Thursday, December 18, 2014

0

Wajah Baru Indonesia di Balik Topeng Kemelaratan

Posted in , , ,
Oleh Atika Rahma Fitriani  

Dalam lintas sejarah yang telah berlalu, Indonesia selalu muncul dengan wajah baru dan menjejakkan berbagai polemik besar dalam perkembangannya menjadi negara yang makmur dan maju. Sedikit berkilas balik, enam puluh sembilan tahun yang lalu, masyarakat Indonesia dapat tersenyum lega walau sebelumnya selama berpuluh tahun bertumpah darah membela negara yang hampir habis dikikis penjajah yang haus akan keserakahan. Masyarakat Indonesia dapat menyaksikan betapa tegasnya Bung Karno dalam menyampaikan pidatonya walau tubuhnya ringkih saat itu. Penggal demi penggal kalimat terurai melalui microfon sederhana, di hadapan para penikmat kebebasan yang mengenakan busana apa adanya namun tetap memiliki etika, Bung Karno mampu mengubah Indonesia menjadi negara dengan wajah baru. Senyum-senyum terlintas. Tak ada lagi derita, bahkan air mata. Yang ada hanyalah harapan dan masa depan; pada Indonesia-lah mereka mengabdi, demi nusa, dan bangsa.            

Berbanding terbalik dengan peristiwa dramatis penuh kesederhanaan yang terjadi pada masa silam, lima  bulan yang lalu masyarakat Indonesia di hadapkan pada dua pilihan yang sulit. Memilih untuk Indonesia yang baru; selalu bersamaan dengan segala harapan agar kesejahteraan dapat dirasakan hingga menyentuh batasan-batasan yang terlalu sulit mengenyam rasa sejahtera.            

Saling berlempar opini buruk, black campaign, antara pendukung kubu satu dan kubu dua yang saling melempar api padahal mereka masih dalam satu atap yang sama; Indonesia. Kenyataannya, ketika Indonesia memutuskan agar sang pencetus “Revolusi Mental” tersebutlah yang akan mengantar Indonesia dalam transisi menuju Indonesia baru lima tahun ke depan, sulut api itu tak sepenuhnya padam.

            Bagaimana akan menjumpai wajah baru Indonesia apabila lidah yang tak bertulang tersebut masih saja licin mengucap sesuatu? Yang pada awalnya sangat begitu setuju dengan keputusan apapun yang akan dilakukan oleh sang pemimpin, baru ketika mendengar berita harga kebutuhan sehari-harinya meningkat sedangkan pendapatannya tak pernah bisa sebanding dengan pengorbanan yang dirasakannya—mereka menelan kekecewaan, mengecam sang pengambil kebijakan.


            Dengan adanya subsidi bahan baku minyak (BBM), artinya, Indonesia sedang dalam strategi menstabilkan pendapatan negara. Pada tahun-tahun terakhir, Indonesia berhasil mengalami peningkatan perekonomian mencapai 6 persen, mengalahkan Eropa. Padahal, sejatinya, sebuah negara yang mencapai perekonomian 6 hingga 7 persen, maka negara tersebut telah bebas dari middle income trapped atau jebakan negara berpendapatan menengah. Dan itu adalah salah satu syarat suatu negara disebut negara maju.            

Jika berbicara mengenai Indonesia lima tahun ke depan, akan teringat beberapa poros yang menyebabkan laju pertumbuhan Indonesia yang masih mengalami stagnansi.            

Kemiskinan merupakan salah satu penyakit menahun yang terjadi pada Indonesia. Tingkat kemiskinan di Pulau Jawa masih berkisar sekitar 40 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa mencapai 60 persen. Hal itu dikarenakan kurangnya skill dari masyarakat, rendahnya pendidikan, serta ketatnya perselisihan dalam dunia kerja, terutama warga pedalaman. Pertumbuhan yang tak terkendali juga menjadi pemicu meningkatnya kebutuhan ekonomi padahal hal itu sangat terbatas.            

Jika masyarakat masih mengecam adanya subsidi BBM, maka Indonesia masih harus menerima kenyataan bahwa kemiskinan tidak benar-benar bisa dihapuskan. Padahal yang seharusnya masyarakat tahu, adanya subsidi BBM secara otomatis membuat laju perekonomian sektor menengah ke bawah, khususnya para pedagang menjadi naik karena faktor meningkatkan bahan baku tersebut. Hal itu dapat menjadi strategi dalam meningkatkan laba untuk pendapatannya. Bisa jadi dalam lima tahun ke depan, tingkat kemiskinan menjadi turun beberapa persen.

Di sisi lain, kurangnya koreksi ekonomi menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan. Hal itu membuat laju perekonomian berada beberapa langkah dari kata sempurna. Bank Indonesia menyeimbangkan keadaan perekonomian tersebut dengan meningkatkan kredit rencana bisnis bank, sehingga diharapkan akan terjadi surplus dan menambah persentase perekonomian di Indonesia.

Beberapa masalah lain adalah ketelodoran yang berbuah bencana bagi warga Sidoharjo. Kesalahan yang dibuat Lapindo menyebabkan pemerintah harus merogoh APBN kurang lebih sebesar Rp 781 miliar. Jika demikian, anggaran yang seharusnya bukan untuk membayar ganti rugi akibat kesalahan yang terjadi bertahun-tahun lamanya tersebut, membuat perhitungan anggaran menjadi jauh dari ekspektasi. Waktu dekat ini, APBN negara mengalami defisit sekitar Rp241,4 miliar, sehingga Presidon Joko Widodo memberi rencana pemangkasan anggaran APBN agar dapat mengurangi defisit setidaknya menjadi 2 persen.Apabila strategi subsidi BBM yang dijalankan oleh Presiden dapat berjalan sesuai rencana, maka Indonesia dapat mengantongi pendapatan berpuluh-puluh triliun, sehingga diharap dapat menutup kerugian dan utang-utang lainnya.

Lalu, jika Indonesia sedang dalam gencar-gencarnya berbicara mengenai rencana peningkatan perekonomian negara, bagaimana kesiapan mental sumber daya manusianya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai diberlakukan pada tahun 2015?

Indonesia merupakan salah satu dari sembilan anggota negara ASEAN yang menyepakati perjanjian MEA. MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN, dalam artian adanya sistem perdagaangan bebas antara negara-negara di ASEAN.Perlu diketahui bahwa pembentukan MEA 2015 bukanlah sebuah proyek ”mercusuar” tanpa roadmap[1] yang jelas, tidak lain adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN dengan visi yang kuat.

MEA 2015 hanyalah salah satu pilar dari 10 visi mewujudkan ASEAN Community. Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah outward looking, economic integration, harmonious environment, prosperity, caring societies, common regional identity, living in peace, stability, democratic, dan shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri, 2014). Dengan kata lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi Indonesia dari pemerintah yang tidak jelas arahnya.[2]

Hal yang perlu dipersiapkan Indonesia adalah bagaimana mengolah skill dan daya saing yang kuat bagi masyarakatnya. Dengan adanya MEA, maka, ASEAN membuka lapangan pekerjaan yang luas, menjadi peluang bagi para pengangguran untuk bekerja. Namun, di samping diperluasnya lapangan pekerjaan, apakah yakin jika masyarakat Indonesia mampu mengalahkan ketatnya persaingan karena secara sadar mereka sedang dalam persaingan dengan masyarakat se-ASEAN dalam mencari pekerjaan?

Purwandani, (2014:1) menyebutkan apabila Indonesia tidak siap, maka aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal, terlihat sebagai ancaman daripada peluang. Tantangan lainnya adalah jurang horizontal antara negara dengan kelas ekonomi maju dan yang masih menengah dan maju. Jurang vertikal antara negara yang demokratis liberal dan masih otoriter.

Untuk itu, demi membentuk masyarakat terpadu dalam menghadapi ketatnya persaingan kerja, Presiden Joko Widodo perlu mengasah lebih dalam masyarakat serta melatih seluruh keterampilan, khususnya masyarakat yang belum memiliki pekerjaan dan sertifikasi serta UKM yang perlu dikembangkan.      

Jika langkah tersebut menuai hasil yang baik, maka, dalam lima tahun ke depan pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan meningkat karena kemerataan ekonomi, serta pembangunan nasional yang menyeluruh hingga pada sektor kecil. Hal tersebut tentu akan menaikkan tingkat pendapatan negara hingga beberapa persen, dan Indonesia akan semakin jauh melebihi tingkat prasyarat middle income trapped. Bukankah dengan begitu, Indonesia bisa semakin dekat dengan julukan negara maju?

Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro dalam diskusi “Membangun Indonesia Jalan Baru Jokowi-JK” menuturkan bahwa Presiden Baru Indonesia dihadapkan pada tujuh persoalan, yaitu merevitalisasi otonomi daerah, kepolisian serta penyelesaian konflik, kedaulatan laut Indonesia, ketahanan pangan, migas dan kekayaan alam lainnya, pembangunan ekonomi melalui perdagangan antar pulau dan karakter bangsa.

Indonesia pernah mengalami kebimbangan yang luar biasa dalam pemerintahan yang dipimpin oleh B.J. Habibie mengenai pelepaskan Timor-Timur dari Indonesia. Ditambah lagi, prediksi pada tahun 2015, Indonesia akan terpecah belah. Pertengkaran sesama anak bangsa semakin meluas. Pulau Jawa, Bali, Madura (Jamali) yang akan menjadi induk negara republik, hal itu tertuang dalam buku karangan Djuyoto Suntani berjudul 'Tahun 2015 Indonesia Pecah'.

Jika kita menengok pada masa reformasi, berbagai konflik terjadi hingga mengakibatkan perseteruan antar Indonesia. Konflik sosial yang dipicu oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan antara warga Batumerah, Ambon, dan sopir angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999.  Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Konflik sosial di Kalimantan Barat ternyata terjadi juga di Kalimantan Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah konflik antara etnis Madura dan Dayak. Serta konflik sosial di Sulawesi Tengah tepatnya di daerah Poso berkembang menjadi konflik antaragama. “NKRI pasca Reformasi harus dibangun mulai dari masing-masing daerah dengan pendekatan local wisdom,” AM Putut Prabantoro menambahkan.

Munculnya local wisdom dan terjaminnya hubungan harmoni antar daerah otonomi akan mendorong terbangunnya sinergi pembangunan ekonomi terkait dengan ketahananan pangan, pemanfaatan bersama atas migas atau  sumber daya alam lainnya secara bersama dan membuka perdagangan antar pulau karena tumbuhnya ekonomi bersama antar pulau atau daerah otonomi.

Pada dasarnya, Indonesia adalah sebuah rumah di mana fondasinya adalah Pancasila, beratapkan NKRI, serta mempunyai 4 pilar utama, yaitu Bhineka Tunggal Ika, Gotong Royong, Bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, dan UUD 1945  sebagai pilar tata kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Sudah seharusnya, rakyat Indonesia adalah satu kesatuan utuh yang selalu berlindung di bawah naungannya yang megah dan kokoh.Indonesia kaya akan biodiversitas serta sumber daya manusia, hanya saja, keduanya belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan pengembangan sumber daya manusia menjadi masyarakat yang terlatih dan mempunyai potensi kuat dalam persaingan menghadapi MEA tersebut, tentu laju perekonomian menjadi berkembang pesat karena ASEAN sendiri telah membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat memeratakan pembangunan nasional hingga ke sektor-sektor kecil.

Lalu, bagaimana jika kita berbicara mengenai biodiversitas?Indonesia mempunyai kekayaan alam yang melimpah, antara lain biodiversitas dapat diperbaharui (renewable) dan tidak dapat diperbaharui (unrenewable).Kembali pada persoalan mengenai subsidi BBM di atas. Seperti yang kita tahu, BBM adalah salah satu kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga keadaannya menjadi sangat terbatas dan Indonesia masih butuh melakukan impor dari negara lain.

Lalu, apakah keadaan ekonomi di Indonesia akan semakin membaik apabila terus melakukan impor?

Indonesia harus kembali menengok ke dalam dirinya. Kekayaan alam yang dimiliki telah tumpah ruah. Seperti misalnya laut yang tak pernah habis persediaannya. Dalam hal ini, Indonesia harusnya dapat berdaulat atas laut. Mengingat potensi sumber daya laut yang kita miliki sangat besar, maka kekayaan laut ini harus menjadi keunggualan kompetitif Indonesia, yang dapat menghantarkan bangsa kita menuju bangsa yang adil, makmur, dan mandiri.

“Indonesia juga harus menguasai lautnya yang kaya dengan merevitalisasi seluruh departemen terkait dengan laut.  Indonesia harusnya memiliki satu lembaga dengan banyak tugas untuk mengurus lautnya seperti negara kepulauan lain. Jika peraturan laut masih tumpang tindih seperti sekarang ini, jangan harap bangsa Indonesia berdaulat atas lautnya,” tutur Raden Priyono.

Berbicara mengenai bagaimana Indonesia dalam lima tahun ke depan, berarti mempersoalkan bagaimana kinerja Presiden Jokowi dalam memimpin bangsa Indonesia ini. Apakah di bawah kepemimpinan beliau, perekonomian Indonesia semakin membaik atau justru sebaliknya?

Di akhir kepemimpinan beliau, seluruh pengharapan masyarakat akan tujuh persoalan yang harus diselesaikan oleh beliau, tentu harus telah selesai. Bukankah apabila Indonesia mengalami surplus dalam perkembangan ekonominya, masyarakat tentu akan merasakan kesejahteraan yang merata? Kemiskinan yang tidak mendominasi, kekayaan yang melimpah, utang-utang negara yang bersih, serta kesenjangan sosial yang telah terkubur rapi, akan menggiring Indonesia sampai pada tingkatan yang sejajar dengan Jepang maupun Korea.

Dan, ramalan Indonesia terpecah-belah tersebut mungkin akan jadi isapan jempol semata. Indonesia akan tetap satu dengan segala tujuannya; menjadikan Indonesia berdikari, makmur, dan sejahtera tanpa ada lagi topeng kemelaratan.Indonesia akan menjadi negara utuh dengan kekayaan alamnya yang melimpah, dan keadaan perekonomian yang terus mengalami peningkatan. Hingga, penulis dapat memberikan opini mengenai Indonesia baru pada lima tahun ke depan, di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia akan mandiri di tengah ketatnya persaingan MEA. Tingkat kemiskinan akan berkurang beberapa persen berkat terlatihnya sumber daya manusia yang diiringi perluasan lapangan pekerjaan dan tertutupnya peluang pengangguran.

Meski dalam pemikiran, Indonesia belum dapat menjuluki dirinya sebagai negara maju, setidaknya kesejahteraan masyarakat adalah kunci utama agar tetap berdiri kokoh tanpa perpecahan, dan tanpa topeng kemelaratan.

Semarang, 20 Desember 2014.


[1] Peta jalan yang berisi langkah-langkah strategis.

[2] Heru, Umam. 2014. Siapkah Kita Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)?

0 comments: