Ied Mubarak in Kota Harapan
Posted in adat magelang, adat semarang, artikel, balon udara lebaran, balon udara petasan, idul fitri, lampion, lebaran, magelang, semarang, syawalan, takbiran
Semarang, 11 Agustus 2013
Alhamdulillah,
Allah masih memberiku kesempatan untuk menjalani ramadhan dan Idul Fitri
bersama keluargaku.
Empat hari yang lalu adalah hari
yang paling berkesan untukku. Untuk yang pertama kalinya, aku menikmati sahur,
puasa, berbuka, takbiran dan lebaran di kota kelahiranku: Magelang.
Ada beberapa alas an mengapa aku
mengatakan ‘aku menikmati’.
Pertama, di sana aku tiba-tiba
menjadi sok rajin. Selalu sholat tepat waktu, membantu memasak, mandi pagi dan
sore, meskipun saat akan mandi, butuh pikir panjang karena airnya yang dingin
bak mandi es batu.
Kedua, aku bisa bertemu nenekku yang
selalu kuharapkan akan baik-baik saja saat aku menginjakkan kakiku di rumahnya.
karena melihat senyumannya, itu bahagia untukku.
Ketiga, aku bisa menjalani semua
kegiatan yang sudah kusebut di atas bersama keluargaku. Tak ada yang lebih
membahagiakan selain kebersamaan. Right?
Oke, di sini aku lebih tertarik menulis
tentang perbedaan yang aku rasakan ketika aku menikmati Hari Raya-ku di kota
besar: Semarang, dengan kotaku: Magelang.
Saat di sini, aku begitu menikmati
sahurku karena saat kuterbangun, berbagai makanan sudah tersaji di sana. dan
aku boleh memakan apapun yang kumau.
Aku begitu menikmati puasaku karena aku punya banyak
kesibukan juga anak-anak kecil yang membuatku lupa dengan rasa haus dan lapar
yang melandaku.
Aku selalu menkmati malam takbiran. Gema
suara takbir yang mendengung dari masjid manapun, begitu menggetarkan jiwa. Warna-warni
kembang api di langit, membuat malam tak pernah sepi.
Aku menghabiskan malam takbiranku di
alun-alun Magelang. Di sana penuh sesak dengan ratusan manusia yang mempunyai
tujuan yang sama denganku. Bagus, memesona, namun mengapa aku selalu takut saat
seseorang mengangkat tangannya dan petasan-petasan itu meledak di angkasa.
Di Semarang, aku selalu
memandanginya lewat atap rumahku. Perasaan senang tidak sepenuh hati. Namun di
sini aku tak menemukan ada takbir keliling seperti apa yang penah kulihat di
Semarang.
Saat Lebaran, ini saat yang
kunanti-nanti. Seluruh keluarga berkumpul dalam satu ruangan. Saling bersalam-salaman.
Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan lain—yang sangat ditunggu-tunggu— Hus!
Adat Magelang ini kentara sekali. Saat
aku kecil, aku sempat melihat barang itu dari kejauhan, namun kali ini aku
melihatnya langsung dari arah yang dekat.
Ya, balon udara berpetasan.
“Tradisi lampau bangkit kembali.” Begitu
kata Ibu.
Memang benar, balon udara berpetasan
tersebut selalu diterbangkan setiap syawalan. Meskipun tradisi ini masih kalah
pandang dari adat milik Wonosobo.
Mereka menyiapkannya mungkin sejak
beberapa hari yang lalu. Balon raksasa itu dibuat dengan lapisan kertas minyak.
Tak terbayang bagaimana usaha mereka menciptakan ribuan balon untuk menyemarakkan
syawal ini.
Aku dapat melihat, ribuan balon
melayang-layang di udara. Dengan berbagai warna yang mampu mengubah warna biru
di langit menjadi pelangi di mana-mana.
Setiap detik balon tersebut
mengeluarkan bunyi petasan yang cukup mengagetkan. Tetapi petasan tersebut
hanya berlangsung sekitar sepuluh kali.
Tradisi kedua, mengunjungi makam
keluarga kami yang telah mendahului. Hanya beberapa dri kami yang melakukan
ini. Dengan berbekal alas kaki dan surat yasin, kami menapak jalan setapak yang
cukup jauh dan melelahkan namun menyenangkan untuk bisa berkunjung ke
persemayaman kakek.
Setelah itu, tradisi ketiga. Bersilaturahmi
ke tempat saudara. Satu per satu rumah kami kunjungi. Rumah-ruamah itu sudah
seringkali kukunjungi pada tahun-tahun sebelumnya, namun kulihat banyak
perubahan darinya.
Yang tak berubah adalah keramahan
tuan rumah dalam menerima tamu, juga penawaran mereka untuk menjamu atau lebih
tepatnya makan gratis. “Monggo, dhaharane dipun sekecakaken.” Begitu mereka
berbasa-basi. Hihi. Padahal, dengan mengacungkan ibu jari ke arah pintu menuju
ruang tengahpun, mereka pasti sudah paham.
Akupun makan sepuas hati, sampai
kenyang sampai berat badanku bertambah.
Setelahnya, waktu telah habis untuk
bisa berlama-lama di Magelang. Saatnya kembali ke kampung halaman. Semarang
tercinta.
Kuharap untuk tahun selanjutnya,
Semarang akan bisa lebih menonjolkan tradisi dalam kota tersebut. Seperti misalnya,
menerbangkan seribu lampion pada malam perayaan lebaran seperti apa yang selalu
dilakukan warga Buddha Magelang saat perayaan Waisak di Candi Borobudur. Itu hal
yang selalu kuinginkan untuk kulihat secara langsung.
Namun Semarang telah melakukan yang
terbaik. Dengan tradisi Warak Ngendok sebelum ramadhan datang telah membuatku
merasa lebih dekat dengan kota ini.
Well,
setiap kota punya cerita yang berbeda-beda. J
Ini
kisah di kotaku, mana cerita di kotamu?
0 comments: