Let the Apples Show You
Posted in @atikarahmaa, #JCDD2, apel emas, apel malang, festival rujak uleg, karya Atika Rahma F, kisah masa lalu, klub cerita dwita, pentas tradisional putri salju, perang troya, plotpoint, sejarah surabaya, teater![]() |
Kompetisi menulis #JCDD2 |
Let the Apples Show You
By Atika Rahma F.
Terkadang, buah apel tak selalu
melambangkan kecantikan seperti paras dewi-dewi dalam mitos yang sering kutemui.
Aku yakin, kini apel-apel itu sedang gundah karena menunggu seseorang untuk
memetiknya. Meraba-raba jawaban, akankah penantiannya berujung baik atau harapannya akan luruh dan hatinya menangis sedih karena tak ada yang peduli.
Aku
tersenyum penuh keraguan. Semilir angin menyentuh bahuku lembut. Menerbangkan
bendera plastik yang tersemat indah di sepanjang rangka becak milik seorang
paruh baya. Menghadirkan gemerisik yang merdu, menggelitik telingaku.
“Kembang Jepun, ya,
Pak?”
Paruh baya itu sedikit membungkuk
ketika aku menoleh padanya, sehingga ia dapat dengan jelas memandangi raut
wajah yang berusaha mengajaknya bicara. Ia tersenyum, menunjukkan barisan
giginya yang tak lagi utuh. Dan menjawab dengan lantang, penuh semangat
berapi-api, tak tanggung-tanggung kelima jarinya ia letakkan tegak sejajar kening, “Siap, Mbak'e!”
Sudut bibirku terangkat
lagi. Dari dalam becak, kupandangi hiruk-pikuk manusia dengan guratan bahagia
yang terlukis dari garis wajah masing-masing. Beberapa motif kapal pada batik
yang bersembunyi di balik juntaian lembut kebaya putih tulang pada wanita itu,
mengingatkanku pada seseorang yang pernah bercerita tentang peperangan Raden
Wijaya melawan tentara Tar-Tar di sungai Kali Mas yang bermuara di Ujung Galuh,
yang merupakan cikal bakal berdirinya kota ini.
Sosok
itu, membuatku kembali menyelami lautan pedih yang bisa saja menghanyutkan, tanpa pernah ada alasan untuk memperbaiki segala yang terlanjur
porak-poranda. Aku menunduk. Berusaha agar tak terbuai dalam kenangan pahit
itu. Mencoba untuk kembali menyadari, bahwa aku tak memiliki peran apapun saat
ini di sini.
Dengan halus, jemariku
meraba isi dalam tasku. Kemudian mengangkatnya dengan penuh hati-hati. Lihatlah
benda ini, kecantikannya bahkan nyaris tak terlihat. Tak meyakinkanku bahwa ini
adalah simbol kecantikan para dewi. Setiap sisinya telah berkerut. Kubiarkan ia
termakan oleh sang waktu. Namun bukankah kenyataannya demikian? Kecantikan akan
pudar seiring berjalannya waktu. Seperti kisahku, yang mungkin akan lenyap ditelan
zaman. Namun bagaimana jika yang perlahan hilang justru semakin tak ingin
untuk kutinggalkan?
Jemariku
memutar permukaan apel yang tak bertekstur itu hingga seluruh sisinya
tertangkap jelas oleh mata. Seketika aku terhenti pada satu titik. Senyumku
mengembang lagi. Inilah yang membuatku bertahan untuk tak membenci pertemuan
kami.
☻