Saturday, August 16, 2014

0

Backpacker Edition: Ungaran Makes Us Frozen

Posted in , , , , , , , ,
Lanjutan Para Pendaki Ungaran


Satu jam kemudian, kami sampai pada suatu tempat di mana kami dapat mendengar gemericik air yang mengalir begitu merdu. Sebelumnya, aku memang udah searching mengenai aliran air terjun yang ada di Gunung Ungaran. Dan, here we are.
Di sana sudah ada gerombolan para pendaki yang lebih dulu beristirahat di sana. Mengetahui kedatangan kami, mereka pamit melanjutkan pendakian. Mungkin karena mereka juga mengira bahwa gerombolan yang datang pasti juga butuh tempat dan waktu untuk istirahat.
Suara gemericik sangat meneduhkan. Aliran airnya hanya kecil. Mengalir dari tebing yang tak terlalu atas. Lebarnya pun hanya sebatas tiga langkah kaki orang dewasa. Namun airnya itu, sejuk, jernih, andai ada ikan duyungnya.
Di sana kami hanya istirahat. Cuma dapet ngelap keringet sama minum doang. Setelah itu kami melanjutkan pendakian, bergantian dengan gerombolan pendaki lain yang baru saja dateng. Akhirnya, kami jalan. Beberapa langkah dari air terjun, jalanan masih sempit, jadi masih harus berjalan satu-satu.
Di sepanjang perjalanan kami melihat kunang-kunang yang lewat. Jujur, ini pertama kalinya aku merasa dekat dengan hewan menakjubkan itu, bukan lagi seperti dalam film Tinkerbell. Ada yang jatuh, kupandangi begitu dekat. Nyala terang, hijau warnanya. Teman di belakangku mau mengambilnya, katanya mau dipelihara. Aku resah. Padahal mereka hanya hidup hanya beberapa hari saja. Dan mereka sudah berhasil membuat malamku penuh kelap-kelip. For me, they deserve to fly over night. Give the light for everyone, so, there's no fear anymore.
"Kunang-kunang jika hanya sendiri, mungkin ia tak bisa memberi pencerahan pada banyak orang. Namun, jika ia bersama-sama, cahaya yang dihasilkan akan lebih besar dan pastinya bisa memberikan pencerahan pada lebih banyak orang." The phylosophy of firefly
lebih satu jam kemudian, kami sampai di pertigaan. Di sana, tempat sudah agak luas. Jadi, di tengah-tengah pertigaannya itu, ada tempat buat leyeh-leyeh. Cukup buat beberapa rombongan. Pak Tono menjelaskan, di sebelah timur kami terdapat sebuah kolam yang isinya air murni pegunungan. Mendengar itu, teman-teman yang botol minumannya habis langsung nih serudukan ke sana. Aku, sih, bengong aja. Capek, tubuh juga udah nempel di tanah, nggak mau gerak lagi. Minum juga masih tiga per empatnya. Masih cukup banget.

Kami rencananya mau istirahat dua jam di sini, karena perjalanan masih sangat lama dan sangat jauuuuuuh. Aku menghela napas panjang. Lega, batinku. Tapi, salah satunya membantah, bilang kalau kami harus mendaki lagi, karena kami bisa terlambat dan nggak bisa lihat sunrise. Aku menghela napas lagi.
Ya, Tuhan, kasihanilah kaki kami.

Akhirnya, cowok cuma bisa ngalah. Aku, cuma bisa pasrah. Perjalanan kami menuju ke jalan yang menanjak abis! Kukira yang ke arah timur. Pantes aja, dilihat-lihat emang sebelah timur itu lebih gelap dan lebih serem. Mungkin ke sana adalah jalan menuju istana jin?
Awalnya Pak Tono negasin lagi, ada yang sakit parah nggak? Bilangnya serius banget. Bikin aku takut. Berarti ini di atas ada apa-apanya. Pas aku bilang, aku sakit. Pak Tono-nya udah naik duluan. Temen aku, Venny, kaget, sambil bisik, "Kamu sakit? Beneran? Kuat nggak?"
Ngelihat yang lain udah pada naik begitu girangnya. Aku cuma bisa senyum, "Nggak kok. Udah biasa."

Ini, nanjak banget.
Mungkin lain kali, pemerintah kudu buat tangga deh buat menuju ke puncak. Gila, parah. Untung ini jalan bisa muat sampai beberapa orang. Jadi, tegangnya nggak sendirian kayak tadi. Tapi, ngelihat temen-temenku pada senang bukan kepalang, akunya susah sendirian. Nggak lucu juga. Aku coba buat bertingkah layaknya aku menikmati perjalanan ini. Padahal perut kerasa udah kayak ditusuk-tusuk.
Di sebelah kiri kami, ada rumah nih. Karena masih petang, jadi kelihatan kayak rumah setan gitu. Sepi. Nggak ada penghuni. Di sekitaran udah ada pohon-pohon yang rapi, nih. Udah mulai kelihatan komoditas para pemilik perkebunan. Beruntung, jalanan ini udah lumayan datar. Lebar juga.
Perkebunan teh dan kopi juga udah mulai kelihatan, nih.

Pukul 22:53
Kami sampai di sebuah rumah tak bertembok. Pikirku melayang pada acara tivi "[masih] Dunia Lain". Gila, tuh rumah nyaris mirip kuburan. Tapi, karena rame-rame, jadinya takutnya ilang.
Rumah itu kuyakini sebagai tempat berteduhnya para pengebun. Mungkin tempat mereka menyimpan atau meletakkan hasil panennya sebelum mereka bawa pulang. Kanan kiri, semuanya kebun dan pepohonan.
Di sini tempat kami beristirahat, setelah bergantian dengan rombongan pendaki lain.
Di tempat yang kira-kira seluas 3x5 meter ini, kami menggelar jas hujan sebagai alas tidur (karena memang nggak ada yang bawa kasur). Sebelumnya kami pesta dulu. Ngabisin snack, bagi mereka yang rela jajanannya dibagi-bagi. Buat aku sih, seneng aja. Orang aku nggak bawa apa-apa. Cuma roti dan air minum. Itu aja. Itupun makannya pas laper bener aja. Laper bener aja.
Cewek-ceweknya tidur di bawah atap. Sedangkan enam cowok itu di luar, di lerengnya gitu. Hehe.
Dan, jujur. Inilah tidur malam terburuk yang aku rasakan sepanjang masa ini.
Aku nggak bisa tidur nyenyak!
Kanan kiriku mungkin nggak betah tidur di sebelahku!
Gimana nggak ngrasa betah coba, orang tidur aja rasanya kayak lagi di kutub utara. Kayak di simpen di freezer! Lebih dingin dari cowok yang aku taksir di kampus!
Untung ini nggak berlangsung lama. Pukul 12 malem, lewat tengah malam, kami melanjutkan perjalanan. Jadi, aku udah tidur satu jam sambil kegigilan nih? Oh, neptunus. Kejamnya malam ini.

Mau tahu kelanjutannya? Lebih seru. Lebih menantang adrenalin. Lebih bikin nangis dan berdarah-darah!


Siap-siap menuju track yang me-ne-gang-kan

Nantikan, ya... [4]

0 comments: