[Draft-Perjalanan Seru] Part 2-end "Savana Inside of Ngalam"
Posted in artikel, Hotel Savana Malang, Kota Malang, Kota Pelajar, perjalanan seru by bentang pustaka, the ho[s]tel, tips memilih hotel, TIPS-TIPS, Travelling
Ada beberapa ranjang dan aku memilih tidur di ranjang paling ujung, dekat dengan televisi berukuran 40 inch. Di sana terdapat toilet dengan fasilitas lengkap; shower, bath tub, sabun, sikat gigi, pasta gigi, handuk, dan lain-lain.
Di dalam kamar juga terdapat pot dan tanaman berbunga. Di balik kaca bertirai besar, dapat terlihat suasana kota Malang yang padat merayap. Juga ketika keluar dari pintu kamar, dapat kita rasakan bagaimana tenangnya ruang tengah dengan beberapa sofa untuk bersantai ria.
Yang tak kalah menarik, jika kita melangkah sedikit saja menuju balkon ruang tengah tersebut, terlihat sepanjang rel kereta api yang memanjang di antara dua gedung. Sesekali ketika jamnya tiba, kereta itu meluncur, menghadirkan gesekan dengan rel yang mengetuk gendang telinga.
Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah berfoto. Mengabadikan moment langka ini. Meskipun pada akhirnya bibirku memucat pasi dan tubuhku lemas karena luka yang terlalu jemawa menyerang. Aku tak dapat secara utuh menikmati bagaimana menjadi pemilik sesaat hotel ini.
Setelah sekian lama, aku menemukan foto itu. Foto sepuluh tahun lalu yang tercetak dengan jelas bagaimana raut mukamu waktu itu. Pucat tanpa ada sunggingan senyum yang tersisa. Hanya ada gadis kecil berpakaian merah muda yang diapit oleh dua paruh baya dengan senyumnya yang memesona.
Aku selalu ingin bisa merasakan berfoto dengan mereka.
Untuk makan, kami mengikuti fasilitas yang telah disediakan. Acara breakfast, lunch dan dinner berlangsung di restoran dalam hotel di lantai dua, yang terletak di bawah dari tempat yang kujadikan pilihan menetap.
Makanannya pun kelas atas. Menambah daftar makanan yang tak pernah kujamah sekalipun setelah sekian lama hanya memakan nasi sayur bayam dan segala pasukannya. Dan lihat bagaimana orang-orang di sana mempermainkan sendok dan garpu mereka. Justru mereka dengan susah payah memaju-mundurkan pisau di atas daging matang. Apakah itu berlebihan? Di rumah sederhanaku, aku lebih senang jika memakannya langsung dengan tangan.
Setelah makan, kami menyempatkan diri berjalan-jalan menikmati suasana di dalam hotel.
Meskipun tubuhku hanya sanggup untuk terlentang di atas ranjang putih, namun semangat Ibu untuk menyeretku menuju kamar mandi terlalu besar. Aku harus mandi. Oh bukan, aku harus merasakan bagaimana mandi di kamar mandi seperti yang pernah kulihat di tayangan selebriti.
Ibu memutar kran air, sehingga butiran-butiran air hangat menyentuh kulitku yang menggigil. Di dalam bath tub, aku merasakan kebahagiaan yang tak terduga. Hanya dengan melalui jamahan jemari Ibu yang terus-menerus mengusap agar tak ada air yang mengalir pada bola mataku, aku dapat merasakan kebahagiaan berada pada pihakku. Ditambah dengan air yang perlahan mengepulkan kehangatan juga percikan-percikan dari shower yang menghadirkan irama yang senada detak jantungku.
Semua kurasakan betapa nikmatnya surga dunia.
Hari itu juga, kami berbondong-bondong menuju PTN di Malang—tempat Ayah akan memakai toga dan berhadapan dengan Direkturnya, dengan sandangan kata lulus wisuda. Aku tak pernah tahu bagaimana kebahagiaan tercetak jelas pada raut mukanya. Yang kutahu, Ayah sangatlah bahagia, karena begitu kutahu pesonanya lewat bingkai foto dirinya yang menyungging senyum simpul itu.
Setelah itu kami akan langsung melanjutkan pulang ke kota tercinta—Rembang, sedang keluarga besar di Semarang.
Begitulah secuplik kisahku dalam menyusuri indahnya bermalam di Kota Pelajar. Sebenarnya, dihitung dari tahun yang kuceritakan di atas—sekitar 2001 hingga saat ini: 2013, sudah ketiga kalinya aku mengunjungi kota romantis ini. Kapan-kapan aku ceritain deh, keberangkatan ketigaku di kota ini benar-benar membuatku ingin ‘mengulang’ kembali kisah-kisah yang pernah terjadi.
END.
Di dalam kamar juga terdapat pot dan tanaman berbunga. Di balik kaca bertirai besar, dapat terlihat suasana kota Malang yang padat merayap. Juga ketika keluar dari pintu kamar, dapat kita rasakan bagaimana tenangnya ruang tengah dengan beberapa sofa untuk bersantai ria.
Yang tak kalah menarik, jika kita melangkah sedikit saja menuju balkon ruang tengah tersebut, terlihat sepanjang rel kereta api yang memanjang di antara dua gedung. Sesekali ketika jamnya tiba, kereta itu meluncur, menghadirkan gesekan dengan rel yang mengetuk gendang telinga.
Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah berfoto. Mengabadikan moment langka ini. Meskipun pada akhirnya bibirku memucat pasi dan tubuhku lemas karena luka yang terlalu jemawa menyerang. Aku tak dapat secara utuh menikmati bagaimana menjadi pemilik sesaat hotel ini.
Setelah sekian lama, aku menemukan foto itu. Foto sepuluh tahun lalu yang tercetak dengan jelas bagaimana raut mukamu waktu itu. Pucat tanpa ada sunggingan senyum yang tersisa. Hanya ada gadis kecil berpakaian merah muda yang diapit oleh dua paruh baya dengan senyumnya yang memesona.
Aku selalu ingin bisa merasakan berfoto dengan mereka.
Untuk makan, kami mengikuti fasilitas yang telah disediakan. Acara breakfast, lunch dan dinner berlangsung di restoran dalam hotel di lantai dua, yang terletak di bawah dari tempat yang kujadikan pilihan menetap.
Makanannya pun kelas atas. Menambah daftar makanan yang tak pernah kujamah sekalipun setelah sekian lama hanya memakan nasi sayur bayam dan segala pasukannya. Dan lihat bagaimana orang-orang di sana mempermainkan sendok dan garpu mereka. Justru mereka dengan susah payah memaju-mundurkan pisau di atas daging matang. Apakah itu berlebihan? Di rumah sederhanaku, aku lebih senang jika memakannya langsung dengan tangan.
Setelah makan, kami menyempatkan diri berjalan-jalan menikmati suasana di dalam hotel.
Meskipun tubuhku hanya sanggup untuk terlentang di atas ranjang putih, namun semangat Ibu untuk menyeretku menuju kamar mandi terlalu besar. Aku harus mandi. Oh bukan, aku harus merasakan bagaimana mandi di kamar mandi seperti yang pernah kulihat di tayangan selebriti.
Ibu memutar kran air, sehingga butiran-butiran air hangat menyentuh kulitku yang menggigil. Di dalam bath tub, aku merasakan kebahagiaan yang tak terduga. Hanya dengan melalui jamahan jemari Ibu yang terus-menerus mengusap agar tak ada air yang mengalir pada bola mataku, aku dapat merasakan kebahagiaan berada pada pihakku. Ditambah dengan air yang perlahan mengepulkan kehangatan juga percikan-percikan dari shower yang menghadirkan irama yang senada detak jantungku.
Semua kurasakan betapa nikmatnya surga dunia.
Hari itu juga, kami berbondong-bondong menuju PTN di Malang—tempat Ayah akan memakai toga dan berhadapan dengan Direkturnya, dengan sandangan kata lulus wisuda. Aku tak pernah tahu bagaimana kebahagiaan tercetak jelas pada raut mukanya. Yang kutahu, Ayah sangatlah bahagia, karena begitu kutahu pesonanya lewat bingkai foto dirinya yang menyungging senyum simpul itu.
Setelah itu kami akan langsung melanjutkan pulang ke kota tercinta—Rembang, sedang keluarga besar di Semarang.
Begitulah secuplik kisahku dalam menyusuri indahnya bermalam di Kota Pelajar. Sebenarnya, dihitung dari tahun yang kuceritakan di atas—sekitar 2001 hingga saat ini: 2013, sudah ketiga kalinya aku mengunjungi kota romantis ini. Kapan-kapan aku ceritain deh, keberangkatan ketigaku di kota ini benar-benar membuatku ingin ‘mengulang’ kembali kisah-kisah yang pernah terjadi.
END.
0 comments: