Friday, August 16, 2013

0

Ied Mubarak in Kota Harapan

Posted in , , , , , , , , , , ,
Semarang, 11 Agustus 2013


Alhamdulillah, Allah masih memberiku kesempatan untuk menjalani ramadhan dan Idul Fitri bersama keluargaku.
            Empat hari yang lalu adalah hari yang paling berkesan untukku. Untuk yang pertama kalinya, aku menikmati sahur, puasa, berbuka, takbiran dan lebaran di kota kelahiranku: Magelang.
            Ada beberapa alas an mengapa aku mengatakan ‘aku menikmati’.
            Pertama, di sana aku tiba-tiba menjadi sok rajin. Selalu sholat tepat waktu, membantu memasak, mandi pagi dan sore, meskipun saat akan mandi, butuh pikir panjang karena airnya yang dingin bak mandi es batu.
            Kedua, aku bisa bertemu nenekku yang selalu kuharapkan akan baik-baik saja saat aku menginjakkan kakiku di rumahnya. karena melihat senyumannya, itu bahagia untukku.
            Ketiga, aku bisa menjalani semua kegiatan yang sudah kusebut di atas bersama keluargaku. Tak ada yang lebih membahagiakan selain kebersamaan. Right?
             Oke, di sini aku lebih tertarik menulis tentang perbedaan yang aku rasakan ketika aku menikmati Hari Raya-ku di kota besar: Semarang, dengan kotaku: Magelang.

            Saat di sini, aku begitu menikmati sahurku karena saat kuterbangun, berbagai makanan sudah tersaji di sana. dan aku boleh memakan apapun yang kumau.
Aku begitu menikmati puasaku karena aku punya banyak kesibukan juga anak-anak kecil yang membuatku lupa dengan rasa haus dan lapar yang melandaku.
            Aku selalu menkmati malam takbiran. Gema suara takbir yang mendengung dari masjid manapun, begitu menggetarkan jiwa. Warna-warni kembang api di langit, membuat malam tak pernah sepi.
            Aku menghabiskan malam takbiranku di alun-alun Magelang. Di sana penuh sesak dengan ratusan manusia yang mempunyai tujuan yang sama denganku. Bagus, memesona, namun mengapa aku selalu takut saat seseorang mengangkat tangannya dan petasan-petasan itu meledak di angkasa.          
            Di Semarang, aku selalu memandanginya lewat atap rumahku. Perasaan senang tidak sepenuh hati. Namun di sini aku tak menemukan ada takbir keliling seperti apa yang penah kulihat di Semarang.
            Saat Lebaran, ini saat yang kunanti-nanti. Seluruh keluarga berkumpul dalam satu ruangan. Saling bersalam-salaman. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan lain—yang sangat ditunggu-tunggu— Hus!
            Adat Magelang ini kentara sekali. Saat aku kecil, aku sempat melihat barang itu dari kejauhan, namun kali ini aku melihatnya langsung dari arah yang dekat.
            Ya, balon udara berpetasan.
            “Tradisi lampau bangkit kembali.” Begitu kata Ibu.
            Memang benar, balon udara berpetasan tersebut selalu diterbangkan setiap syawalan. Meskipun tradisi ini masih kalah pandang dari adat milik Wonosobo.
            Mereka menyiapkannya mungkin sejak beberapa hari yang lalu. Balon raksasa itu dibuat dengan lapisan kertas minyak. Tak terbayang bagaimana usaha mereka menciptakan ribuan balon untuk menyemarakkan syawal ini.
            Aku dapat melihat, ribuan balon melayang-layang di udara. Dengan berbagai warna yang mampu mengubah warna biru di langit menjadi pelangi di mana-mana.
            Setiap detik balon tersebut mengeluarkan bunyi petasan yang cukup mengagetkan. Tetapi petasan tersebut hanya berlangsung sekitar sepuluh kali.
            Tradisi kedua, mengunjungi makam keluarga kami yang telah mendahului. Hanya beberapa dri kami yang melakukan ini. Dengan berbekal alas kaki dan surat yasin, kami menapak jalan setapak yang cukup jauh dan melelahkan namun menyenangkan untuk bisa berkunjung ke persemayaman kakek.
            Setelah itu, tradisi ketiga. Bersilaturahmi ke tempat saudara. Satu per satu rumah kami kunjungi. Rumah-ruamah itu sudah seringkali kukunjungi pada tahun-tahun sebelumnya, namun kulihat banyak perubahan darinya.
            Yang tak berubah adalah keramahan tuan rumah dalam menerima tamu, juga penawaran mereka untuk menjamu atau lebih tepatnya makan gratis. “Monggo, dhaharane dipun sekecakaken.” Begitu mereka berbasa-basi. Hihi. Padahal, dengan mengacungkan ibu jari ke arah pintu menuju ruang tengahpun, mereka pasti sudah paham.
            Akupun makan sepuas hati, sampai kenyang sampai berat badanku bertambah.
            Setelahnya, waktu telah habis untuk bisa berlama-lama di Magelang. Saatnya kembali ke kampung halaman. Semarang tercinta.
            Kuharap untuk tahun selanjutnya, Semarang akan bisa lebih menonjolkan tradisi dalam kota tersebut. Seperti misalnya, menerbangkan seribu lampion pada malam perayaan lebaran seperti apa yang selalu dilakukan warga Buddha Magelang saat perayaan Waisak di Candi Borobudur. Itu hal yang selalu kuinginkan untuk kulihat secara langsung.
            Namun Semarang telah melakukan yang terbaik. Dengan tradisi Warak Ngendok sebelum ramadhan datang telah membuatku merasa lebih dekat dengan kota ini.
            Well, setiap kota punya cerita yang berbeda-beda. J


Ini kisah di kotaku, mana cerita di kotamu?

0 comments: