Friday, May 16, 2014

0

Cinta Abadi Pemilik Surgaku

Posted in , , ,
@atikarahmaa


Kau telah jadikan dunia ini bagai surga dengan segala romansanya. Jangan pernah kauubahnya kembali temaram seperti saat aku kehilanganmu, Ibu.
            Kujamah lagi bingkai figura usang itu. Sisi-sisinya tergores begitu kasar oleh waktu yang telah lekang. Perlahan tapi pasti, aku akan terbuai lagi ke dalam masa yang tak mungkin bisa kembali kucicipi. Kecupan manis, tawa sederhana yang perlahan mulai terkikis—oleh debu-debu yang telah dengan sadis menutup paras cantikmu.
Aku tersenyum kecut. Dengan sekejap debu-debu itu beterbangan seakan telah terusir dari peradabannya, membuatku bisa menjamahi lebih jelas lagi bagaimana lekuk wajah itu. Damai jiwaku ketika kuterbenam dalam pesona indah dirimu. Inikah wanita yang selalu menyebutku dalam perbincangan panjangnya bersama Tuhan? Inikah wanita yang selalu kudambakan dalam setiap perjalanan hidupku yang sebelumnya temaram? Kaulah satu-satunya jawaban, karena memang tak kutemui lagi insan di dunia yang sepertimu, Ibu.

Ah, bila saja kautahu, aku menyimpan satu rahasia besar yang mungkin tak pernah kautemui dari sisi lain gadis nakalmu ini. Lihatlah, dalam foto itu tergurat senyum haru biru dan dengan hangat pelukmu, kaubiarkan aku merasakan bahagia menjadi insan yang terlahir dari rahim sosok istimewa sepertimu. Apa kau sangat bahagia saat itu, Ibu? Apakah kau bahagia memiliki satu nama yang hadir dalam hidupmu—sepertiku? Mengapa kini tak kutemui lagi senyum semanis itu ketika raga ini telah memilih jalan hidupnya sendiri? Apakah aku tumbuh tak seperti apa yang kauharapkan sehingga senyum itu kian pudar?
            Teramat bodoh ketika kuingat lagi hal yang mampu menyakiti hati kecilmu itu. Seakan-akan kulupa bahwa aku hidup karena tetes keringat dan dengan seikat pengorbanan besarmu. Seolah rasa apatis itu menjadikanku tak ingat bila aku mampu merasakan pedih dan bahagia, mencipta derai tawa dan air mata, hanya melalui desah napas dan untaian doa yang kaurapal hanya kepada-Nya—untukku. Tidakkah kausadar, Ibu? Aku hanya seonggok daging yang tak tahu sopan santun yang hanya bisa menoreh luka di hatimu yang sebenarnya sering menguatkanku dengan doa-doamu itu.
            Terkutuklah aku yang hanya memberimu derita namun dengan keikhlasanmu, kauberi aku sejuta bahagia hingga aku terlena.
            Sejuta kata maaf mungkin hanya akan menjadi isyarat yang kemudian hilang bila tak lagi kutemui tawa di bibirmu. Ah, Ibu, ingatkah ketika senja kausaksikan bersamaku sebuah keindahan Tuhan yang ingin Dia tunjukkan melalui lapis warna-warni pelangi yang menggantung indah di cakrawala? Karena senja aku bisa menatap lekat bola matamu yang berbinar cerah, juga senyummu yang merekah-rekah. Kepadanya pula kututurkan segala rasa yang memendam indah dalam hati yang mungkin akan sirna bila saja terus kupendam. Itulah rahasia besarku, Ibu—dan mungkin kautak perlu tahu.
            Namun kini, detik tak juga mempertemukanku pada senyum itu. Simpang siur kehidupan membuatku kehilangan surga yang selalu kunantikan. Hilang bersama kenangan yang tak berbekas. Mungkin saja di hatimu telah bergemuruh rasa tak suka. Seringnya kucipta sesal pada setiap kerut di wajahmu. Padahal aku sendiri tahu, dahsyatnya doa yang kaurapal melebihi rasa sakit yang pernah kuberi untukmu bertubi-tubi dan tak pernah jemu.
            Aku pernah kehilanganmu, Ibu. Ketika doa-doa itu tak lagi sampai kepadaku. Ketika di wajahmu hanya tersisa sekelumat mendung dan setitik asa yang terbendung; aku telah kehilangan arah hidupku. Semua karena egoku, semua karena kecerobohanku yang selalu salah mengartikan betapa kasih sayang yang selalu kauberi lewat rapal-rapal doa itu telah menguatkanku.
            Aku tak pernah lupa, dahulu kau dan aku masih sanggup melarung rasa dalam bingkai kebersamaan kita. Dengan berbalut pakaian putih suci, kauberjalan di atas alas kaki menapaki luasnya lapangan yang penuh dengan untaian doa yang terpancar begitu syahdu. Kau tersenyum, menanyakan apakah ada satu helai rambut saja yang mungkin tampak sebelum kau bersujud. Aku menggeleng, dalam hati kukatakan bahwa kau tak kurang seperti seorang malaikat yang Tuhan kirim untuk menjagaku. Dalam setiap gerak dan rapal doa, kaucurahkan setumpuk permintaan kepada Tuhan demi kebaikanku. Kaukatakan pada-Nya bahwa segalanya yang terbaik untukku adalah bahagiamu. Dalam pelukan hangatmu itu, Ibu, aku berhasil menemukan surga yang lama ingin kuselami. Kaujadikan keinginanku menjelma nyata seperti dahsyatnya lantunan doa dari bibirmu.
            Kaulah alasan atas segala senyum itu, Ibu. Kaulah jawaban mengapa hidupku selalu penuh lentera cinta meski seringnya masalah itu datang mematah semangat hidupku.
            Kau telah jadikan hidup menjadi beratap surga hanya dengan doa darimu. Dan mungkin hanya dengan doamu ‘kan kutemui jalan menuju surga yang telah dijanjikan-Nya. Meski dalam lara hatimu masih kutemui cinta dalam pelupuk matamu. Meski seringnya kauterima dusta dari sikapku namun kau masih punya sejuta lagi doa yang akan kauminta kepada-Nya untuk keselamatanku.
            Tetaplah tinggal, Ibu. Aku tak ingin waktu membawamu pergi dan meninggalkan bayang yang tak mungkin bisa kujamah lagi. Pun malaikat yang mengatakan padamu bahwa tugasmu untuk menjagaku telah usai. Aku tak mau. Yang kuingin hanya hadirmu bersama segelintir doa dari lubuk hati terdalammu untuk selalu menjadi penerang di setiap langkah dalam hidupku.
            Hanya itu, Ibu.
            Aku tersengguk. Kuletakkan kembali bingkai itu. Jemariku menyeka sesuatu hangat di pematang pipiku yang dengan tanpa permisi telah bergulir lembut mencipta sesal. Andai bisa kuulang waktu, tak akan kubiarkan jiwa berdosaku menyentuh bahkan menoreh luka pada hatimu yang mungkin saja bisa rapuh—dan menjadi berkeping-keping.
            Aku berjalan, pelan, menyusuri setiap bilik dalam rumah sederhana yang dahulu sama-sama kita rancang. Mataku menatap sayu tubuhmu yang tertidur lelap di atas kursi di ruang tamu. Ibu, sungguhpun jika bisa kutukar nyawaku, aku tak ingin terlebih dulu melihatmu pergi sehingga tak kutemui lagi penerang hidupku lalu hidupku akan kembali temaram. Aku tak ingin hidup sehari saja tanpamu. Aku ingin kau menghabiskan sisa waktu denganku lebih lama lagi. Selama apapun, katakanlah pada-Nya bahwa itu juga keinginanmu—karena kutahu dahsyatnya doamu tentu akan menjadikan nyata segalanya.
            Aku ingin mendekat. Membisikkan sebait kalimat yang menjadi rahasia besarku bersama senja. Semua itu tentangmu Ibu, tentang segala pahit-manis itu. Tentang kasih sayang yang tiada duanya, juga tentang dahsyatnya rapal doa kepada-Nya; bahwa aku mencintaimu meski dalam kebisuan yang sulit kuungkapkan.
            Katakan padaku dengan apa harus kutebus dosa-dosa itu. Karena sepanjang perjalanan tak pernah kutemui hal yang cukup untuk membalas cinta kasihmu itu. Adakah hal yang patut kupersembahkan padamu demi membayar segala hutang-hutang itu, Ibu?
            Aku tersenyum. Terlalu bodoh untuk menyadari, sampai kapanpun tak akan pernah kutemui jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku—karena memang tak ada siapapun yang mampu menggantikan rasa sayang Ibu terhadapku. Meski rapal doa yang mengalun lembut dari bibirmu begitu ikhlas kautujukan kepadaku, buah hatimu, tanpa meminta balasan. Tanpa pernah kauinginkan uluran tangan, meski ragamu pun telah begitu ringkih untuk bisa menahan beban. Meski tak selamanya kau akan berada di sini untuk selalu menjagaku, namun cintamu, Ibu—pemilik surgaku—akan abadi bersama dengan rapal doa di setiap sujudmu.
Ð

0 comments: