Showing posts with label apel emas. Show all posts

Tuesday, July 29, 2014

2

Let the Apples Show You

Posted in , , , , , , , , , , , ,
Kompetisi menulis #JCDD2



Let the Apples Show You

By Atika Rahma F.



Terkadang, buah apel tak selalu melambangkan kecantikan seperti paras dewi-dewi dalam mitos yang sering kutemui. Aku yakin, kini apel-apel itu sedang gundah karena menunggu seseorang untuk memetiknya. Meraba-raba jawaban, akankah penantiannya berujung baik atau harapannya akan luruh dan hatinya menangis sedih karena tak ada yang peduli.
            Aku tersenyum penuh keraguan. Semilir angin menyentuh bahuku lembut. Menerbangkan bendera plastik yang tersemat indah di sepanjang rangka becak milik seorang paruh baya. Menghadirkan gemerisik yang merdu, menggelitik telingaku.
“Kembang Jepun, ya, Pak?”
Paruh baya itu sedikit membungkuk ketika aku menoleh padanya, sehingga ia dapat dengan jelas memandangi raut wajah yang berusaha mengajaknya bicara. Ia tersenyum, menunjukkan barisan giginya yang tak lagi utuh. Dan menjawab dengan lantang, penuh semangat berapi-api, tak tanggung-tanggung kelima jarinya ia letakkan tegak sejajar kening, “Siap, Mbak'e!”
Sudut bibirku terangkat lagi. Dari dalam becak, kupandangi hiruk-pikuk manusia dengan guratan bahagia yang terlukis dari garis wajah masing-masing. Beberapa motif kapal pada batik yang bersembunyi di balik juntaian lembut kebaya putih tulang pada wanita itu, mengingatkanku pada seseorang yang pernah bercerita tentang peperangan Raden Wijaya melawan tentara Tar-Tar di sungai Kali Mas yang bermuara di Ujung Galuh, yang merupakan cikal bakal berdirinya kota ini.
            Sosok itu, membuatku kembali menyelami lautan pedih yang bisa saja menghanyutkan, tanpa pernah ada alasan untuk memperbaiki segala yang terlanjur porak-poranda. Aku menunduk. Berusaha agar tak terbuai dalam kenangan pahit itu. Mencoba untuk kembali menyadari, bahwa aku tak memiliki peran apapun saat ini di sini.
Dengan halus, jemariku meraba isi dalam tasku. Kemudian mengangkatnya dengan penuh hati-hati. Lihatlah benda ini, kecantikannya bahkan nyaris tak terlihat. Tak meyakinkanku bahwa ini adalah simbol kecantikan para dewi. Setiap sisinya telah berkerut. Kubiarkan ia termakan oleh sang waktu. Namun bukankah kenyataannya demikian? Kecantikan akan pudar seiring berjalannya waktu. Seperti kisahku, yang mungkin akan lenyap ditelan zaman. Namun bagaimana jika yang perlahan hilang justru semakin tak ingin untuk kutinggalkan?
            Jemariku memutar permukaan apel yang tak bertekstur itu hingga seluruh sisinya tertangkap jelas oleh mata. Seketika aku terhenti pada satu titik. Senyumku mengembang lagi. Inilah yang membuatku bertahan untuk tak membenci pertemuan kami.