Lampion
Posted in CerpenNamaku Tiara, hidupku memang terasa bahagia saat aku memiliki dua orang yang spesial dalam hidupku. Semenjak mereka hadir, aku tak punya alasan lagi untuk merasa kesepian.
Annora, dia selalu ada disaat aku benar-benar membutuhkannya, dan dia juga yang selalu memberiku jalan keluar saat aku punya masalah. Karena itu, aku shock berat saat ada kabar bahwa dia didiagnosis terkena sirosis.
Aldo, dia juga selalu ada buatku. Bahkan dia yang membuatku mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Aku memang tak mengerti kenapa ini harus terjadi, dan kenapa harus Aldo? Ya, aku jatuh cinta dengannya, dan aku tidak pernah berani untuk mengungkapkannya.
Aku tak bisa tanpa mereka. Hidupku terlanjur bergantung pada mereka. Ada yang hilang saat aku tak bersama mereka. Semua hampa, persis seperti apa yang aku rasakan sekarang ini. Saat aku sendiri.
Mataku tak pernah lelah memandangi lampion-lampion di atas meja kamarku yang sesekali memancarkan sinarnya di sudut mataku. Pikiranku melayang, mengantarkanku kembali ke peristiwa tujuh bulan yang lalu, saat aku masih bersama mereka.
“Sini ikut aku,” tangan Annora begitu erat menarikku. Membawaku ke suatu tempat yang belum aku temui sebelumnya.
“Aku yakin pasti kamu nggak nyesel pernah kesini.” Lanjutnya. Aku hanya bisa meringis. Lalu aku melihat sekeliling, aku tidak melihat satupun yang akan membuat malamku ini jadi istimewa buatku. Semua hanya semak belukar dan suara jangkrik yang justru menghadirkan rasa takut dan memaksaku untuk berhenti melangkah. Namun kaki ini, seakan tak ingin berhenti.
“Kita sudah sampai!” teriak Annora. Aku mengerutkan alis, apa ini? Hanya dua pohon besar yang sekarang ada di hadapanku. “Apanya yang istimewa?”
Aldo berjalan pelan mendekati salah satu pohon, tangannya menjulur ke atas seperti ingin meraih sesuatu. Dalam hitungan detik, semua berubah menjadi pancaran sinar yang mampu menembus bola mataku. Aku terperangah. Tak bisa berkata apa-apa. Ini bahkan lebih indah dari yang aku duga. Lampion berwarna-warni bergelantungan di antara dua pohon besar itu.
Mereka tersenyum padaku, kemudian tangan mereka melayang di udara, meraih dua lampion, lalu perlahan menyodorkannya ke arahku.
“Lampion ini buat kamu, biar kamu inget terus sama kita di Bandung nanti.” Aku memeluk erat tubuh mereka, mereka membalas dengan pelukan hangat. Aku merasa ini adalah malam terakhir yang indah bersama mereka.
Tiba-tiba airmataku menetes begitu saja. Saat ini aku benar-benar merindukan mereka. Aku tak ingin kehilangan mereka.
Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Seketika aku mengusap airmata ini. “Kamu di sini, Tir? Daritadi ditungguin, ayo turun makan malam.” Kata Mama.
“Iya, Ma. Abis ini Tiara juga turun.”
Aku mengikuti langkah Mama menuruni anak tangga. Meja makan terlihat begitu rapi dan penuh makanan. Ayah telah menunggu di sana.Aku duduk di sebelah Ayah, Mama mengambilkan satu centong nasi untukku dan Ayah. Aku mengambil satu persatu masakan Mama. Dan kami memulai makan malam.
“Tiara, besok Ayah sama Mama mau ke Semarang dua hari, mau ngurus pekerjaan yang belum tuntas. Kamu di sini sendiri berani, kan?” kata Ayah.Aku tersentak, hampir saja makanan yang aku makan keluar lagi dari mulutku. Semarang?
“Ayah aku ikut!” pekikku. “Tapi, besok kamu kan sekolah?” tegas Mama.
“Yah, Ma, please. Aku pengin banget ketemu temen Tiara di sana.” Aku merengek, memohon-mohon, bahkan bertekuk lutut agar mereka mengijinkanku ikut ke Semarang. Hingga akhirnya mereka mengangguk.
Ada yang membuat pagi hariku menjadi seceria dulu, karena aku akan bertemu dua sahabat yang lama aku rindukan. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa tersenyum sendiri melihat pemandangan dari balik kaca mobil. Sambil memeluk dua lampionku.
Setelah membutuhkan berjam-jam dari Bandung ke Semarang, akhirnya sore ini juga sampai di –mantan- kantornya Ayah. Aku memandang di sekeliling kantor Ayah, aku masih ingat daerah ini. Keinginanku untuk bertemu mereka selalu saja mendorongku untuk cepat-cepat melangkahkan kaki ini. Aku berlari mendekati Mama, kubisikkan kata-kata di telinganya. “Ma, aku pergi sebentar.”
“Kemana?” tanyanya heran dan penuh khawatir.
“Bentar aja, Ma.” Aku memohon lagi untuk kedua kalinya. Mama mengangguk. Dalam sekejap aku berlari secepat kilat. “Jangan lama-lama, Tiara! Ati-ati.” Terdengar suara Mama yang begitu melengking dari kejauhan. “Iya, Ma.” Aku meringis.
Aku berlari, berlari dan terus berlari menuju tempat yang terakhir aku datangi bersama kedua sahabatku. Masih memeluk kedua lampionku, yang tak ingin aku lepaskan. Aku benar-benar tak sabar, setelah sekian lama aku tak melihat mereka lagi. Dan saat ini, tiba penantianku.
Aku memelankan langkahku, kurasa aku sampai di tempat di mana akan ada kebahagiaan untukku. Ku melihat dari kejauhan, seseorang sedang duduk di antara dua pohon besar itu. Tiba-tiba perasaan janggal menghantuiku. Aku berjalan lambat, mendekatinya.
“Aldo.” Suara lirih keluar dari mulutku. Tidak ada reaksi. Aku meletakkan kedua lampionku begitu saja di tanah. “Aldo!” aku kembali memanggilnya. Ada perasaan marah saat itu. Aku mendekatinya dan mencoba menatap tajam matanya.
Itu sama sekali bukan Aldo, Aldo tidak pernah mengeluarkan airmata seperti ini! Aku menggeleng kuat, dan tak sadar airmata telah membanjiri pipiku. Aku menyebelahinya. Ikut menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya. Dan saat itu, hanya ada airmata dan keheningan di antara kita.
“Semenjak kamu pergi, lampion-lampion ini nggak bisa nyala lagi. Dan tempat ini, jadi gelap seperti saat kami kehilangan kamu, dan.. saat aku kehilangan Annora.” Katanya lirih.
“Kenapa kamu nggak pernah kasih tau aku!” aku benar-benar marah dengannya.
“Dia sendiri yang memaksaku untuk tidak memberitahu kamu.” Katanya. Ini membuatku ingin menangis lebih kencang lagi. “Dia cuma ingin melihat lampion-lampion ini nyala untuk yang terakhir kalinya, dan ketemu kamu.” Lanjutnya.
Matahari semakin tak ingin menampakkan diri di hadapanku, dan airmata ini tak bisa berhenti membasahi pipi. Aku berhenti merintih, aku berlari mengambil lampion-lampionku. Aku pasangkan pada dua tempat yang kosong di antara segerombolan lampion lainnya. Aldo hanya melihatku dengan tatapan kosong.
Masih dengan airmata dan rintihan-rintihan yang keluar dari mulutku, dan mataharipun kini tak terlihat lagi. Kupejamkan mata ini, kemudian aku merasaada sinar yang menembus kelopak mataku. Lalu kubuka mata ini pelan-pelan. Lampion-lampion itu?
Aldo berjalan mendekatiku, dia terkejut, dan tidak percaya lampion-lampion ini bisa menyala lagi, begitu juga aku.
“Keinginan Annora sudah tercapai.” Katanya tersenyum. Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum, tapi rasanya susah saat aku kehilangan satu di antara mereka.
Dengan pelan aku meletakkan kepalaku di bahu Aldo. Aldo memelukku erat. Aku memandang satu lampion yang Nora petik untukku dulu, aku baru menyadari bahwa lampion itulah yang menyala paling terang. Aku tersenyum.
Selamat tinggal Annora.
0 comments: