Wednesday, August 6, 2014

0

Sajak Bisu di Tepian Bengawan

Posted in , , , , , ,



Cublak-cublak suweng
Suwenge ‘ting gelenther
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lera-lere
Sapa ngguyu ndhelikake
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong.[1]

“Selalu lagu itu yang kamu nyanyikan.”
            Angin berembus lembut, menyusup masuk ke dalam telinga gadis itu –membawa sepenggal kalimat yang terucap lirih dari bibir kehitaman Endy. Senja yang menyongsong di cakrawala barat, menawarkan keindahan sederhana yang tersirat melalui semburat-semburat jingganya, membuat bibir pucat gadis itu menyungging ke atas. Ia tersenyum.
            “Kamu tahu di mana tempat menyembunyikan sesuatu yang berharga seperti yang ada dalam sajak-sajak tembang itu?”
            Endy mengernyit, “Aku saja nggak tahu makna tembang itu. Memang di mana?”
            Mata indah itu menyergap Endy dengan teduh. Seteduh berlindung di bawah pohon angsana ditemani gemericik suara aliran sungai yang memercik tegas setiap derasnya menghantam bebatuan besar. Namun tak juga Endy sadari, perahu-perahu kecil yang terlebih dulu menyita perhatiannya, membuat gadis itu kemudian tertunduk sia-sia.
            “Mungkin hanya orang dewasa yang dapat menebaknya, Ndy.”

“Kamu akan mengunjungi tempat itu lagi?” tanya Ranty sembari ngos-ngosan. Dibopongnya satu bendel koran itu ke dalam keranjang sepeda tua yang terparkir di depan sebuah rumah bertembokkan gedheg[2] dan beratapkan seng-seng tipis yang beberapa permukaannya telah berkarat.
            Seseorang keluar dari pintunya yang reot. “Itu pasti! Kalau nggak, mungkin besok-besok aku nggak bisa makan sate bundel seenak ini lagi,” ucapnya tak begitu jelas karena mulutnya penuh dengan gigitan daging kambing cincang yang dibungkus lemak kambing yang dibelinya semalam.
            Ranty mengernyit, ia pasti berbohong, batinnya. Pelan-pelan tubuhnya terangkat ke atas untuk menaiki sepeda tua peninggalan mendiang ayah Endy yang lama tak terpakai. Ia begitu kesusahan, hingga dengan segera Endy mendekat dan mencengkeram bahunya kuat. “Jangan konyol!”
            “Aku cuma pengin sekali saja bisa boncengin kamu, Ndy.”
            Dengan sigap, Endy membantunya menuruni sepeda dan mengambil alih posisi Ranty. “Nggak perlu. Yang kamu lakukan cukup duduk dan berpegangan erat pada bajuku.”
            Ranty memandang sosok itu lama. Pergerakan jemarinya mencoba memberi isyarat bahwa yang ia lakukan saat ini hanyalah duduk di belakangnya, bukan memerhatikannya dengan raut membingungkan. Ranty tergegap, dan bergegas menuruti perintahnya.
            Hari berlalu begitu cepat, tak dirasakan oleh masing-masing yang terlalu sibuk memikirkan masa depan dan menikmati apa yang sedang dijalani saat ini. Sudah dua minggu lebih Ranty menghabiskan waktu untuk menemani Endy mengayuh pedal sepeda tua ayahnya, melempar koran ke rumah-rumah, meminta bayaran atas langganannya selama seminggu sekali. Tak sedikit keringat yang mengalir membasahi baju compang mereka. Tak sebentar pula kepergiannya untuk mengirim pesanan pelanggan hingga ia dapat kembali memarkirkan sepedanya ke dalam rumah yang hanya beralas tanah. Belum lagi jika hujan tiba-tiba datang, satu-satunya harapan hanya ada pada bendelan koran-koran di keranjang sepedanya. Agar tak basah, sehingga ia tak kehilangan satu-satunya mata pencaharian yang dapat dilakoni lulusan sekolah menengah pertama yang berstatus miskin seperti mereka.
            Sejauh ini, mereka telah melayani sekitar sepuluh pelanggan yang memesan korannya setiap hari. Namun, dari sekian, hanya satu rumah yang membuat Endy memarkir sepeda terlalu lama di depan gerbangnya yang mewah. Menunggu seseorang membukanya, dan tepat. Ia melakukannya tepat di hari Minggu seperti ini.
            “Menunggu wanita itu lagi?”Sekelebat suara yang tak dihiraukan olehnya. Ia tetap memandang lurus ke arah pintu dari ukiran kayu jati bak rumah kesultanan. Dan benar saja, sekalinya ia menekan bel sepeda dan menimbulkan bebunyian berisik, sosok itu langsung memenuhi setiap pandangannya.
            Tubuh itu berjalan lurus ke arahnya. Warna salem pada dress yang menjuntai menyentuh kaki yang tak beralas apapun membuatnya terperangah. Seperti seorang model sedang berjalan catwalk melintasi permadani merah. Dan seperti biasanya, wanita itu hanya menimpali dengan wajah ganas andalannya.
            “Majalahnya ada, kan?” tanyanya sinis. Suara serak-serak basah yang mengagumkan.
            Endy sesegera mungkin menggerakkan tangannya mencari-cari majalah di antara bendelan koran di keranjang sepedanya. Dan tanpa hitungan menit, majalah yang wanita itu minta berhasil ia dapatkan.
            Seperti minggu-minggu lalu, wanita itu langsung membuka segel majalah di tempatnya berdiri. Membalik-balik halaman hingga ia menemukan apa yang iacari. Sepotong cerita bersambung. “Cinta memang tak kenal batas. Setinggi apapun benteng itu menjulang di hadapanmu, rasa cintamu akan meruntuhkan segalanya,” gumamnya, tanpa pernah mengenyahkan pandangannya pada aksara-aksara di dalamnya. “Hm, mungkin ini akan jadi cerita bersambung yang menguras air mata,” gerutunya lagi.
Ia terhenti sejenak dan menatap tajam ke arah dua manusia yang tengah tak berkedip memperhatikannya. “Akan kubayar totalnya di akhir bulan.” Tanpa menunggu jawabannya, ia segera mengentakkan kaki mantap meninggalkan mereka.
            “Sudah tiga kali aku mendengarnya membacakan kutipan di setiap cerita yang dia baca.” Ranty mendengus, entah dalam artian apa.
            Senyum Endy mengembang. Bukan tanpa alasan jika setiap hari Minggu ia selalu menyungging senyum yang merekah-rekah, dan mungkin tak bisa dielak jika ternyata wanita dari rumah mewah itulah penyebabnya.
            “Kita akan ke Bengawan lagi sore ini, kan?” Selalu, menjadi retorika setiap Minggu senja. Setelah selesai mengirim koran dan majalah sekaligus mendengar penggalan kalimatnya yang mampu membuat Endy terambang fantasinya, Ranty selalu meminta Endy mengantarnya ke tempat yang menjadi wadah penyalur segala macam rahasianya.
            Namun Ranty merasa tak ada jawaban atas kalimatnya yang menggantung sia-sia. Mata Endy nyaris tak berkedip memandangi kusen kayu jati yang masih terbuka beberapa inci. “Maaf, Ran, untuk hari ini aku akan lebih menyibukkan diri di rumah. Mungkin untuk hari-hari berikutnya juga.”
            Ranty mengernyitkan dahi, “Memang ada apa, Ndy?”
            Endy memandang wajahnya begitu dalam, sudut bibirnya terangkat ke atas beberapa senti. Namun lidahnya tetap tak bersuara. Mungkinkah bila ia kelu mengucapkannya? Tidak, mungkin itu rahasia. Senyum mampu menyimpan segala yang tak selalu perlu untuk diucapkan. Ini rahasia, dan Ranty tak perlu tergesa-gesa mencari tahu jawabannya—arti dari senyum yang diberikan Endy.
            Ranty hanya menimpali dengan senyum tipis. Ia sangat paham dengan pilihannya. Dan ia hanya bisa berharap, jawabannya adalah yang terbaik untuk tetangga semasa remajanya saat ini, dan yang kini telah beranjak dewasa—serta mengerti jatuh cinta.
Bapak cuma pengin anak Bapak siji-sijine, isa mandiri lan isa nerusake perjuangane Bapak. Pancen semasa urip, bapakmu iki ra isa nyekolahke kuwe nganthi dhuwur, ngapurane bapak, yo, Le. Nanging kowe aja lali, yen gelem usaha, apa wae isa katurutan.[3]
            Ujung pena itu terbentur pada secarik kertas kosong. Seluruh wajah Endy tertutup oleh bait-bait buku puisi Chairil Anwar yang sisi-sisinya telah robek, namun buku itu baru saja iabeli dari kios buku-buku bekas di belakang stadion Sriwedari pagi tadi.
            Sudah sejak satu jam ia hanya bisa terduduk di depan jendela tanpa kusennya, memaksa otak untuk dapat menuliskan beberapa larik kata di atas kertasnya. Namun sesaat ia terhenyak ketika seseorang mengetuk pintu rumahnya begitu keras.
            Sosok itu berjalan ke arahnya. Sangat ragu-ragu. Namun suara theklek[4] yang dipakainya mampu mengusik ketenangannya saat ini.
            “Apa yang kamu lakukan, Ndy? Kamu benar nggak ikut nyebar koran?”
            Endy menggeleng lemah. “Aku di sini saja.”
            Ranty mengangguk, “Ya udah kalau itu maumu. Ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu lakukan dengan kertas dan pena itu? Mau sok-sokan jadi penyair kayak Oom Chairil, ya,” celetuknya dengan tawa renyah yang melingkupi bibir tipis dan –yang tampak pucat.
            “Mencoba membuat sajak.” Tak bergairah menjawabnya, dan tanpa berpaling memaku pandangan pada langit kota Solo yang berawan.
            Tak seperti biasa. Ranty hanya mengangguk mendapati balasan yang singkat. Sesaat saja ia menghilang dari hadapannya. Ia tahu kehadirannya hanya akan mengganggunya. Dengan terpaksa, ia melakukan pekerjaan membagi koran itu sendirian. Dan ini untuk yang pertama kalinya ia lakukan. Namun apa yang bisa ia lakukan dengan sepeda tua ini? Menaikinya saja ia pasti akan terjatuh bila tidak ditopang tubuh jangkung itu.
            Perlahan ia mulai menyentuh gagang sepeda, dan menuntunnya pelan. Roda berputar sangat lambat, menghadirkan suara rantai yang bergerak menggelitik telinga. Mungkin jika ia masih punya segalanya di sini, ia tak akan bersusah payah seperti ini. Namun bukankah takdir tak bisa terelak? Bukankah Tuhan telah mencipta garis takdir untuk diterima dengan lapang dada? Pertanyaan itu yang selalu muncul dalam otaknya.
            “Ranty?”
            Yang dipanggil menolehkan wajah. Didapatinya seseorang tengah berjalan ke arahnya. “Setelah menyebar koran, kamu mau ‘kan ke Bengawan bersamaku?”
            Ranty tersenyum. Dengan senyum itu Endy dapat mengerti jawabannya.
           
Bengawan Solo, riwayatmu kini[5]....
“Mengapa tiba-tiba kamu ingin belajar membuat sajak, Ndy?”
            Endy tak sesegera menjawab. Alunan lagu yang mengalir syahdu melalui sound system pada keramaian di tepian sungai ini membuatnya sekejap memejamkan mata, lalu menghela napas lega. Selalu lagu itu yang mengingatkannya pada ayahnya semasa ia masih ada. Beliau yang saban sore setelah pulang memancing di sungai ini, tak pernah sedikitpun meninggalkan tradisi menyanyikan lagu merdu ini di depan telinga Endy sendiri.
            Mungkin jika bukan karena stroke yang membunuh semangat hidupnya, saat ini Endy masih bisa menikmati tawa sembari menunggu kail itu bergoyang karena ikan yang berhasil terkelabui. Namun bagaimana cara ia meminta kepada Tuhan untuk mengulang waktu walau satu jam saja? Segalanya akan selalu terjawab dengan penyesalan yang dalam.
            Ia kembali mendongak, “Mungkin Tuhan memberiku aba-aba untuk mulai berubah.”
            “Berubah?”
            Endy mengangguk, “Setiap orang nggak bisa jika selamanya harus sama, Ran. Harus ada perubahan yang mungkin bisa membawa kebahagiaan. Diam nggak bakal bisa mengubah keadaan, dan jujur aku pun sudah mulai lelah dengan keadaan aku yang sekarang.”
            “Dengan mencoba menjadi penyair? Atau penulis sajak, begitu?”
            “Apa salahnya?”
            Ranty mendengus, matanya menatap tajam legam bola mata Endy yang mencoba menentang keras apa yang tak ia inginkan darinya. “Ayahmu pernah begitu benci dengan seorang jurnalis yang mencoba menelisik kehidupan ayahmu yang katanya sangat miskin dan nggak mau berusaha. Beliau bilang seorang pengumpul opini palsu demi memuaskan hasrat pembaca itu hanya sekadar meluruskan urusan duniawi tanpa mengerti perasaan orang lain yang sebenarnya membawa keuntungan baginya. Apa kamu lupa?!”
            Endy menatap mata Ranty tajam. Jawabannya telah berhasil membongkar kembali memori tentang ayahnya. Memang benar, beliau sangat membenci jurnalis dan semua jurnal-jurnal kehidupan. Namun ia mengelak, kegigihan akan ada padanya. “Nggak semua jurnalis sama seperti yang dibenci ayahku. Lalu menurutmu bila dengan adanya seorang paruh baya yang membenci jurnalis, kegiatan penjurnalan dan media-media masa akan dihentikan begitu saja? Dunia saja membuka ruang bagi siapa saja yang ingin mewujudkan mimpinya, mengapa manusia tidak?”
            Ranty tertunduk ketika mendapati jawaban keukeuh Endy. Ia tak tahu lagi bagaimana menjelaskan apa yang sebenarnya saling bercambuk di dalam hatinya. Ada hal lain yang tak Endy tahu mengapa Ranty meragukan mimpinya satu ini.
            “Kamu pernah merasakan cinta, Ranty?” tanya Endy, membuat Ranty tersentak dan seketika menatapnya lamat-lamat. Tak bisa ia sembunyikan semburat merah yang sempat menyala-nyala pada pipinya yang tembam.
            “Ci—cinta? Aku?” jawabnya tanpa konsentrasi. Jemarinya menohok batang hidungnya sendiri. Kemudian ia mengangguk lemah. Tak bisa ia sembunyikan.
            “Cinta yang membuat hal yang tak mungkin dilakukan menjadi mungkin, bukan?”
            Ranty mencoba mencerna perkataannya dalam. Sebentuk cinta memang terlukis dari dalam matanya. Iris mata teduh itu melukiskan bentuk wajah Ranty yang tersenyum getir. “Itu hasrat, Endy, bukan cinta. Cinta cenderung melakukan hal yang terbaik untuk cinta itu sendiri. Cinta tak ingin kita salah dalam memilih.”
            Seperti sepasang angsa yang menyusuri sungai ini di tengah alirannya yang tak terlalu deras itu. Mereka tak terlalu memaknai arti cinta, yang mereka rasakan  hanyalah kebersamaan. Tak ada hal lain yang dapat membahagiakannya kecuali itu. Kebersamaan, ucap Ranty dalam hati.
             Endy tak menimpali perkataan Ranty. Mungkin ia membenarkan filosofi yang terucap dari bibir teman dekatnya itu. “Mungkin memang karena cinta ingin aku berubah. Dan kuharap karena cinta, pilihanku nggak akan salah.”
            Ranty tersenyum mendengarnya. Bagai merasakan dinginnya lelehan es yang mencair dari dalam hatinya. Iya, yang semula beku, mampu terlelehkan oleh penggalan kalimatnya. Ah, ia tersentak. Terlalu berlebihan untuknya.
            Perlahan, Ranty memberanikan diri berlabuh dalam bahu keras Endy. Membiarkan detik demi detik berlalu bersama dengan kebersamaan ini. Semilir angin yang tertiup dari pepohonan angsana yang rimbun di sekitar mereka pun turut memberi diaroma yang membahagiakan. Andai waktu adalah tanpa batas, ia akan memiliki kesempatan untuk merasakan lebih dari ini.
            “Semoga setelah kamu berubah, nggak lantas berubah untuk tidak menemaniku pergi ke sungai ini lagi ya, Ndy.” Ia tertawa renyah.
Segalanya masih sama. Endy dan Ranty dengan sepeda tua dan bendelan koran plus majalahnya. Menyusuri tiap bilik-bilik dan kompleks perumahan di pusat kota Solo. Ranty pernah meminta Endy mengajarinya mengendarai sepeda kebo milik ayah Endy itu, namun tak mudah baginya bisa begitu cepat menggantikan Endy bila suatu saat ia kelelahan.
            “Majalahnya ada, kan?” Wanita itu menengadahkan telak tangannya meminta dengan tanpa sabar. Dan seperti biasanya, buka segel di tempat.
            “Cerita baru lagi.” Ia membaca sekilas beberapa paragraf, terlihat dari pergerakan bola matanya mengikuti alur cerita. Sesaat ia terhenti pada satu titik, “Cinta bukan tentang menjadikan dua jiwa yang nyaris tanpa jarak harus berakhir saling terikat. Bagaimana jika cinta adalah tentang melepaskan, membiarkan orang yang kita cintai memilih ke mana hatinya akan ia ikatkan?”
            Wanita itu mengangguk, rambutnya yang tergerai panjang menjuntai begitu lembut. Berjatuhan seiring anggukan kepalanya. Sejenak ia mendongak, mengulurkan beberapa lembar uang ke arah Endy, “Ini bayaran untuk satu bulan ini.”
            Ranty seakan tertampar oleh penggalan kalimat yang dikutip wanita itu dari majalah yang iabeli. Ia merasa ada yang tiba-tiba memberinya petuah. Apakah mungkin jawaban-Mu tepercik melalui bibir manis wanitu itu, Tuhan?
            Namun semenjak itu, Minggu sore bukanlah retorika seperti biasanya ketika ia menghunus-hunus ingin menikmati senja di tepian sungai Bengawan Solo. Ranty sudah bisa menerima bila keinginan Endy begitu kuat, sehingga ia bisa mewujudkan ekspektasinya sebagai penulis sajak. Namun, apa yang ingin ia tulis, Ranty masih belum mendapat jawabannya.
            “Kira-kira kapan pengumuman itu?” tanya Ranty, ketika mereka terduduk di bangku kayu usang yang terletak tak jauh dari rumah gedheg mereka. Ia sudah mulai bosan menunggu lama di bawah terik matahari yang menyengat dan di antara pemandangan yang tak sedap.
            Endy tak menjawab pertanyaannya dan memilih untuk memperhatikan jalanan setapak yang menjurus pada lingkungan di luar pemukiman di desa ini. Berharap ada sosok yang begitu diharapkan akan datang.
            Senyumnya tiba-tiba merekah, “Itu dia!”
            Endy mencakah ke arah seorang pria berjas hitam yang berjalan begitu lambat menamatkan pandangannya pada apa yang kini ada di sekitarnya. Melihat kehadiran Endy, pria itu kian mengencangkan langkahnya.
            “Mas Endy Sudibyo, ya?”
            Endy mengangguk antusias. Dengan segera pria berjas hitam itu memberinya sepucuk amplop cokelat kepadanya. “Dari redaksi majalah Sasmita.”
            “Terima kasih, Pak.”
            Tak berlangsung lama sosok pria itu langsung menghilang di balik rerumahan gedheg lainnya. Memang, dalam pemukiman desa ini hanya terdapat lima belas rumah. Sebagian sudah bertembok namun hanya sebatas tembok batako, sebagian lagi bernasib seperti Endy—rumah gedheg. Ranty termasuk yang memiliki rumah tembok batako, bahkan rumahnya telah berlantai semen. Namun iabiarkan kosong, tanpa seorangpun. Takdir telah menyita kebersamaan itu.
            “Bagaimana, Ndy?”
            Endy tersenyum penuh harapan. Ia memejamkan mata sejenak. Memohon agar cinta dapat memilihkan yang terbaik untuknya. Dalam sekejap, tangan Ranty menengadah, namun tanpa menunjukkan. Diam-diam ia turut mendoakan yang terbaik untuknya. Menjadi penulis sajak di majalah terkenal, pada bagian cerita bersambung yang setiap Minggu wanita itu membacanya. Mungkin itulah salah satu cara ia menunjukkan arah cintanya—kepada wanita itu.
            “Alhamdulillah! Pak, mimpi Endy keturutan!”
Tiga bulan kemudian.

Dear diary,
Cinta memang telah membawa Endy mendekat pada mimpi terbaiknya. Endy harus selalu tahu bahwa bukan cinta yang membuat segala yang tak mungkin menjadi mungkin baginya. Namun keinginannya sendiri. Keinginan agar mimpinya dapat terwujud, sehingga ia bisa menyatakan perasaannya kepada wanita yang ia cintai walau dari beberapa sajak yang iatulis.
            Seperti hari biasa, kami mengirim koran-koran ke rumah pelanggan. Berhenti pada rumah mewah itu dan hari itu Endy mendapat kabar yang membahagiakan, wanita itu tak lagi menemuinya dengan wajah yang ganas, melainkan paras cantiknya yang tak mungkin membuat pria satupun tak tertarik dengannya. Ditambah butiran bening pada matanya yang seperti mata indah kucing. Berkilauan warna hijau. Ia sesenggukan.
            Ia menyebutkan beberapa kalimat yang tertoreh pada cerita yang berjudul “Sajak Bisu” karya E. Sudibyo. Ya, lucu memang. Endy benar-benar penyimpan rahasia yang sudah mahir tingkat nebula. Bahkan untuk namapun ia sembunyikan. Namun bukankah saat itu cinta berpihak kepadanya? Wanita itu tahu siapa penulis sajak tersebut. Wanita itu tahu siapa yang dengan berhasil membuatnya menangis semalam karena Sajak Bisu yang menghujani kelabunya. Perkenalan mereka terjadi pagi itu juga, di hadapanku. Bukankah jika sudah saling mengenal, itu berarti sayang?
            Lalu sayang seperti apa yang kami rasakan?
            Ah, kami? Kurasa aku tak perlu mengatakan apapun sekarang. Kenyataan memang tak sepadan dengan pengharapan. Dari balik jendela bertirai lusuh ini, kupandangi setiap kali Endy muncul dari balik pintu reot itu. Mengendarai sepeda tanpaku, entah ingin ke mana. Hari-hari berikutnya pun sama. Sampai suatu saat satu hal telah mengejutkanku. Endy tak lagi memakai pakaian compang yang selalu penuh dengan bercak-bercak cokelat karena seringnya bersandar pada pohon angsana di tepian sungai Bengawan Solo. Ia sangat rapi, dan coba tebak, apa dengan pakaian serapi itu ia akan mengendarai sepeda kebo ayahnya?
            Tidak, Endy dijemput oleh orang-orang rapi yang turun dari mobil berlabel entah apa, aku kurang paham. Yang pasti, kuyakin kini Endy telah menjadi orang sukses, seperti impiannya. Dan aku? Aku akan selalu bahagia dengan apa yang telah ia miliki sekarang. Walau, dalam menjalankan lembaran harinya yang baru, ia tak lagi membutuhkanku.
            Aku masih akan tetap di sini, dengan rasa sakitku masih menyimpan rapat-rapat rahasia itu sampai ia kembali.
           
Ranty menutup diary-nya erat. Kini ia butuh air mata ketika menuliskan kata demi kata. Harus sampai kapan ia menyimpannya erat dalam buku yang bahkan tak ada seorangpun mengetahuinya?
            Dipandanginya lagi rumah Endy dari balik jendela. Gersang. Sunyi. Semenjak kepergiannya dua bulan lalu, Ranty tak bisa lagi mendengar suara pergerakan roda sepedanya. Pekerjaannya pun menjadi terlantar. Ia menitipkan kepada Ranty semua bendel-bendel koran setiap harinya. Namun Ranty menitipkan kepada seseorang yang sama-sama menganggur di pemukimannya.
            “Mbak Ranty!” teriak seseorang tiba-tiba. Hentakan kakinya begitu mantap, menghentak-hentak lantai semen ini. Ternyata Seno, laki-laki lulusan SMP yang Ranty pasrahkan untuk menjualkan koran-koran.
            “Coba lihat ini!” Tukasnya sembari menyodorkan Ranty koran edisi hari ini.
            Ranty sedikit ragu-ragu ketika meraihnya, namun dengan desakan Seno, ia cepat-cepat menamatkan pandangannya pada sebentuk bingkai berwajah seseorang yang ia kenal. Tubuh jangkung itu, dengan memakai kemeja dan jas abu-abu. Tertulis “Sajak Bisu: Kisah Perjuangan Sang Pejuang Cinta, Segera Tayang” dalam tajuk yang berisi beberapa paragraf wacana.
            “Mas Endy dadi[6] artis!” celetuk Seno begitu antusias.
            Ranty tersenyum. Ia membaca beberapa kalimat itu dengan saksama. Kepergian Endy yang lama adalah karena ia sibuk mengurusi skrip dan prosedur pembuatan film layar lebar di Jakarta. Jarak yang sangat jauh.
            “Endy memang hebat.”
            Seno memandangiku begitu dalam. Ia terperangah seperti melihat makhluk astral di hadapannnya. “Mbak...,” ucapnya lirih. “Kamu kudu ke rumah sakit sekarang.”
Endy mendorong kursi roda Ranty menyusuri sepanjang jalan menuju tepian Bengawan Solo seperti biasanya.
            Sepulang ia dari Jakarta, seseorang yang ingin ia temui pertama kali adalah Ranty, sahabatnya. Namun ia tak menemukan Ranty di rumahnya. Hingga Seno menceritakan kepadanya bahwa penyakit kanker paru-parunya kambuh.
            Ini adalah permintaan Ranty. Ia ingin bisa merasakan berdua lagi menikmati rimbunnya pohon angsana dan gemericik pada air sungai yang merdu. Bukankah itu menyenangkan? Namun apakah rasa itu masih sama bila jarak dan waktu telah mengubah segalanya?
            Ah, apa yang berubah? lirih Ranty dalam hati.
            Ranty meminta Endy memapahnya masuk ke dalam perahu. Walau sebelumnya Endy telah melarang keras. Di dalam perahu, ia menyandarkan punggungnya pada punggung Endy, saling membelakangi. Endy meminta agar Ranty tak banyak bergerak, dan ia yang akan mendayung hingga perahu itu bermuara ke manapun Ranty inginkan untuk berhenti.
            “Endy, satu hal yang tidak kamu mengerti.” Ucapnya lirih, tanpa tenaga.
            Endy mendongak. “Apa?”
            Ranty tertawa renyah, “Tentang tempat di mana sesuatu yang berharga itu disembunyikan dalam tembang masa kecil kita.”
            Sejenak ia berhenti mendayung. Ada hasrat yang tak mudah ia jelaskan. Rasanya seperting seonggok pedang runcing sedang mencabik-cabik jantungnya. Mendengarnya membuatnya bertahan sekuat tenaga untuk tak membiarkan getir itu terasa nyata.
            “Di mana, Ran?” Ia mulai menyadari, suaranya perlahan bergetar.
            Ranty terdiam. Namun sesaat suara merdu membuncah dari bibirnya yang semakin tak keruan pucat. Cublak-cublak suweng. Suwenge ‘ting gelenther. Mambu ketundung gudhel. Pak gempo lera-lere....[7]
            “Sebenarnya sesuatu yang berharga itu telah ada di mana-mana. Mereka menyebar ke segala penjuru arah. Jauh darimu. Bahkan ada di dirimu sendiri.” Jemarinya menyentuh lembut aliran sungai tersebut. Ia merasakan damai seperti saat-saat lalu. Saat ia masih sanggup tertawa tanpa ada rasa sakit.
            “Hanya orang bodoh yang dapat menebak tempat persembunyian sesuatu yang berharga itu, walau semuanya semu. Palsu. Namun hanya orang-orang dewasa yang berakal, yang mampu mengerti, meski ia hanya diam. Menyembunyikan.”
            Endy hanya diam mendengar suaranya yang membuat hatinya menyesali segala kebersamaan yang berlalu begitu saja.
            “Sesuatu yang berharga menurut Endy saat ini, apa?”
            Endy terkesiap. Dengan susah payah ia menjawab, “Cinta.”
            Ranty tersenyum penuh arti. Seakan jawaban Endy adalah hal yang ia harapkan akan iadengar. “Kita telah cukup dewasa untuk mengerti di mana letak cinta tersebut, Endy. Kamu memang berhak mendapatkan cinta. Tidak dengan aku. Rasanya kepingan hatiku ini sudah tak berbentuk. Remuk. Seperti tak ada harapan untuk seseorang. Bila saja kupaksa orang itu untuk menyatukan lagi kepingan-kepingan yang hancur itu, kurasa ia lebih memilih untuk mencari hati yang baru.” Ranty tersenyum. Namun tidak denganmu, kamu perlu tahu siapa seseorang yang benar-benar mencintaimu sehingga hatimu bisa utuh selama apapun itu. Maukah kamu meneruskan bait selanjutnya?”
            Endy menghela napas berat. Diam-diam ia menyeka air matanya dengan jemarinya sendiri. Berusaha sekuat mungkin agar getar itu tak terdengar oleh Ranty, sahabatnya yang belasan tahun bersama.  Menderita dan bahagia bersama. Sapa ngguyu ndhelikake...[8]
            Dari balik punggungnya, ia dapat merasakan tubuh Ranty bergetar. Ia sedang tertawa. Walau suaranya tak selantang saat lalu. Ia sedang tertawa, walau tak dapat ia saksikan raut muka manis itu. Iya, Ranty tertawa.
            Dan itulah saat pertama kali Endy menangis di dekatnya, walau Ranty tak dapat lagi mendengarnya. Sir..sir pong dele kopong...[9]
           
“Selalu lagu itu yang Ayah nyanyikan!”
            Endy tertawa melihat si Enriko memancungkan bibirnya beberapa senti. Tubuh balita itu terhuyung masuk ke dalam pelukan ayahnya yang begitu takut kehilangannya. “Mau tahu kisah di balik lagu itu?”
            Enriko mengangguk mantap.
            “Tentang sesuatu yang berharga. Dahulu, Ayah tidak punya apa-apa, sampai Ayah bertemu seseorang yang bisa menjadikan Ayah menjadi seperti sekarang ini. Punya rumah yang bertembok kuat, punya kursi empuk, punya mobil, tinggal di kota besar, dan punya kamu.” Sejenak ia mencubit hidung mungil itu. Ia tertawa geli. “Sesuatu yang berharga itu yang menjadikan Ayah menjadi seperti ini. Namun sesuatu berharga itu tersimpan rapat-rapat, tanpa seorangpun tahu kecuali orang pintar. Enriko mau jadi orang pintar? Coba tebak di mana sesuatu berharga itu?”
            Enriko menjalari seluruh ruangan. Tatapannya seakan mencari jawaban dari pernyataan rumit ayahnya ini. Kemudian menggeleng penuh sesal. “Di mana?”
            Endy tersenyum, seiring dengan kedatangan seorang wanita yang kemudian memberinya ciuman pada pipi tembam anak pertamanya. Wanita itu tersenyum pada Endy. Penyuka Sajak Bisu yang akhirnya memikat hatinya selamanya.
            Endy meraih jemari mungil Enriko. Meletakkannya pada satu tempat yang menyimpan sesuatu yang berharga itu. Ia membiarkan jemarinya merasakan detak jantung Endy yang berdebar sangat teratur. Kemudian ia tertawa, “Ini 'kan jantung Ayah!!”
            Mereka tertawa. Sepersekian detik kemudian pandangan Endy memaku pada sebentuk buku di atas meja itu. Ia tersenyum. Dan sesuatu berharga itu, akan terus tersimpan di sini. Di hati nurani yang tak lagi kosong. Ada nama Sandra, Enriko, dan tak lupa—kamu.
            Walau terlambat kau ucapkan, namun senyummu telah menjawab segalanya. Maafkan aku yang terlalu bodoh untuk menyadarinya, Ranty.




[1] Tembang asal Jawa Tengah: Cublak-cublak Suweng
[2] Anyaman dari irisan batang bambu.
[3] Bapak hanya ingin, anak Bapak satu-satunya, bisa mandiri dan bisa meneruskan perjuangan Bapak. Memang selama hidup, Bapak tidak bisa menyekolahkan kamu sampai tinggi, maafkan Bapak, ya Nak. Tetapi kamu jangan lupa, jika mau berusaha, apapun bisa tercapai.
[4] Sandal yang terbuat dari kayu yang kaku.
[5] Penggalan lagu Bengawan Solo karya Gesang.
[6] Jadi.
[7] Tebak tempat menyimpan sesuatu berharga. Yang tersebar di mana-mana. Mudah tercium oleh orang-orang bodoh. Orang pintar yang mengerti, melirik anan dan kiri.
[8] Siapa yang tertawa adalah yang menyembunyikan.
[9] Di dalam hati nurani yang kosong.

0 comments: