Sajak Bisu di Tepian Bengawan
Posted in @atikarahmaa, #JCDD2, bengawan solo, karya Atika Rahma F, makna lagu cublak-cublak suweng, solo jawa tengah, tembang dolanan
Cublak-cublak suweng
Suwenge ‘ting gelenther
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lera-lere
Sapa ngguyu ndhelikake
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong.[1]
“Selalu lagu itu yang kamu nyanyikan.”
Angin
berembus lembut, menyusup masuk ke dalam telinga gadis itu –membawa sepenggal
kalimat yang terucap lirih dari bibir kehitaman Endy. Senja yang menyongsong di
cakrawala barat, menawarkan keindahan sederhana yang tersirat melalui
semburat-semburat jingganya, membuat bibir pucat gadis itu menyungging ke atas.
Ia tersenyum.
“Kamu
tahu di mana tempat menyembunyikan sesuatu yang berharga seperti yang ada dalam
sajak-sajak tembang itu?”
Endy
mengernyit, “Aku saja nggak tahu makna tembang itu. Memang di mana?”
Mata
indah itu menyergap Endy dengan teduh. Seteduh berlindung di bawah pohon
angsana ditemani gemericik suara aliran sungai yang memercik tegas setiap
derasnya menghantam bebatuan besar. Namun tak juga Endy sadari, perahu-perahu
kecil yang terlebih dulu menyita perhatiannya, membuat gadis itu kemudian
tertunduk sia-sia.
“Mungkin
hanya orang dewasa yang dapat menebaknya, Ndy.”
“Kamu akan mengunjungi tempat itu lagi?” tanya Ranty
sembari ngos-ngosan. Dibopongnya satu bendel koran itu ke dalam keranjang
sepeda tua yang terparkir di depan sebuah rumah bertembokkan gedheg[2] dan beratapkan seng-seng tipis yang
beberapa permukaannya telah berkarat.
Seseorang
keluar dari pintunya yang reot. “Itu pasti! Kalau nggak, mungkin besok-besok aku
nggak bisa makan sate bundel seenak ini lagi,” ucapnya tak begitu
jelas karena mulutnya penuh dengan gigitan daging kambing cincang yang dibungkus lemak kambing yang dibelinya
semalam.
Ranty
mengernyit, ia pasti berbohong,
batinnya. Pelan-pelan tubuhnya terangkat ke atas untuk menaiki sepeda tua
peninggalan mendiang ayah Endy yang lama tak terpakai. Ia begitu kesusahan,
hingga dengan segera Endy mendekat dan mencengkeram bahunya kuat. “Jangan
konyol!”
“Aku
cuma pengin sekali saja bisa boncengin kamu, Ndy.”
Dengan
sigap, Endy membantunya menuruni sepeda dan mengambil alih posisi Ranty. “Nggak
perlu. Yang kamu lakukan cukup duduk dan berpegangan erat pada bajuku.”
Ranty
memandang sosok itu lama. Pergerakan jemarinya mencoba memberi isyarat bahwa
yang ia lakukan saat ini hanyalah duduk di belakangnya, bukan memerhatikannya
dengan raut membingungkan. Ranty tergegap, dan bergegas menuruti perintahnya.
Hari
berlalu begitu cepat, tak dirasakan oleh masing-masing yang terlalu sibuk
memikirkan masa depan dan menikmati apa yang sedang dijalani saat ini. Sudah dua minggu lebih Ranty menghabiskan waktu untuk menemani Endy mengayuh pedal sepeda tua ayahnya,
melempar koran ke rumah-rumah, meminta bayaran atas langganannya selama
seminggu sekali. Tak sedikit keringat yang mengalir membasahi baju compang
mereka. Tak sebentar pula kepergiannya untuk mengirim pesanan pelanggan hingga
ia dapat kembali memarkirkan sepedanya ke dalam rumah yang hanya beralas tanah.
Belum lagi jika hujan tiba-tiba datang, satu-satunya harapan hanya ada pada
bendelan koran-koran di keranjang sepedanya. Agar tak basah, sehingga ia tak
kehilangan satu-satunya mata pencaharian yang dapat dilakoni
lulusan sekolah menengah pertama yang berstatus miskin seperti mereka.
Sejauh
ini, mereka telah melayani sekitar sepuluh pelanggan yang memesan korannya
setiap hari. Namun, dari sekian, hanya satu rumah yang membuat Endy memarkir
sepeda terlalu lama di depan gerbangnya yang mewah. Menunggu seseorang
membukanya, dan tepat. Ia melakukannya tepat di hari Minggu seperti ini.
“Menunggu
wanita itu lagi?”Sekelebat suara yang tak dihiraukan olehnya. Ia tetap memandang
lurus ke arah pintu dari ukiran kayu jati bak rumah kesultanan. Dan benar saja,
sekalinya ia menekan bel sepeda dan menimbulkan bebunyian berisik, sosok itu langsung
memenuhi setiap pandangannya.
Tubuh
itu berjalan lurus ke arahnya. Warna salem pada dress yang menjuntai menyentuh kaki yang tak beralas apapun
membuatnya terperangah. Seperti seorang model sedang berjalan catwalk melintasi permadani merah. Dan
seperti biasanya, wanita itu hanya menimpali dengan wajah ganas andalannya.
“Majalahnya
ada, kan?” tanyanya sinis. Suara serak-serak basah yang mengagumkan.
Endy
sesegera mungkin menggerakkan tangannya mencari-cari majalah di antara bendelan
koran di keranjang sepedanya. Dan tanpa hitungan menit, majalah yang wanita itu
minta berhasil ia dapatkan.
Seperti
minggu-minggu lalu, wanita itu langsung membuka segel majalah di tempatnya
berdiri. Membalik-balik halaman hingga ia menemukan apa yang iacari. Sepotong
cerita bersambung. “Cinta memang tak kenal batas. Setinggi apapun benteng itu
menjulang di hadapanmu, rasa cintamu akan meruntuhkan segalanya,” gumamnya,
tanpa pernah mengenyahkan pandangannya pada aksara-aksara di dalamnya. “Hm,
mungkin ini akan jadi cerita bersambung yang menguras air mata,” gerutunya
lagi.
Ia terhenti sejenak dan menatap tajam ke
arah dua manusia yang tengah tak berkedip memperhatikannya. “Akan kubayar
totalnya di akhir bulan.” Tanpa menunggu jawabannya, ia segera mengentakkan
kaki mantap meninggalkan mereka.
“Sudah
tiga kali aku mendengarnya membacakan kutipan di setiap cerita yang dia baca.”
Ranty mendengus, entah dalam artian apa.
Senyum
Endy mengembang. Bukan tanpa alasan jika setiap hari Minggu ia selalu
menyungging senyum yang merekah-rekah, dan mungkin tak bisa dielak jika
ternyata wanita dari rumah mewah itulah penyebabnya.
“Kita
akan ke Bengawan lagi sore ini, kan?” Selalu, menjadi retorika setiap Minggu senja.
Setelah selesai mengirim koran dan majalah sekaligus mendengar penggalan
kalimatnya yang mampu membuat Endy terambang fantasinya, Ranty selalu meminta
Endy mengantarnya ke tempat yang menjadi wadah penyalur segala macam rahasianya.
Namun
Ranty merasa tak ada jawaban atas kalimatnya yang menggantung sia-sia. Mata
Endy nyaris tak berkedip memandangi kusen kayu jati yang masih terbuka beberapa
inci. “Maaf, Ran, untuk hari ini aku akan lebih menyibukkan diri di rumah.
Mungkin untuk hari-hari berikutnya juga.”
Ranty
mengernyitkan dahi, “Memang ada apa, Ndy?”
Endy
memandang wajahnya begitu dalam, sudut bibirnya terangkat ke atas beberapa
senti. Namun lidahnya tetap tak bersuara. Mungkinkah bila ia kelu
mengucapkannya? Tidak, mungkin itu rahasia. Senyum mampu menyimpan segala yang
tak selalu perlu untuk diucapkan. Ini rahasia, dan Ranty tak perlu tergesa-gesa
mencari tahu jawabannya—arti dari senyum yang diberikan Endy.
Ranty
hanya menimpali dengan senyum tipis. Ia sangat paham dengan pilihannya. Dan ia
hanya bisa berharap, jawabannya adalah yang terbaik untuk tetangga semasa
remajanya saat ini, dan yang kini telah beranjak dewasa—serta mengerti jatuh
cinta.
☺
Bapak cuma
pengin anak Bapak siji-sijine, isa mandiri lan isa nerusake perjuangane Bapak.
Pancen semasa urip, bapakmu iki ra isa nyekolahke kuwe nganthi dhuwur,
ngapurane bapak, yo, Le. Nanging kowe aja lali, yen gelem usaha, apa wae isa
katurutan.[3]
Ujung
pena itu terbentur pada secarik kertas kosong. Seluruh wajah Endy tertutup
oleh bait-bait buku puisi Chairil Anwar yang sisi-sisinya telah robek, namun
buku itu baru saja iabeli dari kios buku-buku bekas di belakang stadion
Sriwedari pagi tadi.
Sudah
sejak satu jam ia hanya bisa terduduk di depan jendela tanpa kusennya, memaksa
otak untuk dapat menuliskan beberapa larik kata di atas kertasnya. Namun sesaat
ia terhenyak ketika seseorang mengetuk pintu rumahnya begitu keras.
Sosok
itu berjalan ke arahnya. Sangat ragu-ragu. Namun suara theklek[4] yang dipakainya mampu
mengusik ketenangannya saat ini.
“Apa
yang kamu lakukan, Ndy? Kamu benar nggak ikut nyebar koran?”
Endy
menggeleng lemah. “Aku di sini saja.”
Ranty
mengangguk, “Ya udah kalau itu maumu. Ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu
lakukan dengan kertas dan pena itu? Mau sok-sokan jadi penyair kayak Oom
Chairil, ya,” celetuknya dengan tawa renyah yang melingkupi bibir tipis dan –yang
tampak pucat.
“Mencoba
membuat sajak.” Tak bergairah menjawabnya, dan tanpa berpaling memaku pandangan
pada langit kota Solo yang berawan.
Tak
seperti biasa. Ranty hanya mengangguk mendapati balasan yang singkat. Sesaat
saja ia menghilang dari hadapannya. Ia tahu kehadirannya hanya akan
mengganggunya. Dengan terpaksa, ia melakukan pekerjaan membagi koran itu
sendirian. Dan ini untuk yang pertama kalinya ia lakukan. Namun apa yang bisa
ia lakukan dengan sepeda tua ini? Menaikinya saja ia pasti akan terjatuh bila
tidak ditopang tubuh jangkung itu.
Perlahan
ia mulai menyentuh gagang sepeda, dan menuntunnya pelan. Roda berputar sangat
lambat, menghadirkan suara rantai yang bergerak menggelitik telinga. Mungkin
jika ia masih punya segalanya di
sini, ia tak akan bersusah payah seperti ini. Namun bukankah takdir tak bisa
terelak? Bukankah Tuhan telah mencipta garis takdir untuk diterima dengan
lapang dada? Pertanyaan itu yang selalu muncul dalam otaknya.
“Ranty?”
Yang
dipanggil menolehkan wajah. Didapatinya seseorang tengah berjalan ke arahnya.
“Setelah menyebar koran, kamu mau ‘kan ke Bengawan bersamaku?”
Ranty
tersenyum. Dengan senyum itu Endy dapat mengerti jawabannya.
☺
“Mengapa tiba-tiba kamu ingin belajar membuat sajak,
Ndy?”
Endy
tak sesegera menjawab. Alunan lagu yang mengalir syahdu melalui sound system pada keramaian di tepian
sungai ini membuatnya sekejap memejamkan mata, lalu menghela napas lega. Selalu
lagu itu yang mengingatkannya pada ayahnya semasa ia masih ada. Beliau yang
saban sore setelah pulang memancing di sungai ini, tak pernah sedikitpun
meninggalkan tradisi menyanyikan lagu merdu ini di depan telinga Endy sendiri.
Mungkin
jika bukan karena stroke yang
membunuh semangat hidupnya, saat ini Endy masih bisa menikmati tawa sembari
menunggu kail itu bergoyang karena ikan yang berhasil terkelabui. Namun
bagaimana cara ia meminta kepada Tuhan untuk mengulang waktu walau satu jam
saja? Segalanya akan selalu terjawab dengan penyesalan yang dalam.
Ia
kembali mendongak, “Mungkin Tuhan memberiku aba-aba untuk mulai berubah.”
“Berubah?”
Endy
mengangguk, “Setiap orang nggak bisa jika selamanya harus sama, Ran. Harus ada
perubahan yang mungkin bisa membawa kebahagiaan. Diam nggak bakal bisa mengubah
keadaan, dan jujur aku pun sudah mulai lelah dengan keadaan aku yang sekarang.”
“Dengan
mencoba menjadi penyair? Atau penulis sajak, begitu?”
“Apa
salahnya?”
Ranty
mendengus, matanya menatap tajam legam bola mata Endy yang mencoba menentang
keras apa yang tak ia inginkan darinya. “Ayahmu pernah begitu benci dengan
seorang jurnalis yang mencoba menelisik kehidupan ayahmu yang katanya sangat
miskin dan nggak mau berusaha. Beliau bilang seorang pengumpul opini palsu demi
memuaskan hasrat pembaca itu hanya sekadar meluruskan urusan duniawi tanpa mengerti
perasaan orang lain yang sebenarnya membawa keuntungan baginya. Apa kamu
lupa?!”
Endy
menatap mata Ranty tajam. Jawabannya telah berhasil membongkar kembali memori
tentang ayahnya. Memang benar, beliau sangat membenci jurnalis dan semua jurnal-jurnal kehidupan. Namun ia mengelak, kegigihan akan
ada padanya. “Nggak semua jurnalis sama seperti yang dibenci ayahku. Lalu menurutmu
bila dengan adanya seorang paruh baya yang membenci jurnalis, kegiatan
penjurnalan dan media-media masa akan dihentikan begitu saja? Dunia saja
membuka ruang bagi siapa saja yang ingin mewujudkan mimpinya, mengapa manusia
tidak?”
Ranty
tertunduk ketika mendapati jawaban keukeuh Endy. Ia tak tahu lagi bagaimana
menjelaskan apa yang sebenarnya saling bercambuk di dalam hatinya. Ada hal lain
yang tak Endy tahu mengapa Ranty meragukan mimpinya satu ini.
“Kamu
pernah merasakan cinta, Ranty?” tanya Endy, membuat Ranty tersentak dan
seketika menatapnya lamat-lamat. Tak bisa ia sembunyikan semburat merah yang
sempat menyala-nyala pada pipinya yang tembam.
“Ci—cinta?
Aku?” jawabnya tanpa konsentrasi. Jemarinya menohok batang hidungnya sendiri.
Kemudian ia mengangguk lemah. Tak bisa ia sembunyikan.
“Cinta
yang membuat hal yang tak mungkin dilakukan menjadi mungkin, bukan?”
Ranty
mencoba mencerna perkataannya dalam. Sebentuk cinta memang terlukis dari dalam
matanya. Iris mata teduh itu melukiskan bentuk wajah Ranty yang tersenyum
getir. “Itu hasrat, Endy, bukan cinta. Cinta cenderung melakukan hal yang
terbaik untuk cinta itu sendiri. Cinta tak ingin kita salah dalam memilih.”
Seperti
sepasang angsa yang menyusuri sungai ini di tengah alirannya yang tak terlalu
deras itu. Mereka tak terlalu memaknai arti cinta, yang mereka rasakan hanyalah kebersamaan. Tak ada hal lain yang
dapat membahagiakannya kecuali itu. Kebersamaan, ucap Ranty dalam hati.
Endy tak menimpali perkataan Ranty. Mungkin ia
membenarkan filosofi yang terucap dari bibir teman dekatnya itu. “Mungkin
memang karena cinta ingin aku berubah. Dan kuharap karena cinta, pilihanku
nggak akan salah.”
Ranty
tersenyum mendengarnya. Bagai merasakan dinginnya lelehan es yang mencair dari
dalam hatinya. Iya, yang semula beku, mampu terlelehkan oleh penggalan
kalimatnya. Ah, ia tersentak. Terlalu berlebihan untuknya.
Perlahan,
Ranty memberanikan diri berlabuh dalam bahu keras Endy. Membiarkan detik demi
detik berlalu bersama dengan kebersamaan ini. Semilir angin yang tertiup dari
pepohonan angsana yang rimbun di sekitar mereka pun turut memberi diaroma yang
membahagiakan. Andai waktu adalah tanpa batas, ia akan memiliki kesempatan
untuk merasakan lebih dari ini.
“Semoga
setelah kamu berubah, nggak lantas berubah untuk tidak menemaniku pergi ke
sungai ini lagi ya, Ndy.” Ia tertawa renyah.
☺
Segalanya masih sama. Endy dan Ranty dengan sepeda
tua dan bendelan koran plus
majalahnya. Menyusuri tiap bilik-bilik dan kompleks perumahan di pusat kota
Solo. Ranty pernah meminta Endy mengajarinya mengendarai sepeda kebo milik
ayah Endy itu, namun tak mudah baginya bisa begitu cepat menggantikan Endy bila
suatu saat ia kelelahan.
“Majalahnya
ada, kan?” Wanita itu menengadahkan telak tangannya meminta dengan tanpa sabar.
Dan seperti biasanya, buka segel di tempat.
“Cerita
baru lagi.” Ia membaca sekilas beberapa paragraf, terlihat dari pergerakan bola
matanya mengikuti alur cerita. Sesaat ia terhenti pada satu titik, “Cinta bukan
tentang menjadikan dua jiwa yang nyaris tanpa jarak harus berakhir saling
terikat. Bagaimana jika cinta adalah tentang melepaskan, membiarkan orang yang
kita cintai memilih ke mana hatinya akan ia ikatkan?”
Wanita
itu mengangguk, rambutnya yang tergerai panjang menjuntai begitu lembut.
Berjatuhan seiring anggukan kepalanya. Sejenak ia mendongak, mengulurkan
beberapa lembar uang ke arah Endy, “Ini bayaran untuk satu bulan ini.”
Ranty
seakan tertampar oleh penggalan kalimat yang dikutip wanita itu dari majalah
yang iabeli. Ia merasa ada yang tiba-tiba memberinya petuah. Apakah mungkin jawaban-Mu tepercik melalui
bibir manis wanitu itu, Tuhan?
Namun
semenjak itu, Minggu sore bukanlah retorika seperti biasanya ketika ia
menghunus-hunus ingin menikmati senja di tepian sungai Bengawan Solo. Ranty
sudah bisa menerima bila keinginan Endy begitu kuat, sehingga ia bisa
mewujudkan ekspektasinya sebagai penulis sajak. Namun, apa yang ingin ia tulis,
Ranty masih belum mendapat jawabannya.
“Kira-kira
kapan pengumuman itu?” tanya Ranty, ketika mereka terduduk di bangku kayu usang
yang terletak tak jauh dari rumah gedheg
mereka. Ia sudah mulai bosan menunggu lama di bawah terik matahari yang
menyengat dan di antara pemandangan yang tak sedap.
Endy
tak menjawab pertanyaannya dan memilih untuk memperhatikan jalanan setapak yang
menjurus pada lingkungan di luar pemukiman di desa ini. Berharap ada sosok yang
begitu diharapkan akan datang.
Senyumnya
tiba-tiba merekah, “Itu dia!”
Endy
mencakah ke arah seorang pria berjas hitam yang berjalan begitu lambat
menamatkan pandangannya pada apa yang kini ada di sekitarnya. Melihat kehadiran
Endy, pria itu kian mengencangkan langkahnya.
“Mas
Endy Sudibyo, ya?”
Endy
mengangguk antusias. Dengan segera pria berjas hitam itu memberinya sepucuk
amplop cokelat kepadanya. “Dari redaksi majalah Sasmita.”
“Terima
kasih, Pak.”
Tak
berlangsung lama sosok pria itu langsung menghilang di balik rerumahan gedheg lainnya. Memang, dalam pemukiman
desa ini hanya terdapat lima belas rumah. Sebagian sudah bertembok namun hanya
sebatas tembok batako, sebagian lagi bernasib seperti Endy—rumah gedheg. Ranty
termasuk yang memiliki rumah tembok batako, bahkan rumahnya telah berlantai
semen. Namun iabiarkan kosong, tanpa seorangpun. Takdir telah menyita
kebersamaan itu.
“Bagaimana,
Ndy?”
Endy
tersenyum penuh harapan. Ia memejamkan mata sejenak. Memohon agar cinta dapat
memilihkan yang terbaik untuknya. Dalam sekejap, tangan Ranty menengadah, namun
tanpa menunjukkan. Diam-diam ia turut mendoakan yang terbaik untuknya. Menjadi
penulis sajak di majalah terkenal, pada bagian cerita bersambung yang setiap
Minggu wanita itu membacanya. Mungkin itulah salah satu cara ia menunjukkan
arah cintanya—kepada wanita itu.
“Alhamdulillah!
Pak, mimpi Endy keturutan!”
☺
Tiga bulan kemudian.
Dear diary,
Cinta memang telah membawa Endy mendekat pada mimpi
terbaiknya. Endy harus selalu tahu bahwa bukan cinta yang membuat segala yang
tak mungkin menjadi mungkin baginya. Namun keinginannya sendiri. Keinginan agar
mimpinya dapat terwujud, sehingga ia bisa menyatakan perasaannya kepada wanita
yang ia cintai walau dari beberapa sajak yang iatulis.
Seperti
hari biasa, kami mengirim koran-koran ke rumah pelanggan. Berhenti pada rumah
mewah itu dan hari itu Endy mendapat kabar yang membahagiakan, wanita itu tak
lagi menemuinya dengan wajah yang ganas, melainkan paras cantiknya yang tak
mungkin membuat pria satupun tak tertarik dengannya. Ditambah butiran bening
pada matanya yang seperti mata indah kucing. Berkilauan warna hijau. Ia
sesenggukan.
Ia
menyebutkan beberapa kalimat yang tertoreh pada cerita yang berjudul “Sajak
Bisu” karya E. Sudibyo. Ya, lucu memang. Endy benar-benar penyimpan rahasia
yang sudah mahir tingkat nebula. Bahkan untuk namapun ia sembunyikan. Namun
bukankah saat itu cinta berpihak kepadanya? Wanita itu tahu siapa penulis sajak
tersebut. Wanita itu tahu siapa yang dengan berhasil membuatnya menangis
semalam karena Sajak Bisu yang menghujani kelabunya. Perkenalan mereka terjadi pagi itu juga, di hadapanku. Bukankah jika sudah saling
mengenal, itu berarti sayang?
Lalu
sayang seperti apa yang kami rasakan?
Ah,
kami? Kurasa aku tak perlu mengatakan apapun sekarang. Kenyataan memang tak
sepadan dengan pengharapan. Dari balik jendela bertirai lusuh ini, kupandangi
setiap kali Endy muncul dari balik pintu reot itu. Mengendarai sepeda tanpaku,
entah ingin ke mana. Hari-hari berikutnya pun sama. Sampai suatu saat satu hal
telah mengejutkanku. Endy tak lagi memakai pakaian compang yang selalu penuh
dengan bercak-bercak cokelat karena seringnya bersandar pada pohon angsana di
tepian sungai Bengawan Solo. Ia sangat rapi, dan coba tebak, apa dengan pakaian
serapi itu ia akan mengendarai sepeda kebo
ayahnya?
Tidak,
Endy dijemput oleh orang-orang rapi yang turun dari mobil berlabel entah apa,
aku kurang paham. Yang pasti, kuyakin kini Endy telah menjadi orang sukses,
seperti impiannya. Dan aku? Aku akan selalu bahagia dengan apa yang telah ia
miliki sekarang. Walau, dalam menjalankan lembaran harinya yang baru, ia tak
lagi membutuhkanku.
Aku
masih akan tetap di sini, dengan rasa sakitku masih menyimpan rapat-rapat
rahasia itu sampai ia kembali.
Ranty menutup diary-nya
erat. Kini ia butuh air mata ketika menuliskan kata demi kata. Harus sampai
kapan ia menyimpannya erat dalam buku yang bahkan tak ada seorangpun
mengetahuinya?
Dipandanginya
lagi rumah Endy dari balik jendela. Gersang. Sunyi. Semenjak kepergiannya dua
bulan lalu, Ranty tak bisa lagi mendengar suara pergerakan roda sepedanya.
Pekerjaannya pun menjadi terlantar. Ia menitipkan kepada Ranty semua
bendel-bendel koran setiap harinya. Namun Ranty menitipkan kepada seseorang
yang sama-sama menganggur di pemukimannya.
“Mbak
Ranty!” teriak seseorang tiba-tiba. Hentakan kakinya begitu mantap,
menghentak-hentak lantai semen ini. Ternyata Seno, laki-laki lulusan SMP yang
Ranty pasrahkan untuk menjualkan koran-koran.
“Coba
lihat ini!” Tukasnya sembari menyodorkan Ranty koran edisi hari ini.
Ranty
sedikit ragu-ragu ketika meraihnya, namun dengan desakan Seno, ia cepat-cepat
menamatkan pandangannya pada sebentuk bingkai berwajah seseorang yang ia kenal.
Tubuh jangkung itu, dengan memakai kemeja dan jas abu-abu. Tertulis “Sajak
Bisu: Kisah Perjuangan Sang Pejuang Cinta, Segera Tayang” dalam tajuk yang
berisi beberapa paragraf wacana.
“Mas
Endy dadi[6]
artis!” celetuk Seno begitu antusias.
Ranty
tersenyum. Ia membaca beberapa kalimat itu dengan saksama. Kepergian Endy yang
lama adalah karena ia sibuk mengurusi skrip dan prosedur pembuatan film layar
lebar di Jakarta. Jarak yang sangat jauh.
“Endy
memang hebat.”
Seno
memandangiku begitu dalam. Ia terperangah seperti melihat makhluk astral di
hadapannnya. “Mbak...,” ucapnya lirih. “Kamu kudu ke rumah sakit sekarang.”
☺
Endy mendorong kursi roda Ranty menyusuri sepanjang
jalan menuju tepian Bengawan Solo seperti biasanya.
Sepulang
ia dari Jakarta, seseorang yang ingin ia temui pertama kali adalah Ranty,
sahabatnya. Namun ia tak menemukan Ranty di rumahnya. Hingga Seno menceritakan
kepadanya bahwa penyakit kanker paru-parunya kambuh.
Ini
adalah permintaan Ranty. Ia ingin bisa merasakan berdua lagi menikmati
rimbunnya pohon angsana dan gemericik pada air sungai yang merdu. Bukankah itu
menyenangkan? Namun apakah rasa itu masih sama bila jarak dan waktu telah
mengubah segalanya?
Ah, apa yang berubah? lirih Ranty dalam
hati.
Ranty
meminta Endy memapahnya masuk ke dalam perahu. Walau sebelumnya Endy telah
melarang keras. Di dalam perahu, ia menyandarkan punggungnya pada punggung
Endy, saling membelakangi. Endy meminta agar Ranty tak banyak bergerak, dan ia
yang akan mendayung hingga perahu itu bermuara ke manapun Ranty inginkan untuk
berhenti.
“Endy,
satu hal yang tidak kamu mengerti.” Ucapnya lirih, tanpa tenaga.
Endy
mendongak. “Apa?”
Ranty
tertawa renyah, “Tentang tempat di mana sesuatu yang berharga itu disembunyikan
dalam tembang masa kecil kita.”
Sejenak
ia berhenti mendayung. Ada hasrat yang tak mudah ia jelaskan. Rasanya seperting
seonggok pedang runcing sedang mencabik-cabik jantungnya. Mendengarnya
membuatnya bertahan sekuat tenaga untuk tak membiarkan getir itu terasa nyata.
“Di
mana, Ran?” Ia mulai menyadari, suaranya perlahan bergetar.
Ranty
terdiam. Namun sesaat suara merdu membuncah dari bibirnya yang semakin tak
keruan pucat. Cublak-cublak suweng.
Suwenge ‘ting gelenther. Mambu ketundung gudhel. Pak gempo lera-lere....[7]
“Sebenarnya
sesuatu yang berharga itu telah ada di mana-mana. Mereka menyebar ke segala
penjuru arah. Jauh darimu. Bahkan ada di dirimu sendiri.” Jemarinya menyentuh
lembut aliran sungai tersebut. Ia merasakan damai seperti saat-saat lalu. Saat
ia masih sanggup tertawa tanpa ada rasa sakit.
“Hanya
orang bodoh yang dapat menebak tempat persembunyian sesuatu yang berharga itu,
walau semuanya semu. Palsu. Namun hanya orang-orang dewasa yang berakal, yang
mampu mengerti, meski ia hanya diam. Menyembunyikan.”
Endy
hanya diam mendengar suaranya yang membuat hatinya menyesali segala kebersamaan
yang berlalu begitu saja.
“Sesuatu
yang berharga menurut Endy saat ini, apa?”
Endy
terkesiap. Dengan susah payah ia menjawab, “Cinta.”
Ranty
tersenyum penuh arti. Seakan jawaban Endy adalah hal yang ia harapkan akan
iadengar. “Kita telah cukup dewasa untuk mengerti di mana letak cinta tersebut,
Endy. Kamu memang berhak mendapatkan cinta. Tidak dengan aku. Rasanya kepingan hatiku ini sudah tak berbentuk. Remuk. Seperti tak ada harapan untuk seseorang. Bila saja kupaksa orang itu untuk menyatukan lagi kepingan-kepingan yang hancur itu, kurasa ia lebih memilih untuk mencari hati yang baru.” Ranty tersenyum. “Namun tidak denganmu, kamu perlu tahu siapa seseorang yang benar-benar mencintaimu sehingga hatimu bisa utuh selama apapun itu. Maukah kamu
meneruskan bait selanjutnya?”
Endy
menghela napas berat. Diam-diam ia menyeka air matanya dengan jemarinya
sendiri. Berusaha sekuat mungkin agar getar itu tak terdengar oleh Ranty,
sahabatnya yang belasan tahun bersama. Menderita dan bahagia bersama. Sapa ngguyu ndhelikake...[8]
Dari
balik punggungnya, ia dapat merasakan tubuh Ranty bergetar. Ia sedang tertawa. Walau
suaranya tak selantang saat lalu. Ia sedang tertawa, walau tak dapat ia
saksikan raut muka manis itu. Iya, Ranty tertawa.
Dan itulah saat pertama kali Endy menangis di dekatnya, walau Ranty tak dapat lagi mendengarnya. Sir..sir pong dele kopong...[9]
☺
“Selalu lagu itu yang Ayah nyanyikan!”
Endy
tertawa melihat si Enriko memancungkan bibirnya beberapa senti. Tubuh balita
itu terhuyung masuk ke dalam pelukan ayahnya yang begitu takut kehilangannya. “Mau
tahu kisah di balik lagu itu?”
Enriko
mengangguk mantap.
“Tentang
sesuatu yang berharga. Dahulu, Ayah tidak punya apa-apa, sampai Ayah bertemu
seseorang yang bisa menjadikan Ayah menjadi seperti sekarang ini. Punya rumah
yang bertembok kuat, punya kursi empuk, punya mobil, tinggal di kota besar, dan
punya kamu.” Sejenak ia mencubit hidung mungil itu. Ia tertawa geli. “Sesuatu
yang berharga itu yang menjadikan Ayah menjadi seperti ini. Namun sesuatu
berharga itu tersimpan rapat-rapat, tanpa seorangpun tahu kecuali orang pintar.
Enriko mau jadi orang pintar? Coba tebak di mana sesuatu berharga itu?”
Enriko
menjalari seluruh ruangan. Tatapannya seakan mencari jawaban dari pernyataan
rumit ayahnya ini. Kemudian menggeleng penuh sesal. “Di mana?”
Endy
tersenyum, seiring dengan kedatangan seorang wanita yang kemudian memberinya
ciuman pada pipi tembam anak pertamanya. Wanita itu tersenyum pada Endy. Penyuka
Sajak Bisu yang akhirnya memikat hatinya selamanya.
Endy
meraih jemari mungil Enriko. Meletakkannya pada satu tempat yang menyimpan
sesuatu yang berharga itu. Ia membiarkan jemarinya merasakan detak jantung Endy
yang berdebar sangat teratur. Kemudian ia tertawa, “Ini 'kan jantung Ayah!!”
Mereka
tertawa. Sepersekian detik kemudian pandangan Endy memaku pada sebentuk buku di
atas meja itu. Ia tersenyum. Dan sesuatu berharga itu,
akan terus tersimpan di sini. Di hati nurani yang tak lagi kosong. Ada nama
Sandra, Enriko, dan tak lupa—kamu.
Walau terlambat kau ucapkan, namun senyummu
telah menjawab segalanya. Maafkan aku yang terlalu bodoh untuk menyadarinya,
Ranty.
☺
[1] Tembang
asal Jawa Tengah: Cublak-cublak Suweng
[2] Anyaman
dari irisan batang bambu.
[3]
Bapak hanya ingin, anak Bapak satu-satunya, bisa mandiri dan bisa meneruskan
perjuangan Bapak. Memang selama hidup, Bapak tidak bisa menyekolahkan kamu
sampai tinggi, maafkan Bapak, ya Nak. Tetapi kamu jangan lupa, jika mau
berusaha, apapun bisa tercapai.
[4] Sandal
yang terbuat dari kayu yang kaku.
[5]
Penggalan lagu Bengawan Solo karya Gesang.
[6] Jadi.
[7] Tebak
tempat menyimpan sesuatu berharga. Yang tersebar di mana-mana. Mudah tercium
oleh orang-orang bodoh. Orang pintar yang mengerti, melirik anan dan kiri.
[8] Siapa
yang tertawa adalah yang menyembunyikan.
[9] Di dalam
hati nurani yang kosong.
0 comments: