0

Forget It!

Forget It!
On 10th December.

Lengkung bibirnya.
Masih tercetak begitu jelas simpul manis senyuman pria itu di benak Neva. Memang dia sudah lama mengenalnya. Arga, teman satu kampusnya.
Pemilik postur tubuh yang menjuntai dan rambut yang acak-acakan itu akhir-akhir ini yang membayangi setiap detik yang dimiliki Neva. Memang semua terjadi secara tiba-tiba. Dan Neva, belum tahu jelas arti senyuman yang diberikan setiap harinya. Yang dia tahu, lengkung bibir seperti itu yang selalu saja tak pernah absen di setiap pagi ia menginjakkan kakinya di ruang Fakultas Sastra Indonesia Universitas Gadjahmada itu. Senyum yang seperti itu, yang menghadirkan tanda tanya besar, “apa benar?”
Neva memelankan langkah yang membawanya ke depan pintu ruang fakultasnya yang terdengar sangat gaduh. Ia menghentikan langkahnya, dan memperhatikan setiap ruangan yang menjadi sumber kegaduhan.
“Pagi, Nev!” suara itu tentu saja membuatnya tersentak. Dan, Neva merasa tak asing lagi dengan suara itu. Dengan cepat, ia dapat menebak siapa yang sudah stand by dan memberi ucapan selamat pagi di hadapannya.
“Silakan masuk.” Entah, obat apa yang dia makan setiap harinya, sehingga persediaan semangatnya tak pernah habis. Semangat atau memang nggak waras, ya? Hampir setiap pagi, Arga selalu menebar senyum nggak jelas. Terutama dengan Neva.
“Makasih, Ga.” Jawabnya pelan. Lalu ia melangkahkan kembali kakinya dengan santai menuju kursinya, dan di sebelahnya, Vania, sahabatnya, sudah terlihat sibuk dengan novel terbarunya.
“Judulnya apa?”
“It could be.” Jawab Vania penuh semangat. “Ceritanya tentang seorang cewek. Yah, memang dia bukan keturunan orang-orang borjuis, atau tempat tinggal beratap bangunan Real Estate. Namun dia punya cinta yang tak banyak orang memilikinya. Dan satu-satunya harapan ada pada cowok yang selama ini mengisi setiap sekat-sekat hatinya yang kosong. Tapi sayang, harapan hanya tinggal harapan. Cinta itu, telah menjadi milik orang lain.”
Neva mengangguk pelan. Gila! Bermaksud tanya judulnya, malah dikasih bonus sinopsisnya. Lumayan, jarang ada yang mau ndongengin seperti sahabatnya satu ini. Si kutu novel. Hehe. “Terus, sad ending atau…”
“Nemuin tambatan hati yang lainlah. Dia merasa masih ada yang lebih baik darinya. Dan finally, she got it!” jawabnya menggebu-gebu.
Neva mengangguk sekali lagi. Dari penerawangannya sih, Vania benar-benar nemuin surganya dengan memasuki fakultas ini. Sedang Neva, ah sudahlah, bukankah apa yang sudah dipilihkan orangtua, itu yang terbaik untuknya?

***
Neva sedang sibuk dengan tugas mengarangnya yang membutuhkan pengasahan otak yang lebih tajam lagi. Sedangkan pengasah yang digunakan, benar-benar berkarat dan itu yang membuatnya ingin berteriak sekencang-kencangnya.
“Udah kelar tugas mengarang lo? Tentang apa, Nev.”
“Argggh, hmm, ayolah, bekerja!” tukasnya dengan masih memejamkan mata dan mencengkeram kepalanya erat-erat.
“Kerja apaan, Nev?”
Tangan Neva mendobrak meja dengan keras. Lalu membuka matanya perlahan-lahan. “Arga, gue lagi nyoba nyari inspirasi, jadi gue nyuruh impuls-impuls otak gue biar pada kerja. Dan, please, jangan ganggu dulu.”
“Lo dapet bagian apa, Nev, barangkali gue bisa bantu.”
“Masalah politik. Dan gue benci itu.”
“Gue suka itu.” Arga mendekati Neva, dan meletakkan tubuhnya di kursi milik Vania yang entah kemana batang hidung pemiliknya. Dilontarkannya satu persatu kata-kata berbau politik yang diharapkannya bisa sedikit membantu tugas Neva.
“Ceilah, lagi pada ngapain nih? Arga! Hus.. hus.. enyahlah dari kursi gue! Gue mau duduk!” bentaknya yang tiba-tiba memecahkan percakapan mereka berdua. Arga berdiri sesuai dengan perintahnya.
“Ye, lo kira gue ayam, pake hus-hus segala.”
“Kan lo emang ayam, ayam kampus!” Vania terpingkal-pingkal sembari menutupi mulutnya yang terbuka lebar itu dengan novel new release yang masih begitu hangat dengan sampul yang tertata rapi.
Arga hanya terdiam memperhatikan tingkah teman satu kampusnya ini. Kemudian matanya berganti arah menuju satu sosok yang baru saja menemani percakapan pendeknya itu. Neva, dengan senyum tipisnya, sebagai reaksi dari lelucon Vania, mengarah kepada Arga. Dan Arga membalas senyuman itu lalu pergi dari hadapannya.
***
Neva memperlambat langkah kakinya. Dilema memberatkan langkah kakinya, dengan keadaan mendung yang gelap membuatnya ragu memilih menunggu angkutan atau minta dijemput Ayah.
“Nev.. gue anter, yuk!” suara melengking itu tentu membuatnya tersentak.
Arga. “Emang kita searah?”
“Ya, nggak, sih. Cuman gue ntar mau sekalian ngeband, tempatnya searah, kok.”
Neva mengangguk. Dengan sigap menaiki motor Arga dan mereka langsung secepat kilat melaju.
“Kok nggak naik motor sendiri?” katanya, mengawali perbincangan.
“Baru diservis.” Jawabnya singkat.
Kebisuan yang berkepanjangan mengantarnya tepat di depan rumah sederhana milik Neva. Ia turun. Gerimis dirasakan telah menyentuh kulitnya.
“Mau mampir, atau langsung pulang?”
“Gue langsungan aja, ya.”
“Ya udah, hati-hati.” Tangannya melambai pada Arga yang semakin menjauh dari pandangannya. “Makasih ya, Ga!” teriaknya.
Neva memasuki rumahnya, cengar-cengir pula. Neisha, kakaknya yang sedang sibuk membolak-balik halaman majalah di ruang tamu, melihatnya heran.
“Kenapa lo cengar-cengir? Dianter siapa?”
“Arga.” Neva meletakkan tasnya, kemudian duduk menyebelahi Neisha.
“Cowok baru lo?”
“Ngaco lo, ah. Udah gue mau boci dulu. Bobok ciang.” Neva terpingkal-pingkal. Kemudian beranjak menuju kamarnya. Neisha hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya.
***
Neva menjatuhkan tubuhnya pada kasur empuknya. Helan nafas berembus lembut mengiringi rasa kantuknya. Ada yang bergetar. Oh, handphonenya.
Ada sms masuk. Entah nomor siapa.
Matamu bagai sinar yang menyilaukan hatiku.. Andai sinar itu milikku.. Maukah kau jadi sinar yang selalu menerangi setiap langkahku? –Arga-
“Arga?” kemudian selang beberapa detik muncul satu pesan lagi.
Maaf, Nev. Nih Arga, tadi temen gue tuh yang ngirim. Emang brengsek dia!!
Neva tertawa geli. Kemudian dengan cepat mengetik balasan untuk Arga.
Iya, Ga. Gpp. 
Perlahan, mata Neva semakin menyipit. Hingga akhirnya, terlelap, tenggelam dalam mimpinya.
***
“Nev, awas!” suara Vania terdengar begitu melengking dari sudut lapangan basket ini. Hingga pada akhirnya..
Bruk, jediaar, toengggg!! (?)
“Tuh, kan, kena. Sorry ya, Nev. Sakit, nggak?” tanya Vania sembari mengelus-elus kepala Neva. Kepala Neva serasa seperti berputar-putar. Sekilas, pandangannya tertuju pada segerombolan teman-teman yang mengelilinginya. Namun pandangannya buram.
“Nggak, kok. Enak malahan, lemparin lagi, dong.
“Ya sakitlah, bego!” lanjutnya. Vania tertawa renyah. Dengan perlahan Vania dan teman-temannya membantunya berdiri. Sungguh sial.
“Udah, gue nggak apa-apa, kok. Makasih, ya.”
“Beneran nggak kenapa-napa? Sorry banget, Nev, gue nggak sengaja.”
“Iya, beneran. Udah biasa.” Neva terkekeh-kekeh. Padahal kepalanya masih terasa cenut-cenut.
“Ya udah, kalau gitu, sebagai maaf, gue traktir makan, deh. Mau nggak?”
Neva terdiam. Berfikir. “Ya mau gimana lagi, kata Pak Ustad; yang namanya rejeki, ya mana bisa nolak?”
“Bilang aja mau! Pakai pidato dulu segala.” Mereka terpingkal-pingkal. Kemudian dengan langkah sedikit sempoyongan, melangkah melewati lorong-lorong kelas yang masih tampak sibuk dengan kegiatan belajar mengajarnya.
***
Neva memainkan sedotannya pada segelas jus miliknya. Matanya mengarah pada sudut-sudut kantin. Tapi pandangannya kosong.
“Eh, lo bengong aja! Kenapa?” tanya Vania sembari melahap nasi goreng miliknya.
Neva menggeleng pelan. Pandangannya masih tak mau berpindah.
“Nggak laper, ya? Masak makan cuma mie rebus aja?”
“Kalau lo aja yang gue makan gimana?”
Vania tersentak. Makanan yang ia makan hampir saja muncrat dari mulutnya. Kemudian dengan cepat meminum jus melon yang ia pesan.
“Em, boleh, boleh banget malah. Everything’s for you, babe.”
Neva tertawa. Dasar bocah. Selang beberapa menit, muncul dari arah belakang yang dengan brutal meminum jus milik Vania yang masih lumayan penuh. Lalu mereka duduk, ikut nimbrung di meja makan mereka.
“Lo gila, ya! Setan! Kalau mau minta bilang, jangan asal nyosor!” bentak Vania menggelegar. Neva geli melihatnya.
Arga tersentak. “Gila, nih orang galak bener. Gue juga dikit doang, kok, minumnya. Tuh, si Krempeng banyak banget nyruputnya. Dimarahin juga, dong!”
“Kalau Andre, sih, nggak apa-apa.” Vania meringis.
“Gila aja, mentang-mentang lo cinta setengah mati sama dia.”
“Lo jangan iri, ya. Gue tahu lo jomblo, jadi yang sabar aja.” Andre menepuk bahu Arga. Ketiganya tertawa terpingkal-pingkal. Sedang Arga hanya manggut-manggut.
“Eh, enak aja, kata siapa gue cinta mati sama dia! Gue cuma kasihan, orang kurang gizi kayak dia itu harusnya dikasihani.” Vania semakin tertawa lebar.
“Sialan lo!” bentak Andre.
Arga menangkap sorot mata Neva yang sedang tertawa lepas di hadapannya. Dia yang ini, berbeda. Apa adanya. Memikat hatinya.
“Ya udah, gue minta jusnya Neva aja. Pasti boleh, dia kan baik, nggak kayak lo! Ya kan, Nev?” Arga tertawa. Kemudian menyeruput jus milik Neva.
Neva mengangguk, kemudian tersenyum padanya.
***
“Nev, pulang bareng gue aja, yuk? Sekalian mau mampir rumah lo. Lama nggak ke sana. Boleh kan?” kata Vania yang melintas dengan motor maticnya di depan sekolah.
“Boleh dong. Ya udah, gue naik, ya.” Neva perlahan menaiki motor Vania.
“Nggak, siapa bilang. Lo ngesot aja.” Pekiknya.
Neva menatapnya tajam. “Nggak lucu, dan gue nggak bakal ketawa!”
“Ye, yang suruh lo ketawa juga siapa. Ya udah buruan.”
Perjalanan dari sekolah ke rumah Neva yang tidak terlalu jauh hanya diisi tawa yang menggelegar di setiap jalan yang dilaluinya. Beginilah mereka, selalu tak ada alasan untuk tidak tertawa. Selalu Vania yang membuatnya merasa tanpa beban. Merasa bahagia, merasa dunia tak lagi kelam.
Sampai pada rumahnya yang acakadul. Berantakan gara-gara ulah sepupunya yang bermain seenaknya sampai rumah menjadi kapal pecah dan nanti Neva-lah yang kudu beresin ini semua. Neisha? Pinter banget tuh anak, bilangnya aja ada tugas, pasti ngeluyur lagi. Sial!
“Rumah lo tambah ancur, ya, Nev.”
“Sial, lo pengertian banget. Ya, beginilah, istana gue.” Jawabnya santai, sembari membersihkan barang-barang yang berserakan di ruang tamu.
Vania menerawang setiap sudut ruangan. Kemudian ia menangkap sebuah foto yang terpajang di sisi selatan ruang tamu. Foto hitam putih. Dengan langkah pelan kemudian mendekati foto itu. Menyapu pada gambar seseorang yang tidak begitu dikenalinya.
“Ayah gue.” Timpalnya.
Vania terdiam. Memikirkan sesuatu. “Foto jaman dulu, ya? Tahun 1987.”
“Cuma itu yang gue punya.”
“Ini settingnya cukup keren, dan lumayan panteslah buat fotografi. Siapa fotografernya?”
“Mana gue tahu! Lo tuh gila! Udah nih, daripada kumat sakit jiwa lo, minum dulu es soda gembira buatan gue. Di jamin ngefly.” Neva tertawa sembari meletakkan dengan pelan, satu persatu gelas di meja ruang tamunya. Kemudian Vania menyeruputnya.
“Lumayan. Dapet resep dari mana? Tumben bisa bikin beginian.”
“Gini doang mah kecil, kali.”
Vania manggut-manggut. Rasa hausnya lumayan terobati dengan soda gembira versi Neva.
“Nev, lo sama Arga jadian aja. Cocok, kok.”
Neva tersentak. Terperangah. “What?!”
“Santai kali, segitunya.”
“Tapi, kan..”
“Lo suka, kan sama dia. Ngaku!” Vania menunjuk-nunjuk ke arah wajah Neva. Sedang Neva hanya gelagapan. Salah tingkah. Bibirnya kelu ingin menyanggah perkataannya. Entah. Atau jangan-jangan?

0 comments: