Showing posts with label Cinta Pertama. Show all posts

Thursday, July 24, 2014

0

The Damn First Love [The End]

Posted in , , , ,
September 2012
“Inikah janji yang kaumaksud, Gilang? Inikah sebutir cinta yang akan selalu kauberi hanya untukku? Inikah seikat ikrar yang terlontar dari racau mulutmu saat dengan bodohnya kuberi kesempatan itu untukmu? Apa ini yang namanya cinta?” Aku menuliskannya dengan air mata. Ponselku perlahan basah karenanya. Mengapa Gilang—orang yang kupercaya segenap cintanya—kini tak lebih dari seorang dajjal dengan kepalsuan besarnya.
“Carilah penggantiku, Ries. Relakan semua.”
“Bagaimana aku bisa mencari penggantimu bila saat itu kaubilang hanya kaulah yang bisa mengisi satu-satu tempat di sekat hatiku yang kosong? Bagaimana aku bisa mencari sosok lain bila cintaku saja sudah habis terbawa lari olehmu? Bagaimana aku bisa merelakan semua bila kautelah mengubah hidupku menjadi beku tanpamu, Gilang?”
Kepergiannya adalah hal yang akan kutunggu. Namun itu dulu. Di bawah atap yang menjadi tempat kita melepas rindu, kaumemelukku. Kala itu, kaubisikkan kata cinta. Kauucap kata termanis yang selalu ingin kudengar darimu.

Wednesday, July 23, 2014

0

The Damn First Love [6]

Posted in , , , ,
“Bisakah kau keluar sekarang?”
            Aku mengendap-endap menuju ruang tamu, kukatakan pada Gilang di balik ponsel tersebut, “Aku tidak bisa. Aku takut.”
            “Sebentar saja, aku ingin bermalam minggu denganmu.”
            Jantungku berdegub sangat kencang. Kulesatkan pandanganku ke setiap penjuru ruangan. Ayah telah terlelap tidur, dan Ibu sedang sibuk menata pakaian di kamarnya. Inilah saatku bermain kucing-kucingan layaknya hari-hari kemarin. Sungguh, cinta ini memaksaku untuk berlaku kejam sekalipun. Aku merindukan cinta. Aku menginginkan cinta.
            Kulangkahkan kaki begitu cepat, menuju tempat yang Gilang janjikan akan menungguku di sana. Dari jarak yang tak begitu dekat, kutelisik matanya yang membulat mengarah kepadaku. Aku sangat merindukan sosok itu.
            Malam ini kunikmati berdua dengannya, meskipun harus dengan deguban jantung yang tak lagi teratur. Mengapa ketika ingin kunikmati berdua dengan cinta, hatiku selalu diruncung kecemasan atas keputusan yang kulakukan. Aku membohongi mereka demi bertemu dengan kekasihku. Aku tega mengkhianati cintanya demi bertemu dengan cintaku.

Tuesday, July 22, 2014

0

The Damn First Love [5]

Posted in , , , ,
“Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku juga masih mencintai Nina.”

Y
 “Apa kauyakin? Sudahlah, Ries, semua hanya akan membuatmu terlarut dalam sedihmu.” Pesan singkat Adella, tak mengubah teguhku untuk tetap menjalani apa yang telah menjadi janjiku kala itu.
            Aku meminta Diana mengantarkanku pada rumah Gilang untuk memberi cokelat pesananku—seperti janjiku. “Mengapa kaulakukan ini, Ries?”
            Sorot mataku menatap pada rintik hujan yang mulai turun melewati celah-celah pohon angsana di depan Rumah Cokelat. Gigil mulai memelukku, namun kucoba tersenyum, “Karena akupun tak bisa berbohong pada hati.”
            “Masih mencintainya? Kaubodoh. Hanya wanita bodoh yang tersenyum ketika lelaki yang dicintainya kembali pada pelukan wanita masa lalunya. Hanya wanita bodoh yang—”
            “Kautak mengerti apapun!” Aku menyergah, tak kuhiraukan bagaimana amarah telah menelan semangat jiwanya. Yang kutahu, kini ia hanya terpaku menatap mataku yang perlahan tercairkan oleh lapisan bebutiran bening.

Friday, July 18, 2014

0

The Damn First Love

Posted in , , , ,
Sebelum baca ini, kalian harus tahu, bahwa aku menuliskannya dengan penuh kebencian dan penyesalan. Bukan kesenangan seperti ketika orang-orang sibuk memercayai bahwa cinta pertama adalah hal yang terindah. Lalu, makna cinta pertama itu sendiri seperti apa? Apakah berakhir bahagia? Kalian akan tahu setelah membaca ini...

NB: SEMOGA KALIAN LEBIH PERCAYA BAHWA INI HANYA FIKTIF BELAKA! :P

Doc. Feb 2014


Lelaki itu melambai. Sesekali ia membenarkan peci hitamnya yang sedikit melorot karena terlampau riang hingga berpolah layaknya habis memenangkan sebuah sayembara memanah berhadiah hunian mewah.
            Namun bukan itu yang membuatnya lantas menyunggingkan senyum yang mengembang di sudut bibir tuanya. Wanita di sampingnya lah yang menjadi jawabannya. Ya, dialah Pak Lik. Satu jam lalu kusaksikan sakralnya pernikahan mereka di sebuah bilik di rumah mempelai wanita—yang kini menjadi sosok pengganti bagi Bu Lik— dengan segala upacara dan tatacara tanpa sebuah prahara. Aku bahagia menyaksikannya.
            Dari balik jendela kaca yang sedikit mencipta retak pada permukaannya, aku tersenyum. Tubuh kami akan segera pergi meninggalkannya. Perlahan-lahan, mobil menderumkan bebunyian runyam, melesat pelan meninggalkan pedusunan Dumpoh dan segera saja kembali pada peradaban kami—di Meteseh.
            Di sinilah kota kelahiranku. Magelang telah menyisakan sebagian besar kenangan indah yang meski seringkali sukar kuingat. Pun aku sendiri harus menyadari, kehidupanku sebenarnya bukanlah di sini. Magelang hanya menjadi saksi atas kelahiranku, Kota Sejuta Bunga—julukan baru yang tercetak begitu jelas di atas menara air, landmark kota ini— hanya sebagai pelengkap buah bibir bagi mereka yang bertanya-tanya di mana aku dilahirkan.
            Absurd memang. Mengingat aku dibesarkan di kota Rembang, teraktakan lahir di kota Rembang sedangkan kini ragaku akan terus menemukan jati diri di Semarang. Ah, tak juga kupungkiri, setiap saat mengunjungi kota ini, selalu kudapatkan sebuah kedamaian di tengah keluargaku yang selalu memberi senyum ramah atas kehadiranku.
            Aku menghela napas bahagia. Kusandarkan tubuhku pada bangku empuk di dalam Carry milik tetanggaku ini, Pak Har. Kutelisik beberapa bangunan di balik kaca buram itu. Tak banyak yang berubah. Meteseh sepuluh tahun yang lalu akan selalu sama seperti saat ini; selalu mendamaikan. Menyejukkan.
            Berbicara tentang pernikahan itu, ini bukanlah kali pertama Pak Lik bersanding di pelaminan dan mengucap kabul di depan saksi dan keluarga masing-masing mempelai. Inilah pernikahan kedua atas kegagalan dari rumah tangga pertama karena suatu hal. Entah, aku tak tak tahu, yang kutahu kini ia bahagia. Sangat bahagia, tampak dari gesture tubuh dan pecinya yang merosot karena girangnya.
            Ah, begitukah rasanya merengkuh hidup baru?
            Juga, hal itu kembali menyorotkan seutas kalimat yang selalu menjadi benteng atas perasaan cinta yang masih saja melekat erat di ulu hati; apakah cinta pertama akan selalu menyenangkan? Atau seringainya lebih mencipta kata ‘menyakitkan’?
            Pikiranku melayang, seperti tak sedang berada di tempat ini. Kegamangan hati membawaku kembali menikmati masa-masa di mana hatiku tercabik dan terbuai atas perasaan cinta yang dikata akan membawa kebahagiaan. Gerimis yang tiba-tiba datang, seperti kata Ibu, “Namanya juga Desember,” menambah antusias segenggam kenangan yang telah terkemas rapi dan perlahan terusik kembali untuk menghantui segala pikiran ini.

            Cinta pertama.