Friday, February 7, 2014

0

Peminjam Bahuku

Posted in , ,
by: @atikarahmaa







Dulu, separuh jiwaku pernah terluka. Apa lagi jika bukan karena cinta? Hidup tak pernah terlepas dari seringainya.
  
    Kata orang-orang, cinta itu indah. Dengan cinta, segalanya terlengkapi. Namun semua itu tak pernah kutemui pada kita. Cinta yang kau beri, hanya sesaat, dan untuk meninggalkan luka. Semua tampak sempurna pada awalnya, sebelum sampai hati ini menjadi kepingan-kepingan yang begitu sulit untukku menyusun agar menjadi utuh kembali.


“Jangan pernah tersenyum jika belum sampai puncaknya. Ayo, naik lagi!” celetuk Diana yang beringsut menarik jaketku dengan semangat. Ia tak pernah menyerah. Meski dingin begitu merasuk hingga ke tulang. Meskipun debu menghunus-hunus pernapasan hingga begitu sulit untuknya bernapas. Ia tetap bersikeras, menapaki satu dari sekian ratus tangga menuju kawah di puncak Bromo.
   
“Kalau kamu takut, jangan pernah melihat ke bawah. Berpeganglah!” ucapnya kemudian. Aku mengangguk. Sejenak, mata ini memejam. Bertanya pada hati tentang apa yang selama ini bergumul dalam pikiranku. Dan hati menjawab, keinginan yang kuat akan selalu mengalahkan ketakutan walau sebesar naungan Bromo yang memelukku dengan dingin.
   
Dan aku percaya, aku kalah jika aku belum bisa tersenyum seperti apa yang Diana katakan.
   
Kakiku menghentak hebat, menabuh pasir berdebu yang menggunung menutupi tangga. Selalu ada cinta di balik keinginan kuat itu. Seperti apa yang selalu menjadi pertanyaan dari apa yang kujadikan alasan untukku sulit mengeja tawa kembali.
   
Sekali lagi tentang cinta. Aku ingin kembali merasakan manisnya sebuah pertemuan, juga—perpisahan. Seperti saat kali pertamaku dibuat kaku oleh binar matanya. Kehadirannya yang tanpa permisi membawa sesuatu yang tak asing bagiku.
   
Cinta. Kutemui cinta dari setiap jengkal kebersamaan kita. Namun mengapa semua hanya sesaat? Mengapa kau tak bisa untuk tetap tinggal? Perpisahan begitu cepat menjemputmu, padahal kaulah alasan mengapa aku sanggup melupakan masa lalu pahit yang membuatku lupa bagaimana menyentuh kebahagiaan.
   
“Tersenyumlah, Tika!” seloroh Diana yang merentangkan tangannya begitu puas.
   
Aku tersenyum. Bagaimana kebahagiaan telah membawaku pada satu yang menjadi tujuanku. Kawah itu mengepulkan asap putih yang menyapa kehadiranku. Aku menang.
   
Dan bagaimana sosokmu yang semakin lenyap meninggalkan Bromo. Apakah kau selalu ingat? Saat di lereng itu, dalam ketidaksengajaan kau meminjam bahuku untuk sesaat terlelap dalam tidurmu. Hal yang selalu membuatku tak ingin melepaskanmu. Karena aku selalu kecewa, mengapa semua berlalu begitu saja.
   
Tanpa pernah kautahu namaku, **.
   
Namun kau sudah berani datang meninggalkan kenangan yang terlalu sulit untuk kulupakan.

0 comments: