Sahabat Kecilku
Posted in Cerpen, Rindu, Sahabat, Sahabat Kecil, Suratku
Hai, apa kabar?
Seperti apa yang selalu kujanjikan, aku
takkan pernah melupakan semua. Namun satu hal yang gagal kita pertahankan;
bahwa kita akan selalu bersama.
Sahabat kecilku, tak ada yang salah di
antara kita. Jarak yang menginginkan kita seperti ini. Waktu yang memaksa kita
untuk tak seperti dulu lagi.
Aku juga merindukan semua. Aku
merindukan bagaimana kita mengeja tawa tanpa airmata. Aku merindukan
suara-suara manis yang begitu menggelitik telinga. Aku merindukan bagaimana
kalian mengisi dua belas tahun
hidupku untuk benar-benar membuatku merasa bahwa
aku bahagia telah terlahir di dunia.
Aku sungguh merindukan semua itu.
Sahabat, adakah celah untuk kita
bertemu seperti dulu? Masihkah langit sebiru saat tawa menggema raut wajah
merona yang kaulalui bersamaku? Masihkah laut itu penuh dengan kerang dan
ubur-ubur seperti apa yang sering kita amati dulu? Atau lapangan yang sering
kita habiskan dengan gelak tawa panjang. Masihkah semua seperti dulu?
Setelah perpisahan itu, aku seperti
kehilangan separuh duniaku. Untuk selamanya aku akan hidup tanpa kalian. Demi
masa depan, yang selalu kita impi-impikan sejak kita menginjak bangku kelas
satu.
Lucu memang. Saat itu, aku
menggendong tas merah mudaku, setengah berlari menuju kelas baruku. Kalian
tampak asing. Uluran tangan dengan suara manis yang membuatku tersenyum geli
ketika mengingatnya; nama kamu siapa?
Satu persatu dari kita ditanya tentang
masa depan kita, dan katamu kau ingin menjadi dokter. Katanya dia ingin menjadi
pilot. Sedang kataku, aku ingin menjadi guru. Karena kufikir, dengan menjadi
guru, aku telah menjadi pahlawan.
Mengapa waktu berputar begitu cepat?
Padahal baru saja kita mengukir sebuah janji bahwa kita akan selamanya
bersahabat.
Sahabat, mungkinkah kita akan
mengulang semua? Aku ingin sehari saja bisa melewati bersama kalian. Kita akan
berangkat sekolah bersama, menikmati semua pelajaran yang menyenangkan, makan
rujak kemudian sakit perut bersama-sama, pulang dengan menaiki sepeda, bermain
boneka, bermain di sawah, berjemur di lautan, mencari udara segar di lapangan,
sampai bercerita tentang masa depan.
Bagaimana masa depan kalian? Di sini
aku frustasi memikirkan Ujian Nasional dan saat aku meneruskan di bangku kuliah
nanti. Bagaimana dengan pacar impian yang sering kita bicarakan dulu? Sekarang
aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta yang sebenarnya. Ternyata tak
seindah yang kubayangkan. Tak seperti cerita pangeran dan puteri yang dulu
sering kita ceritakan.
Mengingatkanku pada saat kita duduk
di bangku kelas dua. Aku menyukai teman sekelas dan hampir semua mengetahuinya.
Namun dia tak berbalik menyukaiku. Secara tak langsung dia membuatku merasa
kecewa saat kutahu, temankulah yang ternyata telah memikat hatinya.
Karena temanku cantik, sedang aku
tidak.
Persahabatan yang nyata dimulai saat
kita menginjak bangku kelas empat. Bagaimana kita saling berantem gara-gara
masalah cowok, kita sama-sama merasa takut saat melakukan penjelajahan malam di
acara kemah sekolah.
Kau mengajarkanku cara memaknai
hidup. Kau yang melukis lengkung manis pada bibirku. Kau yang mengusir kesepian
yang datang. Kau yang mengubah duniaku, teman.
Kau ingat? Saat kita kedatangan murid
laki-laki baru yang datang-datang langsung meduduki peringkat satu. Begitu
menyebalkan, bukan? Namun entah apa yang membuat kita memberanikan diri
mendekatinya, bermaksud menanyai namanya justru dia memukulku.
Namun, seiring waktu aku dan dia
bersahabat. Kami mempunyai nama ejekan masing-masing, dan hanya aku dan dia
yang tahu. Bila mengingat wajahnya, mengingatkanku pada seseorang. Entah. Aku
tak ingin membahasnya di sini.
Sahabat, dulu aku nakal, ya? Aku
selalu bertengkar dengan anak laki-laki, melemparinya dengan biji-bijian,
memukulnya dengan penggaris panjang. Kau tahu? Aku melakukan itu karena aku
jengkel. Benar-benar jengkel. Semua laki-laki memang sama saja. Menjengkelkan.
Kau ingat? Saat kita bernyanyi di
bawah langit berawan. Kita mencari-cari ikan di halaman sekolah yang sudah
menjadi lautan karena banjir. Kita bermain petak umpet dan sayangnya, aku
selalu jaga. Kita bermain di laut, memandangi sunset dan sunrise. Kita
mencari bahan-bahan untuk menu masakan khas kita. Kita berlari di antara
hamparan pohon jagung dan padi di sawah. Sampai saat kita telah mengerti cinta.
Cinta monyet tepatnya.
Kau ingat? Aku senang saat ulangan akhir
semester duduk di sebelahnya, karena memang aku menyukainya. Namun tiba-tiba
dia pindah ke tempat lain gara-gara aku sakit dan tidak mau ketularan. Rasanya sangat
uhh.. jleb.
Kau ingat? Saat kita membahas tentang
satu cowok. Cowok polos, dan kami menamainya Cobate. Bagaimana reaksi kita saat
ternyata dia lebih memilih berteman dengan wanita-wanita jalang hanya untuk
diperbudak? Ya, kita tidak terima. Di sepanjang jalan, kau dan aku berjalan
bersama, menuntun sepeda. Kau menaikinya, dan aku berpegang tasmu di belakang.
Dan saat berada di jalan menurun, kita terjatuh, dan kita tertawa. Tak peduli
dengan semua luka.
Kau ingat? Saat kau ditakdirkan
bersaudara dengan teman kita, seolah jarak kita semakin terlihat jelas. Saat
kupergi ke rumahmu, sendiri menyeberang jalan besar, dan ternyata kaupun telah
menyeberang ke lain arah, pergi bersama saudara barumu.
Kau ingat? Kita menemukan sebatang
pohon beringin kecil di depan kelas, dan kita menamainya Sunny? Setiap
istirahat kita selalu bernyanyi di bawah daunnya yang rindang. Mengukir
tulisan-tulisan pada batang pohonnya. Dan kau ingat? Kita menulis ukiran dari
genting lalu menyembunyikannya di balik batu? Kau bilang bahwa semua itu tanda
persahabatan kita.
Masihkah ada pohon itu? Masihkah ada
genting itu? Masihkah ada persahabatan itu?
Sahabat kecilku, masihkah kau ingat
aku?
0 comments: