengerti arti pengorbanan. Ketika keterbatasan memilihku sebagai
tempat menaruh segala lara, kobaran api di dalam hati tidak harus padam juga.
Ketika Tuhan memilihku menjadi satu insan yang tak semudah insan lain yang
tertawa bahagia, setidaknya aku masih memiliki daya untuk mencari celah menuju
lorong kebahagiaan—selagi kobar api itu masih membara, pastilah akan kudapatkan
segalanya.
Dan dua paruh baya itu membuatku
yakin bahwa hidup tak selamanya untuk menyesali apa yang telah Tuhan pilihkan,
melainkan untuk mencari apa makna yang Tuhan berikan atas pilihan itu.
Itulah alasanku selalu merasa gagal
sebelum mencoba. Aku terlalu naif pada keterbatasan yang kumiliki. Aku tak
pernah terlalu pintar untuk menelisik apa yang menjadi kelebihan pada diriku.
Karena memang jika roda kehidupan bekerja atas dasar hukum evolusi Darwin, tak
ada alasan untuk merasa lemah. Terbatas bukan berarti hidupnya pun terbatas. Hidup dan mati semua kehendak Tuhan, semua
itu bergantung bagaimana manusia itu menyikapinya.
Kini aku mengerti, keterbatasan
bukanlah alasan mengapa kegagalan selalu melekat erat hingga tak ingin enyah. To be a
hero, we must start from zero. Kegigihan dan semangat juanglah yang
menjadikan kemenangan di depan mata. Karena pada dasarnya manusia dirancang
untuk terluka[2], sebelum bahagia pada
akhirnya. Pun manusia dan malapetaka adalah satu paket dari Tuhan.
Aku percaya. Aku hanya butuh
memulainya dari awal.
0 comments: