Friday, January 18, 2013

0

Sahabat Kecilku

Posted in , , , ,

Hai, apa kabar?

Seperti apa yang selalu kujanjikan, aku takkan pernah melupakan semua. Namun satu hal yang gagal kita pertahankan; bahwa kita akan selalu bersama.

Sahabat kecilku, tak ada yang salah di antara kita. Jarak yang menginginkan kita seperti ini. Waktu yang memaksa kita untuk tak seperti dulu lagi.

Aku juga merindukan semua. Aku merindukan bagaimana kita mengeja tawa tanpa airmata. Aku merindukan suara-suara manis yang begitu menggelitik telinga. Aku merindukan bagaimana kalian mengisi dua belas tahun 
hidupku untuk benar-benar membuatku merasa bahwa aku bahagia telah terlahir di dunia.

Aku sungguh merindukan semua itu.

Sahabat, adakah celah untuk kita bertemu seperti dulu? Masihkah langit sebiru saat tawa menggema raut wajah merona yang kaulalui bersamaku? Masihkah laut itu penuh dengan kerang dan ubur-ubur seperti apa yang sering kita amati dulu? Atau lapangan yang sering kita habiskan dengan gelak tawa panjang. Masihkah semua seperti dulu?

Setelah perpisahan itu, aku seperti kehilangan separuh duniaku. Untuk selamanya aku akan hidup tanpa kalian. Demi masa depan, yang selalu kita impi-impikan sejak kita menginjak bangku kelas satu.
Lucu memang. Saat itu, aku menggendong tas merah mudaku, setengah berlari menuju kelas baruku. Kalian tampak asing. Uluran tangan dengan suara manis yang membuatku tersenyum geli ketika mengingatnya; nama kamu siapa?

Satu persatu dari kita ditanya tentang masa depan kita, dan katamu kau ingin menjadi dokter. Katanya dia ingin menjadi pilot. Sedang kataku, aku ingin menjadi guru. Karena kufikir, dengan menjadi guru, aku telah menjadi pahlawan.

Mengapa waktu berputar begitu cepat? Padahal baru saja kita mengukir sebuah janji bahwa kita akan selamanya bersahabat.

Sahabat, mungkinkah kita akan mengulang semua? Aku ingin sehari saja bisa melewati bersama kalian. Kita akan berangkat sekolah bersama, menikmati semua pelajaran yang menyenangkan, makan rujak kemudian sakit perut bersama-sama, pulang dengan menaiki sepeda, bermain boneka, bermain di sawah, berjemur di lautan, mencari udara segar di lapangan, sampai bercerita tentang masa depan.

Bagaimana masa depan kalian? Di sini aku frustasi memikirkan Ujian Nasional dan saat aku meneruskan di bangku kuliah nanti. Bagaimana dengan pacar impian yang sering kita bicarakan dulu? Sekarang aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta yang sebenarnya. Ternyata tak seindah yang kubayangkan. Tak seperti cerita pangeran dan puteri yang dulu sering kita ceritakan.

Mengingatkanku pada saat kita duduk di bangku kelas dua. Aku menyukai teman sekelas dan hampir semua mengetahuinya. Namun dia tak berbalik menyukaiku. Secara tak langsung dia membuatku merasa kecewa saat kutahu, temankulah yang ternyata telah memikat hatinya.

Karena temanku cantik, sedang aku tidak.

Persahabatan yang nyata dimulai saat kita menginjak bangku kelas empat. Bagaimana kita saling berantem gara-gara masalah cowok, kita sama-sama merasa takut saat melakukan penjelajahan malam di acara kemah sekolah.

Kau mengajarkanku cara memaknai hidup. Kau yang melukis lengkung manis pada bibirku. Kau yang mengusir kesepian yang datang. Kau yang mengubah duniaku, teman.

Kau ingat? Saat kita kedatangan murid laki-laki baru yang datang-datang langsung meduduki peringkat satu. Begitu menyebalkan, bukan? Namun entah apa yang membuat kita memberanikan diri mendekatinya, bermaksud menanyai namanya justru dia memukulku.

Namun, seiring waktu aku dan dia bersahabat. Kami mempunyai nama ejekan masing-masing, dan hanya aku dan dia yang tahu. Bila mengingat wajahnya, mengingatkanku pada seseorang. Entah. Aku tak ingin membahasnya di sini.

Sahabat, dulu aku nakal, ya? Aku selalu bertengkar dengan anak laki-laki, melemparinya dengan biji-bijian, memukulnya dengan penggaris panjang. Kau tahu? Aku melakukan itu karena aku jengkel. Benar-benar jengkel. Semua laki-laki memang sama saja. Menjengkelkan.

Kau ingat? Saat kita bernyanyi di bawah langit berawan. Kita mencari-cari ikan di halaman sekolah yang sudah menjadi lautan karena banjir. Kita bermain petak umpet dan sayangnya, aku selalu jaga. Kita bermain di laut, memandangi sunset dan sunrise. Kita mencari bahan-bahan untuk menu masakan khas kita. Kita berlari di antara hamparan pohon jagung dan padi di sawah. Sampai saat kita telah mengerti cinta. Cinta monyet tepatnya.

Kau ingat? Aku senang saat ulangan akhir semester duduk di sebelahnya, karena memang aku menyukainya. Namun tiba-tiba dia pindah ke tempat lain gara-gara aku sakit dan tidak mau ketularan. Rasanya sangat uhh.. jleb.

Kau ingat? Saat kita membahas tentang satu cowok. Cowok polos, dan kami menamainya Cobate. Bagaimana reaksi kita saat ternyata dia lebih memilih berteman dengan wanita-wanita jalang hanya untuk diperbudak? Ya, kita tidak terima. Di sepanjang jalan, kau dan aku berjalan bersama, menuntun sepeda. Kau menaikinya, dan aku berpegang tasmu di belakang. Dan saat berada di jalan menurun, kita terjatuh, dan kita tertawa. Tak peduli dengan semua luka.

Kau ingat? Saat kau ditakdirkan bersaudara dengan teman kita, seolah jarak kita semakin terlihat jelas. Saat kupergi ke rumahmu, sendiri menyeberang jalan besar, dan ternyata kaupun telah menyeberang ke lain arah, pergi bersama saudara barumu.

Kau ingat? Kita menemukan sebatang pohon beringin kecil di depan kelas, dan kita menamainya Sunny? Setiap istirahat kita selalu bernyanyi di bawah daunnya yang rindang. Mengukir tulisan-tulisan pada batang pohonnya. Dan kau ingat? Kita menulis ukiran dari genting lalu menyembunyikannya di balik batu? Kau bilang bahwa semua itu tanda persahabatan kita.

Masihkah ada pohon itu? Masihkah ada genting itu? Masihkah ada persahabatan itu?

Sahabat kecilku, masihkah kau ingat aku?

0 comments: