Cinta Abadi Pemilik Surgaku
Posted in cerita inspiratif, Cintalah Ibumu, Flash Fiction, Ibu
@atikarahmaa
Kau telah jadikan dunia ini bagai surga dengan
segala romansanya. Jangan pernah kauubahnya kembali temaram seperti saat aku kehilanganmu, Ibu.
Kujamah lagi bingkai figura usang
itu. Sisi-sisinya tergores begitu kasar oleh waktu yang telah lekang. Perlahan tapi
pasti, aku akan terbuai lagi ke dalam masa yang tak mungkin bisa kembali kucicipi.
Kecupan manis, tawa sederhana yang perlahan mulai terkikis—oleh debu-debu yang
telah dengan sadis menutup paras cantikmu.
Aku
tersenyum kecut. Dengan sekejap debu-debu itu beterbangan seakan telah terusir
dari peradabannya, membuatku bisa menjamahi lebih jelas lagi bagaimana lekuk
wajah itu. Damai jiwaku ketika kuterbenam dalam pesona indah dirimu. Inikah
wanita yang selalu menyebutku dalam perbincangan panjangnya bersama Tuhan? Inikah wanita yang selalu kudambakan dalam setiap
perjalanan hidupku yang sebelumnya temaram? Kaulah satu-satunya jawaban, karena
memang tak kutemui lagi insan di dunia yang sepertimu, Ibu.
Ah,
bila saja kautahu, aku menyimpan satu rahasia besar yang mungkin tak pernah
kautemui dari sisi lain gadis nakalmu ini. Lihatlah, dalam foto itu tergurat
senyum haru biru dan dengan hangat pelukmu, kaubiarkan aku merasakan bahagia
menjadi insan yang terlahir dari rahim sosok istimewa sepertimu. Apa kau sangat
bahagia saat itu, Ibu? Apakah kau bahagia memiliki satu nama yang hadir dalam
hidupmu—sepertiku? Mengapa kini tak kutemui lagi senyum semanis itu ketika raga
ini telah memilih jalan hidupnya sendiri? Apakah aku tumbuh tak seperti apa
yang kauharapkan sehingga senyum itu kian pudar?
Teramat bodoh ketika kuingat lagi
hal yang mampu menyakiti hati kecilmu itu. Seakan-akan kulupa bahwa aku hidup
karena tetes keringat dan dengan seikat pengorbanan besarmu. Seolah rasa apatis
itu menjadikanku tak ingat bila aku mampu merasakan pedih dan bahagia, mencipta
derai tawa dan air mata, hanya melalui desah napas dan untaian doa yang
kaurapal hanya kepada-Nya—untukku. Tidakkah kausadar, Ibu? Aku hanya seonggok
daging yang tak tahu sopan santun yang hanya bisa menoreh luka di hatimu yang
sebenarnya sering menguatkanku dengan doa-doamu itu.
Terkutuklah aku yang hanya memberimu
derita namun dengan keikhlasanmu, kauberi aku sejuta bahagia hingga aku terlena.
Sejuta kata maaf mungkin hanya akan
menjadi isyarat yang kemudian hilang bila tak lagi kutemui tawa di bibirmu. Ah,
Ibu, ingatkah ketika senja kausaksikan bersamaku sebuah keindahan Tuhan yang
ingin Dia tunjukkan melalui lapis
warna-warni pelangi yang menggantung indah di cakrawala? Karena senja aku bisa
menatap lekat bola matamu yang berbinar cerah, juga senyummu yang
merekah-rekah. Kepadanya pula kututurkan segala rasa yang memendam indah dalam
hati yang mungkin akan sirna bila saja terus kupendam. Itulah rahasia besarku,
Ibu—dan
mungkin kautak perlu tahu.
Namun kini, detik tak juga
mempertemukanku pada senyum itu. Simpang siur kehidupan membuatku kehilangan
surga yang selalu kunantikan. Hilang bersama kenangan yang tak berbekas.
Mungkin saja di hatimu telah bergemuruh rasa tak suka. Seringnya kucipta sesal
pada setiap kerut di wajahmu. Padahal aku sendiri tahu, dahsyatnya doa yang
kaurapal melebihi rasa sakit yang pernah kuberi untukmu bertubi-tubi dan tak pernah
jemu.
Aku pernah kehilanganmu, Ibu. Ketika
doa-doa itu tak lagi sampai kepadaku. Ketika di wajahmu hanya tersisa sekelumat
mendung dan setitik asa yang terbendung; aku telah kehilangan arah hidupku.
Semua karena egoku, semua karena kecerobohanku yang selalu salah mengartikan
betapa kasih sayang yang selalu kauberi lewat rapal-rapal doa itu telah
menguatkanku.
Aku tak pernah lupa, dahulu kau dan aku masih sanggup melarung rasa dalam
bingkai kebersamaan kita. Dengan berbalut pakaian putih suci, kauberjalan di
atas alas kaki menapaki luasnya lapangan yang penuh dengan untaian doa yang
terpancar begitu syahdu. Kau tersenyum, menanyakan apakah ada satu helai rambut
saja yang mungkin tampak sebelum kau bersujud. Aku menggeleng, dalam hati
kukatakan bahwa kau tak kurang seperti seorang malaikat yang Tuhan kirim untuk menjagaku. Dalam setiap gerak dan rapal
doa, kaucurahkan setumpuk permintaan kepada Tuhan demi kebaikanku. Kaukatakan pada-Nya bahwa
segalanya yang terbaik untukku adalah bahagiamu. Dalam pelukan hangatmu itu,
Ibu, aku berhasil menemukan surga yang lama ingin kuselami. Kaujadikan
keinginanku menjelma nyata seperti dahsyatnya lantunan doa dari bibirmu.
Kaulah alasan atas segala senyum
itu, Ibu. Kaulah jawaban mengapa hidupku selalu penuh lentera cinta meski
seringnya masalah itu datang mematah semangat hidupku.
Kau telah jadikan
hidup menjadi beratap surga hanya dengan doa darimu. Dan mungkin hanya dengan
doamu ‘kan kutemui jalan menuju surga yang telah dijanjikan-Nya. Meski dalam lara hatimu masih kutemui cinta dalam
pelupuk matamu. Meski seringnya kauterima dusta dari sikapku namun kau masih
punya sejuta lagi doa yang akan kauminta kepada-Nya untuk keselamatanku.
Tetaplah tinggal, Ibu. Aku tak ingin
waktu membawamu pergi dan meninggalkan bayang yang tak mungkin bisa kujamah
lagi. Pun malaikat yang mengatakan padamu bahwa tugasmu untuk menjagaku telah
usai. Aku tak mau. Yang kuingin hanya hadirmu
bersama segelintir doa dari lubuk hati terdalammu untuk selalu menjadi penerang di setiap langkah dalam hidupku.
Hanya itu, Ibu.
Aku tersengguk. Kuletakkan kembali
bingkai itu. Jemariku menyeka sesuatu hangat di pematang pipiku yang dengan
tanpa permisi telah bergulir lembut mencipta sesal. Andai bisa kuulang waktu,
tak akan kubiarkan jiwa berdosaku menyentuh bahkan menoreh luka pada hatimu
yang mungkin saja bisa rapuh—dan menjadi berkeping-keping.
Aku berjalan, pelan, menyusuri
setiap bilik dalam rumah sederhana yang dahulu sama-sama kita rancang. Mataku
menatap sayu tubuhmu yang tertidur lelap di atas kursi di ruang tamu. Ibu,
sungguhpun jika bisa kutukar nyawaku, aku tak ingin terlebih dulu melihatmu
pergi sehingga tak kutemui lagi penerang hidupku lalu hidupku akan kembali
temaram. Aku tak ingin
hidup sehari saja tanpamu. Aku ingin kau
menghabiskan sisa waktu denganku lebih lama lagi. Selama apapun, katakanlah
pada-Nya bahwa itu juga keinginanmu—karena kutahu dahsyatnya doamu tentu akan
menjadikan nyata segalanya.
Aku ingin mendekat. Membisikkan
sebait kalimat yang menjadi rahasia besarku bersama senja. Semua itu tentangmu
Ibu, tentang segala pahit-manis itu. Tentang kasih sayang yang tiada duanya,
juga tentang dahsyatnya rapal doa kepada-Nya;
bahwa aku mencintaimu meski dalam kebisuan
yang sulit kuungkapkan.
Katakan padaku dengan apa harus
kutebus dosa-dosa itu. Karena
sepanjang perjalanan tak pernah kutemui hal yang cukup untuk membalas cinta
kasihmu itu. Adakah hal yang patut kupersembahkan padamu demi membayar segala
hutang-hutang itu, Ibu?
Aku tersenyum. Terlalu bodoh untuk
menyadari, sampai kapanpun tak akan pernah kutemui jawaban atas
pertanyaan-pertanyaanku—karena memang tak ada siapapun yang mampu menggantikan
rasa sayang Ibu terhadapku. Meski rapal doa yang
mengalun lembut dari bibirmu begitu ikhlas kautujukan kepadaku, buah hatimu, tanpa meminta
balasan. Tanpa pernah
kauinginkan uluran tangan, meski ragamu pun telah begitu ringkih untuk bisa
menahan beban. Meski tak selamanya
kau akan berada di sini untuk selalu menjagaku, namun cintamu, Ibu—pemilik
surgaku—akan abadi bersama dengan rapal doa di setiap sujudmu.
Ð
0 comments: